A. Pengertian psikometri dan ruang lingkupnya
Psikometri adalah ilmu tentang teori pengukuran psikologis. Ruang lingkup psikometri adalah masalah pengembangan teori dan model tes serta pengembangan dasar-dasar evaluasi terhadap kualitas tes.
Pada tahap apilaksinya, teori psikometri memberikan landasan fundamnetal dalam perancangan dan pengembangan tes psikologis sehingga metode-metode konstruksi tes berkembang maju dan dapat menghasilkan berbagai bentuk tespsikologi yang valid dan reliabel. Evaluasi terhadap fungsi tes dapat dilakukan dengan cara yang lebih seksama dan efisien sejalan dengan perkembangan zaman teori psikometri itu sendiri.
1. Pengukuran
Ilmu pengukuran (meansurement) merupakan cabang dari ilmu statistika terapan yang bertujuan membangun dasar-dasar pengembangan tes yang lebih baik sehingga dapat menghasilkan tes yang berfungsi secara optimal, valid dan reliabel. Dasar-dasar pengembangan tes tersebut dibangun di atas model-model matematik yang secara berkesinambungan terus diuji kelayaknnya oleh ilmu psikometri.
Pengukuran adalah suatu prosedur pemberian angka (kuantifikasi) terhadap atribut atau varabel sepanjang suatu kontinum. Secara garis besar kontinum dibagi menjadi dua bagian, yaitu kontinum fisik dan kontinum psikologis. Kontinum fisik adalah suatu kontinum pengukuran yang menggunakan skala fisik. Pengukuran yang menggunakan skala fisik akan menghasilkan kontinum-kontinum seperti: kontinum berat, kontinum kecepatan, dan kontinum tinggi dan lain sebagainya. Sedangkan kontinum psikologis adalah kontinum pengukuran yang menggunakan skala psikologis.
Secara operasional, pengukuran merupakan suatu prosedur perbandingan antara atribut yang hendak diukur dengan alat ukurnya. Karakteristik pengukuran adalah:
a. Merupakan perbandingan antara atribut yang diukur dengan alat ukurnya.
b. Hasilnya dinyatakan secara kuantitatif
c. Hasilnya bersifat deskriptif.
Kita perhatikan, misalnya, kuantifikasi tinggi badan dilakukan dengan membandingkan tinggi (badan) sebagai atribut fisik dengan meteran sebagai alat ukur. Oleh karena itu pada karakteristik pertama disebutkan bahwa yang dibandingkan adalah atribut. Artinya, apa yang diukur adalah atribut atau dimensi dari sesuatu, bukan sesuatu itu sendiri. Sebaga contoh kita tidak dapat mengukur sebuah meja karena yang kita ukur bukanlah meja sebagai benda melainkan dimensi meja, semisal panjang atau lebarnya. Kita tidak pula dapat mengukur manusia karena yang dapat kita ukur adalah atribut manusianya semisal intelegensi atau prestasinya. Pengertian ini membawa makna bahwa (1) benda atau manusia yang dimensinya diukur merupakan subjek pengukuran, bukan objek; (2) kita hanya akan mengetahui alat ukurnya apabila atributyang hendak diukur telah diketahui lebih dahulu.
Karakteristik pengukuran yang ke dua adalah sifat yang kuantitatif. Kuantitatif berarti berwujud angka. Hal ini adalah selalu benar dalam setiap pengukuran. Suatu proses pengukuran akan dinyatakan selesai apabila hasilnya telah diwujudkan dalam bentuk angka yang biasanya dalam pengukuran fisik disertai oleh satuan ukurnya yang sesuai. Pada pengukuran panjang, akan berwujud angka semisal 25 cm atau 50 m. Pada pengukuran volume hasilnya berwujud angka semisal 360 cm atau 151. Begitu pula dalam pengukuran aspek nonfisik atau aspek psikologis akan kita temui hasil pengukuran yang berupa angka kecepatan dan ketelitian sebesar 56 misalnya, atau angka penilaian kecerdasan setinggi 120.
Karakteristik pengukuran yang ketiga adalah sifat hasilnya yang deskriptif, artinya hanya sebatas memberikan angka yang tidak diinterpretasikan lebih jauh. Hasil ukur terhdap luas terhadap luas meja adalah 240 cm tidak diikuti oleh keterangan bahwa 240 cm tersebut adalah sedang, luas, atu sangat luas.
Dalam berbagai kasus, pengukuran atribut tidak dapat dilakukan secara langsung dikarenakan atribut yang hendak diukur bukan merupakan atribut dasar melainkan berupa atribut derivasi, yaitu atribut yang diperoleh dari turunan atribut-atribut lainnya. Sebagai contoh, atribut luas sebuah bidang datar tidak dapat diukur langsung karena tidak memiliki alat pengukur luas, oleh karena itu ukuran luas hanya dapat diperoleh dari derivasi ukuran atribut panjang dan ukuran atribut lebar. Misalnya untuk bidang datar berbentuk empat persegi panjang ukuran luas diperoleh dari L= px1 sedangkan untuk sebuah lingkaran ukuran luas diperoleh dari L=2r. Demikian pula halnya untuk atribut kecepatan (walaupun kita telah lama mengenal speedo meter) pada dasarnya tetap merupakan turunan dari ukuran atribut jarak dan ukuran atribut waktu.
2. Evaluasi
Dari hasil pengukuran luas sebuah meja 100 cm x 75 cm = 7500 cm, misalanya, dapatkah kita mengatakan bahwa meja tersebut sempi, sedang, atau lapang? Apakah angka 45 sebagai hasil suatu tes matematika termasuk rendah, sedang atau tinggi? Ternyata tanpa adanya suatu pembanding, kita tidak akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Meja seluas 100 cm x 75 cm tentu sangat pas bila diperuntukkan sebagai meja ketik namun menjadi terlalu sempit bila diperuntukkan sebagai meja makan keluarga. Angka matematika 45 poin tentu terlalu rendah bila ternyata soal tes keseluruhan adalah 100 buah namun akan menjadi hasil yang sangat bagus bila tesnya ternyata hanya berisi 50 soal saja. Begitu pun, angka 45 dari suatu tes yang berisi 100 soal dapat saja berarti sangat baik kalau saja para peserta yang lain pada umumnya hanya mampu mencapai angka 15.
Jelaslah bahwa interpretasi terhadap hasil pengukuran hanya dapat bersifat evalutif apabila disandarkan pada suatu norma atau suatu kriteria. Norma berarti rata-rata, yaitu harga rata-rata bagi suatu kelompok subjek. Kelompok subjek dapat berupa kelompok usia, kelompok kelas, kelompok jenis kelamin, kelompok suku, kelompok budaya, atau kelompok bangsa. Jadi akan ada norma usia, norma kelas, dan lain sebagainya. Karena hasil tes psikologis seringkali tidak memiliki satuan ukur maka perlu dinyatakan secara normatif. Sebagai contoh, hasil ukur IQ dinyatakan sebagai 110 IQ-WAIS atau skor tes matematika dinyatakan dalam skor PR (percentile rank) ke 78.
Dengan adanya noram dan kriteria, hasil yang sama dari suatu pengukuran dapat saja mendatangkan interpretasi yang berbeda. Sebagai contoh, skor 35 pada tes SPM akan berlainan sekali artinya bila dihasilkan oleh subjek yang berusia 27 tahun dan bila dihasilkan oleh subjek yang berusia 12 tahun. Laji kendaraan 40 km/jam akan lain sekali maknanya apabila kendaraannya adalah sebuah mobil. Demikianlah, dengan evaluasi kita dapat mengatakan suatu atribut sebagai baik-buruk, cepat lambat, jauh-dekat, tinggi-rendah, dan lain sebagainya. Secara ringkas, karakteristik evaluasi adalah:
1. Merupakan pembandingan antara hasil ukur dengan suatu norma atau suatu kriteria
2. Hasilnya bersifat kualitatif
3. Hasilnya dinyatakan secara evaluatif.
3. Tes
Dilihat dari wujud fisiknya, suatu tes tidak lain daripada sekumpulan pertanyaan yang harus dijawab dan/atau tugas yang harus dikerjakan yang akan memberikan informasi mengenai aspek psikologis tertentu berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan atau cara dan hasil subjek dalam melakukan tugas-tugas tersebut.
Batasan seperti tersebut di atas tentu masih terlalu sederhana karena pada kenyataannya tidak semua kumpulan pertanyaan cukup berharga untuk dinamakan tes. Banyak syarat-syarat kualitas yang harus dipenuhi oleh rangkaian pertanyaan atau tugas itu agar dapat disebut tes.
Dengan menekankan syarat kualitas utama, Anne Anastasi dalam bukunya Psychological Testing (1976) mengatakan bahwa tes pada dasarnya merupakan suatu pengukuran yang objektif dan standar terhadap sampel perilaku. Sedangkan Frederick G. Brown (1976) mengatakan bahwa tes adalah prosedur yang sistematik guna mengukur sampel perilaku seseorang. Tampaknya Brown menganggap bahwa ciri sistematik itu telah mencakup pengertian objektif, standar, syarat-syarat kualitas lainnya.
Definisi yang agak lengkap kita kutipkan langsung dari pendapat Lee J. Cronbach yang dikemukakan dalam bukunya Essentials of Psycholocal Testing (1970), yaitu “………a systematic procedure for observing a person’s behavior and describing it with the aid of a numerical scale or a category syatem”.
Dari berbagai macam batasan mengenai tes dapatlah ditarik beberapa kesimpulan pengertian, antara lain:
1. Tes adalah prosedur yang sistematik. Maksudnya (a) item-item dalam tes disusun menurut cara dan aturan tertentu; (b) prosedur administrasi tes dan pemberian angka (scoring) terhadap hasilnya harus jelas dan dipesifikasikan secara terperinci; dan (c) setiap orang yang mengambil tes itu harus mendapat aitem-aitem yang sama dalam kondisi yang sebanding.
2. Tes berisi sampel perilaku. Artinya (a) betapapun panjangnya suatu tes, aitem yang ada di dalamnya tidak akan dapat mencakup seluruh isi materi yang mungkin ditanyakan, dan (b) kelayakan suatu tes tergantung pada sejauh mana aitem-aitem dalam tes itu mewakili secara representatif kawasan (domain) perilaku yang diukur.
3. Tes mengukur perilaku. Artinya aitem-aitem dalam tes menghendaki agar subjek menunjukkan apa yang diketahui atau apa yang telah dipelajari subjek dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas yang dihendaki oleh tes.
Sedangkan beberapa hal yang tidak tercakup dalam pengertian tes adalah:
1. Definisi tes tidak memberikan spesifikasi mengenai formatnya. Artinya tes dapat disusun dalam berbagai bentuk dan tipe sesuai dengan maksud dan tujuan penyusun tes.
2. Definisi tes tidak membatasi macam materi yang dapat dicakupnya. Artinya tes dirancang untuk melakukan pengukuran terhadap hasil belajar, terhadap kemampuan atau abilitas, terhadap kemampuan khusus atau bakat, intelegensi dan sebagainya.
3. Subjek yang dikenai tes tidak selalu perlu dan tidak selalu pula harus tahu kalu ia sedang dikenai tes. Lebih lanjut, subjek tidak selalu perlu tahu aspek psikologis apakah yang sedang diungkap dari dalam dirinya.
Sebagian ahli psikometri membatasi tes sebagai suatu prosedur khusus yang merupakan bagian dari pengukuran secara keseluruhan. Tyler (1971) mengatakan bahwa pengukuran adalah “……. Assignment of numerals according to rules”. Jadi pemberian angka seperti yang dilakukan dalam suatu tes memang merupakan suatu bentuk pengukuran.
Karena tes merupakan alat pengukur maka istilah pengetesan kerap kali menggantikan istilah pengukuran, dan sebaliknya. Dalam hal ini yang terpenting adalah mengetahui di mana penggunaan kedua istilah itu dapat dipertukarkan atau saling menggantikan dan kapan kedua istilah tersebutharus dibedakan agar tidak menimbulkan salah pengertian.
Dalam halnya tes prestasi belajar, pengertian pengukuran prestasi adalah sama dengan pengertian pengetasan prestasi. Akan tetapi istilah tes lebih banyak dan lebih populer digunakan dalam konteks belajar di kelas atau disekolah. Hal ini mungkin sekali disebabkan karena tes prestasi mengandung pengertian situasi yang lebih formal, tyertib, dan lebih terencana daripada pengukuran prestasi. Pengukuran prestasi lebih sering digunakan pada situasi di luar kelas yang kadang-kadang sifatnya tidak begitu formal dan tampaknya lebih banyak dikenakan pada kawasan prestasi motorik seperti pengukuran prestasi ateltik dan lain sebagainya.
C. Fungsi Pengukuran Psikologis
Tes dapat menyajikan fungsi tertentu. Tes dapat memberikan data untuk membantu seseorang dalam meningkatkan pemahaman diri (self-understanding0, penilaian diri (self-evaluation), dan penerimaan diri (self-acceptance). Juga, hasil pengukuran psikologis yang dapat digunakan seseorang untuk meningkatkan persepsi dirinya secara optimal dan mengembangkan eksplorasi dalam bidang tertentu. Disamping itu pengukuran pengukuran psikologis berfungsi dalam memprediksi, memperkuat, dan meyakinkan seseorang. Dalam menyajikan fungsi-fungsi hasil pengukuran psikologis, tes psikologis dapat digunakan sebagai suatu alat prediksi, suatu bantuan diagnosis, suatu alat pemantau (monitoring), dan sebagai suatu instrumen evaluasi.
1. Prediksi
Hasil pengukuran psikologis dapat membantu dalam memprediksikan keberhasilan atau ke tingkat keberhasilan tertentu, pekerjaan, jabatan atau karir tertentu, ataupun dalam suatu bidang usaha yang lainya. Dalam kategori ini tes psikologis acapkali digunakan dalam rangka pemilihan (seleksi) atau menjaring orang-orang tertentu untuk ditempatkan dalam suatu pekerjaan atau jabatan tertentu.
Konselor profesional yang terlibat dalam layanan testing berkewajiban memberikan informasi tentang prediksi hasil tes kepada para anak didiknya dan menjelaskan kepadanya fungsi dan peranan dari tes yang telah dijalaninya. Dari beberapa informasi yang diberikan tersebut, konselor berkewajiban pula untuk membantu mendapatkan yang lebih jelas kepada anak didiknya tentang hasil-hasil pengukuran psikologis tersebut dan dapat mengambil keputusan yang bermakna dan layak serta sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
2. Diagnosi
Hasil pengukiuran psikologis dapat dimanfaatkan dalam diagnosis. Fungsi diagnosis yang dimaksud di sini adalah perumusan masalah yang dihadapi oleh seseorang atau klien dan perkiraan penyebabnya. Klien dapat dibantu untuk memahami dengan baik pengetahuan dan keterampilan tertentu yang dimilikinya sehingga klian memiliki wawasan yang lebih luas dalam bidang-bidang tertentu yang memungkinkan dapat diraihnya dengan cepat dan tepat. Kemudian klien dapat mengambil suatu keputusan bidang-bidang mana yang memerlukan perhatian atau konsentrasi yang sungguh-sungguh.
Penggunaan testing dalam diagnosis dapat memberikan informasi tentang bberbagai pekerjaan atau jabatan kepada seseorang. Hal-hal lainnya yang dikaitkan dengan aspek-aspek testing pada diagnosis adalah tes yang dapat memberikan informasi yang mungkin belum dikenal sebelumnya.
Dalam beberapa hal, inventori minat mungkin dapat mengidentifikasi bidang minat yang belum dikenal sebelumnya, dan dengan demikian melibatkan klien dalam eksplorasi secara lebih mendalam pengenalan terhadap minat-minatnya.
3. Monitoring
Tes psikologis dapat berfungsi sebagai alat pemantau. Misalnya, para konselor dan staf sekolah lainnya dapat mengamati dan memantau sejauh mana kemajuan yang telah dicapai siswa, sehingga mereka dapat secara langsung mengambil manfaat dari hasil pengukuran psikologis.
Tes prestasi (achievment tes) misalnya, dapat memberikan manfaat karena kemajuan dalam bidang akademis akan dipantau sepanjang waktu tertentu atau setiap saat dan acap kali tidak dapat diduga-duga terjadinya perubahan yang dapat dicek kembali oleh konselor.
Pengukuran psikologis lainnya dapat diberikan dengan cara yang sama untuk membantu konselor dan klien sebagai suatu upaya untuk meningkatkan beberapa macam perubahan dalam perilaku, sikap, dan keterampilan-keterampilan klien.
Selain fungsi-fungsi tersebut di atas, juga terdapat fungsi-fungsi lain, di antaranya:
1. Fungsi seleksi, yaitu untuk memutuskan individu-individu yang akan dipilih, misalnya tes masuk suatu lembaga pendidikan atau tes seleksi suatu jenis jabatan tertentu. Berdasarkan hasil-hasil tes psikologis yang dilakukan, pimpinan lembaga dapat memutuskan calon-calon pelamar yang dapat diterima dan menolak calon-calon yang lainya.
2. Fungsi klasifikasi, yaitu mengelompokkan individu-individu dalam kelompok sejenis, misalnya mengelompokkan siswa yang mempunyai masalah yang sejenis, sehingga dapat diberikan bantuan yang sesuai dengan masalahnya. Atau mengelompokkan siswa ke dalam program khusus tertentu.
3. Fungsi deskripsi, yaitu hasil tes psikologis yang telah dilakukan tanpa klasifikasi tertentu, misalnya melaporkan profil seseorang yang telah di tes dengan tes inventori.
4. Mengevaluasi suatu treatment, yaitu untuk mengetahui suatu tindakan yang telah dilakukan terhadap seseorang atau sekelompok individu, apakah telah dicapai atau belum. Atau seberapa hasil yang ditimbulkan oleh suatu tindakan tertentu terhadap seseorang atau sekelompok orang. Misalnya seorang siswa yang mengalami kesulitan belajar diberikan remedial. Setelah remedial tersebut lalu diadakan tes untuk mengetahui apakah remedial yang diberikan berhasil atau belum.
5. Menguji suatu hipotesis, yaitu untuk mengetahui apakah hipotesis yang dikemukakan itu betul atau salah. Misalnya seorang peneliti mengemukakan hipotesis sebagai berikut: makin terang lampu yang digunakan untuk belajar makin baik prestasi belajar yang akan dicapai. Untuk menguji betul tidaknya hipotesis yang dikemukakan itu dapat dilakukan suatu eksperimen.
Dari berbagai keterangan di atas, dapat diketahui bahwa fungsi tes psikologis di samping untuk klasifikasi, deskripsi, evaluasi, menguji hipotesis, juga berfungsi untuk seleksi. Semua fungsi-fungsi dipergunakan sebagai kerangka acuan dalam pengambilan keputusan karir.
D. Tujuan pengukuran psikologis
Tujuan pengukuran psikologis adalah:
1. Agar klien mampu mengenal aspek-aspek dirinya (kemampuan, potensi, bakat, minat, kepribadian, sikap dan sebagainya).
2. Dengan mengenal aspek-aspek dirinya diharapkan klian dapat menerima keadaan dirinya secara lebih objektif.
3. Membantu klien untuk mampu mengemukakan berbagai aspek dalam dirinya.
4. Membantu klien untuk dapat mengelola informasi tentang dirinya
5. Membantu klien agar dapat menggunkan informasi tentang dirinya sebagai dasar perencanaan dan pembuatan keputusan masa depan.
E. Sifat-sifat pengukuran psikologis
Apabila dibandingkan dengan tipe-tipe atau jenis-jenis pengukuran yang lainnya, pengukuran psikologis memiliki sifat-sifat yang berbeda. Adapun sifat-sifat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Pengukuran psikologis dilakukan secara tyidak langsung berdasarkan perilaku yang tampak, atau berdasarkan atas respon terhadap stimulus yang diberikan.
2. Pengukuran psikologis tidak pernah menunjukkan ketepatan seratus persen (100%). Bagaimapun valid, reliabel, atau baiknya alat yang digunakan, dan bagaimanapun cermatnya pengadministrasian yang dilakukan, pengukuran itu selalu mengandung eror kesesatan tertentu.
3. Pengukuran psikologis tidak mempunyai satuan mutlak. Seseoranmg yang mendapatkan angka nol tidaklah berarti kosong sama sekali.
4. Hasil pengukuran psikologis tidak mempunyai skala rasio. Kita hanya dapat mengatakan bahwa si A lebih pandai dari si B. Tetapi tidak dapat mengatakan bahwa si A satu setengah kali lebih pandai dari si B.
Daftar Pustaka
Azwar, Syaifuddin. 1999. Dasar-Dasar Psikometri. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta
_______________. 2002. Tes Prestasi (Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar). Penerbit Pustaka Belajar. Yogyakarta
Sukardi, Dewa Ketut. 1990. Analisis Tes Psikologi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta