1. Pengertian Kebutuhan Afiliasi
Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu merasa kekurangan, tidak sempurna, ketiadaan dan sebagainya, sehingga merusak kesejahteraannya. Keadaan yang dirasakan tersebut merupakan suatu bentuk kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh setiap individu selama rentang kehidupannya. Perasaan kekurangan yang dirasakan bisa bersifat fisiologis, seperti kebutuhan akan makanan, atau yang bersifat psikologis seperti harga diri dan yang bersifat sosiologis, seperti aktualisasi diri dan afiliasi.
Maslow (dalam Koeswara, 1991) mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk yang tidak pernah berada dalam keadaan sepenuhnya puas. Bagi manusia kepuasan itu sifatnya sementara, jika suatu kebutuhan telah terpuaskan yang lain akan muncul menuntut kepuasan, begitu seterusnya. Berdasarkan ciri yang demikian, Maslow mengajukan gagasan bahwa kebutuhan pada manusia adalah bawaan, tersusun menurut tingkatan atau bertingkat, dengan kebutuhan dasar fisiologis sebagai kebutuhan pertama, lalu seterusnya diikuti oleh kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta dan memiliki, kebutuhan akan rasa harga diri dan yang terakhir adalah kebutuhan akan aktualisasi diri.
Kebutuhan fisiologis dan rasa aman jika relatif sudah terpuaskan, maka kebutuhan sosial untuk jadi bagian dari kelompok sosial dan cinta muncul menjadi kebutuhan yang dominan. Orang sangat peka dengan kesedihan, pengasingan, ditolak lingkungan dan kehilangan sahabat atau cinta. Kebutuhan sosial ini terus penting sepanjang kehidupan manusia, mulai dari dalam kandungan sampai akhir hayat.
Kebutuhan untuk melakukan interaksi dengan orang lain dikenal dengan konsep kebutuhan afiliasi. Kebutuhan affiliasi adalah suatu istilah yang dipopulerkan oleh David McClelland (http://en.wikipedia.org/wiki/N-Affil), ia menguraikan bahwa kebutuhan afiliasi adalah suatu kebutuhan dari seseorang untuk merasakan suatu perasaan terlibat dan ikut serta di dalam suatu kelompok sosial. Orang-orang dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi mendambakan suatu hubungan antar pribadi yang hangat.
Kebutuhan afiliasi adalah hasrat untuk disukai dan diterima baik oleh orang-orang lain (dalam Robbins, 1996). Stanley (dalam Gellerman, 1984) menyatakan bahwa, afiliasi merupakan keinginan untuk bersatu dengan orang lain tanpa memperdulikan apapun kecuali kebersamaan yang jelas dapat diperoleh.
McClelland (dalam As’ad, 1998) mengatakan bahwa kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan akan kehangatan dan sokongan dalam hubungannya dengan orang lain. Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. McClelland (dalam Atkinson, 1964) juga menyatakan bahwa kebutuhan bekerja sama adalah sebagai kebutuhan untuk mengembangkan afeksi yang positif..
Afiliasi adalah suatu bentuk kebutuhan akan pertalian dengan orang lain, pembentukan persahabatan, ikut serta dalam kelompok-kelompok tertentu, kerja sama dan kooperasi (Chaplin, 2002). Afiliasi menurut Poerwadarwinta (1986), adalah penggabungan, perkaitan, kerja sama, penerimaan sebagai anggota (suatu golongan masyarakat atau perkumpulan).
Menurut Murray (dalam Hall dan Lindzey, 1993), kebutuhan afiliasi adalah mendekatkan diri, bekerja sama atau membalas ajakan orang lain yang bersekutu (orang lain yang menyerupai atau menyukai subjek), membuat senang dan mencari afeksi dari objek yang disukai, patuh dan setia kepada seorang kawan.
Kebutuhan akan kehangatan dan dukungan dalam hubungannya dengan orang lain, dimana kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain merupakan bentuk dari kebutuhan berafiliasi (Lindgren dalam As’ad, 1995).
Budiardjo dkk. (dalam Listiana, 2002) menjelaskan kebutuhan afiliasi sebagai formasi hubungan sosial, keinginan untuk bergabung, beramah-tamah dan membentuk persahabatan. Orang-orang yang memiliki kebutuhan yang tinggi untuk berafiliasi biasanya memiliki kesenangan dari kasih sayang dan cenderung menghindari kekecewaan karena ditolak oleh suatu kelompok sosial. Secara individu, mereka cenderung berusaha membina hubungan sosial yang menyenangkan, rasa intim dan pengertian, siap untuk menghibur dan menyukai interaksi dan bersahabat dengan orang lain.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan berafiliasi adalah suatu kebutuhan untuk membentuk hubungan sosial secara hangat, memelihara, mengembangkan hubungan afeksi yang positif dan memperbaiki hubungan sosial dengan orang lain, sehingga individu memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi akan cenderung untuk menghindari kekecewaan karena ditolak dalam kelompok sosial, serta berusaha membina hubungan sosial yang menyenangkan dan positif.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Afiliasi
Martaniah (dalam Nurwanti, 1998), mengemukakan bahwa faktor-faktor kebutuhan berafiliasi adalah sebagai berikut:
a. Kebudayaan
Kebutuhan afiliasi sebagai kebutuhan sosial juga tidak luput dari pengaruh kebudayaan, nilai-nilai yang berlaku pada suatu tempat ataupun kebiasaan-kebiasaan. Dalam masyarakat yang menilai tinggi kebutuhan berafiliasi, akan mengakibatkan pengembangan dan pelestarian kebutuhan tersebut, sebaliknya jika kebutuhan tersebut tidak di nilai tinggi, itu akan menipis dan tidak akan tumbuh subur.
Kebudayaan Timur menganggap afiliasi sebagai hal yang sangat penting, misalnya di Indonesia gotong-royong sangat dianjurkan, gotong-royong adalah suatu bentuk afiliasi.
b. Situasi yang Bersifat Psikologik
Seseorang yang tidak yakin akan kemampuannya atau tidak yakin pendapatnya, akan merasa tertekan, rasa tertekan ini akan berkurang jika dilakukan pembandingan sosial. Kesempatan untuk meningkatkan diri melalui pembandingan dengan orang akan meningkatkan afiliasi, dan bila orang tersebut dalam pembandingan ini merasa lebih baik, ini akan lebih menguatkan sehingga menghasilkan afiliasi yang lebih besar.
Keinginan untuk berafiliasi akan meningkat kalau orang dalam keadaan bimbang yang bertingkat sedang dan yang bertingkat tinggi Martaniah (dalam Nurwanti, 1998).
c. Perasaan dan Kesamaan
Remaja yang mempunyai kebutuhan akan afiliasi yang tinggi lebih suka menyeragamkan diri, daripada mempunyai kebutuhan berafiliasi yang rendah. Pengaruh faktor-faktor persamaan dan kesamaan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh dapat dilihat bahwa orang yang memiliki kesamaan pendidikan, kesamaan status, kesamaan kelompok etnik lebih tertarik satu sama lain dan saling membentuk kelompok, misalnya kelompok perguruan tinggi tertentu, kelompok profesi tertentu, kelompok suku tertentu dan lain sebagainya. Orang yang kesepian akan lebih terdorong membuat afiliasi daripada orang yang tidak kesepian, juga orang yang kurang mempunyai perasaan aman akan terdorong untuk membuat afiliasi daripada orang yang mempunyai perasaan aman tinggi.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan berafiliasi ialah kebudayaan atau nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, situasional yang bersifat psikologik serta perasaan dan kesamaan.
3. Karakteristik Kebutuhan Berafiliasi
Perilaku yang ditampilkan individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi menurut As’ad (1995) adalah sebagai berikut:
a. Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya,
daripada segi tugas-tugas yang ada dalam pekerjaannya. Artinya individu lebih memperhatikan hubungan afeksi dengan orang lain di sekitarnya (teman kerja), misalnya untuk berbicara dengan orang lain dan membina hubungan informal dengan karyawan lain.
b. Melakukan pekerjaan lebih efektif apabila bekerjasama dengan orang lain dalam suasana yang kooperatif.
c. Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain.
d. Lebih senang bersama dengan orang lain daripada sendirian.
McClelland (dalam Robbins, 1996) menambahkan bahwa individu dengan kebutuhan berafiliasi yang tinggi akan berjuang keras untuk persahabatan, lebih menyukai situasi kooperatif daripada situasi kompetitif dan sangat menginginkan hubungan yang melibatkan derajat pemahaman timbal balik yang tinggi.
Menurut Martaniah (dalam Nurwanti, 1998), individu dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Lebih suka bersama orang lain daripada sendirian.
b. Sering berinteraksi dengan orang lain.
c. Menerima orang lain dan mendapatkan afeksi dari mereka.
d. Menyenangkan hati orang lain dan mendapatkan afeksi dari mereka.
e. Menunjukkan dan memelihara sikap setia terhadap teman dan keluarga.
f. Mencari persetujuan atau kesepakatan orang lain.
g. Bekerja lebih efektif bila bersama orang-orang lain dalam suasana keakraban.
h. Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya daripada segi tugas-tugasnya.
4. Komponen Kebutuhan Afiliasi
Robert Weiss (dalam Sears, 1992) mengungkapkan 6 (enam) dasar ketentuan berafiliasi dalam hubungan sosial bagi individu, yaitu:
1. Kasih sayang merupakan rasa aman dan ketenangan yang diberikan oleh hubungan yang sangat erat.
2. Integritas sosial merupakan perasaan berbagai minat dan sikap yang sering diberikan oleh hubungan dengan teman yang memungkinkan adanya persahabatan dan rasa mempunyai kelompok.
3. Harga diri diperoleh jika orang mendukung perasaan kita, dalam arti memiliki peran dan kemampuan.
4. Rasa persatuan yang dapat dipercaya yang melibatkan pengertian bahwa orang akan membantu pada saat kita membutuhkan.
5. Bimbingan merupakan nasehat dan informasi yang kita harapkan.
6. Kesempatan untuk mengasuh terjadi jika kita bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain.
5. Ciri-ciri Individu dengan Kebutuhan Berafiliasi
Menurut Frank Petrock (www.gscg@ic_leadinstitute.net), orang-orang dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi cenderung menunjukkan perilaku sebagai berikut:
1. Mendahulukan kepentingan umum saat bekerja.
2. Setuju, bersimpati serta menghibur orang lain.
3. Lebih mengutamakan perasaan daripada logika saat berkomunikasi.
4. Lebih efektif jika bekerja secara kelompok.
5. Menghindari suasana menyendiri atau tidak ada kontak dengan orang lain.
6. Suka menyenangkan orang lain.
7. Sabar dalam melayani orang lain.
8. Melihat suatu argumen dari banyak sisi.
9. Perfeksionisme dalam memecahkan masalah.
10. Memiliki rasa tanggungjawab yang kuat.
Kebutuhan fisiologis dan rasa aman jika relatif sudah terpuaskan, maka kebutuhan sosial untuk jadi bagian dari kelompok sosial dan cinta muncul menjadi kebutuhan yang dominan. Orang sangat peka dengan kesedihan, pengasingan, ditolak lingkungan dan kehilangan sahabat atau cinta. Kebutuhan sosial ini terus penting sepanjang kehidupan manusia, mulai dari dalam kandungan sampai akhir hayat.
Kebutuhan untuk melakukan interaksi dengan orang lain dikenal dengan konsep kebutuhan afiliasi. Kebutuhan affiliasi adalah suatu istilah yang dipopulerkan oleh David McClelland (http://en.wikipedia.org/wiki/N-Affil), ia menguraikan bahwa kebutuhan afiliasi adalah suatu kebutuhan dari seseorang untuk merasakan suatu perasaan terlibat dan ikut serta di dalam suatu kelompok sosial. Orang-orang dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi mendambakan suatu hubungan antar pribadi yang hangat.
Kebutuhan afiliasi adalah hasrat untuk disukai dan diterima baik oleh orang-orang lain (dalam Robbins, 1996). Stanley (dalam Gellerman, 1984) menyatakan bahwa, afiliasi merupakan keinginan untuk bersatu dengan orang lain tanpa memperdulikan apapun kecuali kebersamaan yang jelas dapat diperoleh.
McClelland (dalam As’ad, 1998) mengatakan bahwa kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan akan kehangatan dan sokongan dalam hubungannya dengan orang lain. Kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. McClelland (dalam Atkinson, 1964) juga menyatakan bahwa kebutuhan bekerja sama adalah sebagai kebutuhan untuk mengembangkan afeksi yang positif..
Afiliasi adalah suatu bentuk kebutuhan akan pertalian dengan orang lain, pembentukan persahabatan, ikut serta dalam kelompok-kelompok tertentu, kerja sama dan kooperasi (Chaplin, 2002). Afiliasi menurut Poerwadarwinta (1986), adalah penggabungan, perkaitan, kerja sama, penerimaan sebagai anggota (suatu golongan masyarakat atau perkumpulan).
Menurut Murray (dalam Hall dan Lindzey, 1993), kebutuhan afiliasi adalah mendekatkan diri, bekerja sama atau membalas ajakan orang lain yang bersekutu (orang lain yang menyerupai atau menyukai subjek), membuat senang dan mencari afeksi dari objek yang disukai, patuh dan setia kepada seorang kawan.
Kebutuhan akan kehangatan dan dukungan dalam hubungannya dengan orang lain, dimana kebutuhan ini mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain merupakan bentuk dari kebutuhan berafiliasi (Lindgren dalam As’ad, 1995).
Budiardjo dkk. (dalam Listiana, 2002) menjelaskan kebutuhan afiliasi sebagai formasi hubungan sosial, keinginan untuk bergabung, beramah-tamah dan membentuk persahabatan. Orang-orang yang memiliki kebutuhan yang tinggi untuk berafiliasi biasanya memiliki kesenangan dari kasih sayang dan cenderung menghindari kekecewaan karena ditolak oleh suatu kelompok sosial. Secara individu, mereka cenderung berusaha membina hubungan sosial yang menyenangkan, rasa intim dan pengertian, siap untuk menghibur dan menyukai interaksi dan bersahabat dengan orang lain.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan berafiliasi adalah suatu kebutuhan untuk membentuk hubungan sosial secara hangat, memelihara, mengembangkan hubungan afeksi yang positif dan memperbaiki hubungan sosial dengan orang lain, sehingga individu memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi akan cenderung untuk menghindari kekecewaan karena ditolak dalam kelompok sosial, serta berusaha membina hubungan sosial yang menyenangkan dan positif.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Afiliasi
Martaniah (dalam Nurwanti, 1998), mengemukakan bahwa faktor-faktor kebutuhan berafiliasi adalah sebagai berikut:
a. Kebudayaan
Kebutuhan afiliasi sebagai kebutuhan sosial juga tidak luput dari pengaruh kebudayaan, nilai-nilai yang berlaku pada suatu tempat ataupun kebiasaan-kebiasaan. Dalam masyarakat yang menilai tinggi kebutuhan berafiliasi, akan mengakibatkan pengembangan dan pelestarian kebutuhan tersebut, sebaliknya jika kebutuhan tersebut tidak di nilai tinggi, itu akan menipis dan tidak akan tumbuh subur.
Kebudayaan Timur menganggap afiliasi sebagai hal yang sangat penting, misalnya di Indonesia gotong-royong sangat dianjurkan, gotong-royong adalah suatu bentuk afiliasi.
b. Situasi yang Bersifat Psikologik
Seseorang yang tidak yakin akan kemampuannya atau tidak yakin pendapatnya, akan merasa tertekan, rasa tertekan ini akan berkurang jika dilakukan pembandingan sosial. Kesempatan untuk meningkatkan diri melalui pembandingan dengan orang akan meningkatkan afiliasi, dan bila orang tersebut dalam pembandingan ini merasa lebih baik, ini akan lebih menguatkan sehingga menghasilkan afiliasi yang lebih besar.
Keinginan untuk berafiliasi akan meningkat kalau orang dalam keadaan bimbang yang bertingkat sedang dan yang bertingkat tinggi Martaniah (dalam Nurwanti, 1998).
c. Perasaan dan Kesamaan
Remaja yang mempunyai kebutuhan akan afiliasi yang tinggi lebih suka menyeragamkan diri, daripada mempunyai kebutuhan berafiliasi yang rendah. Pengaruh faktor-faktor persamaan dan kesamaan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh dapat dilihat bahwa orang yang memiliki kesamaan pendidikan, kesamaan status, kesamaan kelompok etnik lebih tertarik satu sama lain dan saling membentuk kelompok, misalnya kelompok perguruan tinggi tertentu, kelompok profesi tertentu, kelompok suku tertentu dan lain sebagainya. Orang yang kesepian akan lebih terdorong membuat afiliasi daripada orang yang tidak kesepian, juga orang yang kurang mempunyai perasaan aman akan terdorong untuk membuat afiliasi daripada orang yang mempunyai perasaan aman tinggi.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan berafiliasi ialah kebudayaan atau nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, situasional yang bersifat psikologik serta perasaan dan kesamaan.
3. Karakteristik Kebutuhan Berafiliasi
Perilaku yang ditampilkan individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi menurut As’ad (1995) adalah sebagai berikut:
a. Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya,
daripada segi tugas-tugas yang ada dalam pekerjaannya. Artinya individu lebih memperhatikan hubungan afeksi dengan orang lain di sekitarnya (teman kerja), misalnya untuk berbicara dengan orang lain dan membina hubungan informal dengan karyawan lain.
b. Melakukan pekerjaan lebih efektif apabila bekerjasama dengan orang lain dalam suasana yang kooperatif.
c. Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain.
d. Lebih senang bersama dengan orang lain daripada sendirian.
McClelland (dalam Robbins, 1996) menambahkan bahwa individu dengan kebutuhan berafiliasi yang tinggi akan berjuang keras untuk persahabatan, lebih menyukai situasi kooperatif daripada situasi kompetitif dan sangat menginginkan hubungan yang melibatkan derajat pemahaman timbal balik yang tinggi.
Menurut Martaniah (dalam Nurwanti, 1998), individu dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Lebih suka bersama orang lain daripada sendirian.
b. Sering berinteraksi dengan orang lain.
c. Menerima orang lain dan mendapatkan afeksi dari mereka.
d. Menyenangkan hati orang lain dan mendapatkan afeksi dari mereka.
e. Menunjukkan dan memelihara sikap setia terhadap teman dan keluarga.
f. Mencari persetujuan atau kesepakatan orang lain.
g. Bekerja lebih efektif bila bersama orang-orang lain dalam suasana keakraban.
h. Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya daripada segi tugas-tugasnya.
4. Komponen Kebutuhan Afiliasi
Robert Weiss (dalam Sears, 1992) mengungkapkan 6 (enam) dasar ketentuan berafiliasi dalam hubungan sosial bagi individu, yaitu:
1. Kasih sayang merupakan rasa aman dan ketenangan yang diberikan oleh hubungan yang sangat erat.
2. Integritas sosial merupakan perasaan berbagai minat dan sikap yang sering diberikan oleh hubungan dengan teman yang memungkinkan adanya persahabatan dan rasa mempunyai kelompok.
3. Harga diri diperoleh jika orang mendukung perasaan kita, dalam arti memiliki peran dan kemampuan.
4. Rasa persatuan yang dapat dipercaya yang melibatkan pengertian bahwa orang akan membantu pada saat kita membutuhkan.
5. Bimbingan merupakan nasehat dan informasi yang kita harapkan.
6. Kesempatan untuk mengasuh terjadi jika kita bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain.
5. Ciri-ciri Individu dengan Kebutuhan Berafiliasi
Menurut Frank Petrock (www.gscg@ic_leadinstitute.net), orang-orang dengan kebutuhan afiliasi yang tinggi cenderung menunjukkan perilaku sebagai berikut:
1. Mendahulukan kepentingan umum saat bekerja.
2. Setuju, bersimpati serta menghibur orang lain.
3. Lebih mengutamakan perasaan daripada logika saat berkomunikasi.
4. Lebih efektif jika bekerja secara kelompok.
5. Menghindari suasana menyendiri atau tidak ada kontak dengan orang lain.
6. Suka menyenangkan orang lain.
7. Sabar dalam melayani orang lain.
8. Melihat suatu argumen dari banyak sisi.
9. Perfeksionisme dalam memecahkan masalah.
10. Memiliki rasa tanggungjawab yang kuat.
0 komentar :
Post a Comment