Sejarah Dunia terbentuk dan dipenuhi oloeh tontonan-tontonan kekerasan, kebrutalan, ketakutan, dan horror, mulai dari perselisihan qabil dan habil, genocide orang-orang yahudi dikmar gas oleh Hitler sampai pada invasi kedua amerika kepada irak atas nama demokrasi. Apakah dunia ini terbentuk untuk kekerasan sang penguasa terhadap kaum “minoritas”?
Film/ sinetron yang mengusung bau mistis dan sadisme merupakan santapat yang tak terhindarkan lagi mulai dari pgi, siang sampai
larut malam. Tayangan-tayangan ini seolah terlepas dan mungkin tidak berkorelasi lagi dengan asumsi dalam esensinya dan malahan cenderung hanya masuk dalam sisi komersialnya saja.
Bagi manusia dewasa yang telah memiliki konsep serta pandangan hidup, tayangan seperti ini mungkin malah sangat berguna sebagai salah satu media refleksi sekaligus instrospeksi diri. Tapi tentunya kita tidak boleh melupakan salah satu kelompok/golongan penonton anak yang belum memiliki banyak referensi tentang apa itu hidup.
Seperti yang telah disinggung didepan, bahwa proses belajar adalah proses insight yang didefinisikan sebagai pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antara bagian-bagian didalam suatu situasi permasalahan. Pada anak proses ini sangat berperan penting apalagi dalam tontonan yang berbau mistis serta sadis mengingat masa anak adalah masa imitasi. Proses insight pada anak tergantung pada kemampuan dasar yang berbeda-beda antara anak yang satu dengan yang lainnya.
Berangkat dari sini kemudian timbul berbagai kemungkinan pengaruh tayangan yang berbau mistis, diantaranya adalah :
• Pola pikir anak cenderung akan mengarah pada pola pikir yang terdoktrin dalam artian anak akan percaya begitu saja tanpa mengetahui runtutan jelas dari akar permasalahan. Pola yang terdoktrinasi seperti pada bahwa Tuhan akan menurunkan bahan makanan dari langit kepada orang yang tokoh lakon (beriman). Walaupun peristiwa seperti itu mungkin saja terjadi dalam kehidupan nyata, tapi permasalahannya adalah anak cenderung akan mengadopsi jalan sesuai apa yang dilakukan tokoh protagonist seperti berdoa, berdzikir hanya dalam kamar tanpa usaha pragsis yang mengarah langsung pada dunia nyata. Pola pikir seperti ini tentunya akan menjadikan anak sebagai individu yang selalu “memotong kompas” dengan hanya berserah diri tanpa usaha dalam dunia nyata,artinya pola pikir pada anak akan cenderung stagnan tanpa ada usaha pembaharuan.
• Menurunnya daya pengembangan potensi/ bakat karena menurunnya tingkat optimisme serta motivasi internal pada anak seiring dengan kepercayaannya terhadap hal-hal yang bersift mistis.
Sedangkan dalam tayangan yang memiliki unsure sadisme akan memiliki potensi tingkat imitasi pada anak berupa :
• Tertanamnya pola pikir yang cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan, ini terkait bahwa tindakan akhir pada tayangan televisi yang menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, seperti pada aksi tokoh protagonist dalam menghukum tokoh antagonist dengan menggunakan cara kekerasan dan pembunuhan. Sehingga motivasi anak akan menjadi motivasi untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan/fisik.
• Memandang agama dari kacamata sadisme, disini pola pikir pada anaka akan mengarah bahwa perintah dalam agama harus dilakukan, karena akan ada hukuman yang mengerikan ketika manusia tidak melaksanakannya.
• Timbulnya perasaan phobia dalam dunia nyata.
Bagi manusia dewasa yang telah memiliki konsep serta pandangan hidup, tayangan seperti ini mungkin malah sangat berguna sebagai salah satu media refleksi sekaligus instrospeksi diri. Tapi tentunya kita tidak boleh melupakan salah satu kelompok/golongan penonton anak yang belum memiliki banyak referensi tentang apa itu hidup.
Seperti yang telah disinggung didepan, bahwa proses belajar adalah proses insight yang didefinisikan sebagai pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antara bagian-bagian didalam suatu situasi permasalahan. Pada anak proses ini sangat berperan penting apalagi dalam tontonan yang berbau mistis serta sadis mengingat masa anak adalah masa imitasi. Proses insight pada anak tergantung pada kemampuan dasar yang berbeda-beda antara anak yang satu dengan yang lainnya.
Berangkat dari sini kemudian timbul berbagai kemungkinan pengaruh tayangan yang berbau mistis, diantaranya adalah :
• Pola pikir anak cenderung akan mengarah pada pola pikir yang terdoktrin dalam artian anak akan percaya begitu saja tanpa mengetahui runtutan jelas dari akar permasalahan. Pola yang terdoktrinasi seperti pada bahwa Tuhan akan menurunkan bahan makanan dari langit kepada orang yang tokoh lakon (beriman). Walaupun peristiwa seperti itu mungkin saja terjadi dalam kehidupan nyata, tapi permasalahannya adalah anak cenderung akan mengadopsi jalan sesuai apa yang dilakukan tokoh protagonist seperti berdoa, berdzikir hanya dalam kamar tanpa usaha pragsis yang mengarah langsung pada dunia nyata. Pola pikir seperti ini tentunya akan menjadikan anak sebagai individu yang selalu “memotong kompas” dengan hanya berserah diri tanpa usaha dalam dunia nyata,artinya pola pikir pada anak akan cenderung stagnan tanpa ada usaha pembaharuan.
• Menurunnya daya pengembangan potensi/ bakat karena menurunnya tingkat optimisme serta motivasi internal pada anak seiring dengan kepercayaannya terhadap hal-hal yang bersift mistis.
Sedangkan dalam tayangan yang memiliki unsure sadisme akan memiliki potensi tingkat imitasi pada anak berupa :
• Tertanamnya pola pikir yang cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan, ini terkait bahwa tindakan akhir pada tayangan televisi yang menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, seperti pada aksi tokoh protagonist dalam menghukum tokoh antagonist dengan menggunakan cara kekerasan dan pembunuhan. Sehingga motivasi anak akan menjadi motivasi untuk menyelesaikan masalah dengan kekerasan/fisik.
• Memandang agama dari kacamata sadisme, disini pola pikir pada anaka akan mengarah bahwa perintah dalam agama harus dilakukan, karena akan ada hukuman yang mengerikan ketika manusia tidak melaksanakannya.
• Timbulnya perasaan phobia dalam dunia nyata.
0 komentar :
Post a Comment