Dalam studi masalah sosial dikenal dua pendekatan untuk mendiagnosis penyebab terjadinya masalah sosial (kekerasan terhadap anak) yaitu person blame approach dan system blame approach. Pendekatan pertama beranggapan bahwa sumber masalah sosial terdapat pada penyandang masalah (aktor pelaku tindak kekerasan). Diagnosis masalah sosial difokuskan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi kehidupan penyandang masalah tersebut. Pendekatan kedua mempunyai anggapan bahwa sumber masalah sosial terletak pada level sistem. Diagnosa dan upaya pemecahan masalah difokuskan pada penanganan sistemnya
(Sutomo, 2008:209). Kedua pendekatan tersebut dituangkan dalam berbagai perspektif teori yang berkembang dalam studi masalah sosial. Terdapat tiga perspektif teori yang dapat digunakan untuk memahami masalah sosial yaitu teori struktural fungsional, teori konflik dan teori interaksi simbolik.
Penelitian ini akan menggunakan teori struktural fungsional dan interaksi simbolik untuk memahami kekerasan terhadap anak. Berdasarkan asumsi-asumsi teori struktural fungsional masalah sosial difahami sebagai patologi sosial, disorganisasi sosial, dan perilaku menyimpang. Dalam penelitian ini untuk memahami kekerasan terhadap anak lebih tepat digunakan perspektif teori patologi sosial dan perilaku menyimpang.
Menurut Soetomo (1995) perspektif pathologi sosial menggunakan “medical model” dalam memecahkan masalah sosial artinya memecahkan masalah sosial beserta segala implikasinya sama halnya dengan mengobati masyarakat yang sakit. Pada mulanya social pathologist cenderung membuat diagnosa bahwa individu merupakan sumber masalah dalam masyarakat. Tetapi dalam perkembangannya, perspektif ini juga menganalisis masyarakat sebagai sumber masalah sosial.
Dalam perspektif teori pathologi sosial, tindakan aktor yang melakukan kekerasan terhadap anak dianggap sebagai penyakit masyarakat yang akan dapat merusak sistem sosial (masyarakat). Aktor yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak akan diangap sebagai penyakit masyarakat. Dengan demikian pendekatan untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak bersifat medical model, dimana memandang aktor sebagai sumber masalah. Tindakan kekerasan anak akan muncul ketika aktor gagal dalam proses sosialisasi. Aktor gagal dalam memahami nilai-nilai dan aturan-aturan sosial yang mengatur proses pendidikan yang berlaku di sekolah, keluarga atau lingkungan sosial lainya. Aktor karena cacat yang dimiliki dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan aturan sosial yang berlaku tersebut. Kondisi tersebut akan mengganggu atau menghancurkan bekerjanya sistem sosial.
Untuk mencegah pewarisan cacat individual (tingkah laku kekerasan terhadap anak) dari generasi ke generasi, aktor pelaku tindak kekerasan perlu diisolasi agar penyakitnya tidak menular. Bentuk isolasi misalnya dimasukan ke penjara. Disamping itu juga dilakukan proses resosialisasi yang mencakup aspek moral dan kondisi tubuh melalui pendidikan. Dengan demikian asumsi pendekatan ini sebenarnya adalah bahwa sistemlah yang paling benar, masalah kekerasan anak muncul karena kesalahan individu (orangtua, anggota keluarga (adik, kakak, tante, om, nenek, kakek), teman atau guru).
Dalam perkembangan yang terbaru teori pathologi sosial tidak hanya menyalahkan aktor sebagai sumber penyakit masyarakat akan tetapi juga dapat bersumber dari masyarakat itu sendiri. Masalah kekerasan terhadap anak dilihat melalui cacat yang ada di masyarakat atau institusi. Masyarakat yang immoral akan menghasilkan individu yang immoral yang mengakibatkan munculnya masalah sosial. Dengan demikian aktor yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak merupakan konsekuensi dari kondisi masyarakat yang sedang sakit atau cacat. Akan tetapi perlu dipahami bahwa aktor potensial untuk mengalami patologi dalam dimensi waktu dan tempat yang berebda. Oleh karena itu diagnosa terhadap perilaku kekerasan terhadap anak sebagai perilaku patologis sebaiknya berdasarkan pertanyaan: Mengapa individu-individu melakukan tindakan kekerasan terhadap anak? Bagaimana prosesnya mereka mengadopsi suatu kondisi yang dianggap gaya hidup menyimpang (kekerasan terhadap anak)? Mengapa peraturan yang melarang tindakan kekerasan anak lebih banyak dilanggar dibandingkan peraturan yang lain? Mengapa orang-orang tertentu lebih banyak melanggar peraturan mengenai kekerasan anak? Apa dan bagaimana lingkungan sosial banyak menumbuhkan perilaku kekerasan terhadap anak?
Pandangan berbeda diperlihatkan oleh perspektif teori perilaku menyimpang dalam memahami tindakan kekerasan terhadap anak sebagai masalah sosial. Meskipun demikian asumsi-asumsi yang digunakan dalam perspektif teori ini masih dalam satu payung teori struktural fungsional. Menurut teori struktural fungsional, kajian sosiologi adalah fakta sosial, dimana fakta sosial itu terdiri dari dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Perilaku kekerasan terhadap anak dalam perspektif perilaku menyimpang dianggap sebagai perilaku yang menyimpang dari aturan-aturan atau pranata sosial yang berlaku dalam sistem sosial. Pranata sosial berperan sebagai penegak keteraturan dan keseimbangan sistem sosial dengan cara membatasi sikap tindakan anggota masyarakat sebagai pedoman tingkah laku atau aturan main. Penyimpangan terjadi apabila individu menyimpang dari aturan yang ada sehingga dianggap sebagai sumber masalah.
Sementara itu menurut Parsons (dikutip Ritzer, 1985), pranata sosial adalah kompleks peranan yang telah melembaga dalam sistem sosial. Pranata harus dianggap sebagai satu tatanan yang lebih tinggi dari struktur sosial. Setiap unit sosial selalu bersesuaian dengan status dari struktur sosial yang ada tersebut. Konsep pranata sosial (social institution) tidak bisa dipisahkan dari konsep struktur sosial (social structure). Struktur sosial merupakan jaringan hubungan-hubungan sosial yang interkasi sosial berproses dan menjadi terorganisasi, serta melalui mana posisi sosial dari individu dan sub-kelompok dapat dibedakan. (Ritzer, 1985: 22)
Perilaku menyimpang mempunyai dua tipe yaitu penyimpangan murni dan penyimpangan tersembunyi. Penyimpangan murni terjadi apabila individu berperilaku tidak taat aturan dan orang lain juga menganggap demikian. Sedangkan penyimpangan tersembunyi adalah perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh individu tetapi tidak ada reaksi atau melihatnya sehingga oleh masyarakat seolah-olah tidak ada. Dalam konteks perilaku menyimpang, tindakan kekerasan terhadap anak dapat berupa penyimpangan tersembunyi atau menyimpangan murni.
Latar belakang terjadi penyimpangan bersumber dari banyak faktor. Tingkah laku seseorang merupakan hasil interaksi antara empat faktor yaitu: warisan organik, warisan sosial, pengalaman unik, human nature. Oleh karena itu untuk melakukan pelacakan terhadap tindak kekerasan terhadap anak perlu membedakan menjadi dua. Pertama, tindak kekerasan terhadap anak yang tidak disengaja. Tindak kekerasan terhadap anak dalam kategori ini terjadi karena aktor tidak tahu atau kurang faham terhadap aturan yang ada. Selain itu setiap kelompok mempunyai aturan yang berbeda-berbeda sehingga aktor bisa saja tidak memahami peraturan tersebut sehingga tindakanya dianggap sebagai perilaku menyimpang yang ia sendiri tidak menyadarinya. Kedua, tindak kekerasan terhadap anak yang disengaja. Dalam konteks ini, aktor sengaja melakukan tindakan menyimpang terhadap aturan yang ada. Oleh karena itu perlu dipahami mengapa melakukan tindakan menyimpang? apa motivasinya? Dalam hubunganya dengan tindakan kekerasan terhadap anak perlu difahami apakah tindakan tersebut merupakan tindakan yang disengaja atau tidak sengaja, mengapa mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap anak, apa motivasi yang mendasari tindakan tersebut, apakah aturan-aturan yang ada tidak bersifat ambivalen, apakah kelompok-kelompok mempunyai aturan-aturan yang berbeda dalam mengatur masalah kekerasan terhadap anak tersebut?
Berdasarkan teori pathologi sosial dan perilaku menyimpang tersebut pada dasarnya penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap anak dapat bersumber pada person/aktor maupun sistem. Kesimpulan ini nampaknya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Susilowati (2008) bahwa kombinasi antara faktor person/aktor dan sistem pendidikan yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap siswa. Faktor-faktor tersebut yaitu: 1). Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa. 2). Persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap “melanggar” batas. Apa yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda/sign dari masalah yang tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas “menangani” tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan/sikap siswa. 3). Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang bersangkutan menjadi lebih sensitif dan reaktif. 4). Adanya tekanan kerja, target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar. 5). Pola authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid). Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan. 6). Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif (Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi “kering” dan stressful, dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi.
Sistem pendidikan nasional yang berubah-ubah dengan ditandai oleh silih bergantinya kurikulum dalam waktu singkat, merupakan salah satu aspek kegagalan sistem pendidikan. Belum terimplementasikannya suatu kurikulum hingga kegagalan perbaikan kurikulum merupakan beban baru bagi siswa. Termasuk ketika sistem ujian nasional diberlakukan, yang menjadikan ketidakjujuran sebagai sebuah bagian dari proses belajar mengajar. Kekerasan menjadi sebuah pilihan beberapa guru, dikarenakan tingginya beban pengetahuan yang harus dipindahkan ke siswa. Keterbatasan ruang kreasi pun terkadang menjadi sebuah hambatan tersendiri dalam proses belajar mengajar. Pemahaman substansi pendidikan telah sangat jauh ditinggalkan oleh guru sebagai pendidik.
Sementara menurut Mashar (2008), ada dua faktor penyebab bullying, yakni kepribadian dan situasional. Faktor kepribadian terjadi karena pengaruh dari pola asuh orang tua terhadap anak. Pola asuh yang otoriter terbukti mengakibatkan anak memiliki peluang menjadi pelaku bullying. Tayangan sinetron juga membentuk skema kognitif pada anak yang mengakibatkan mereka cenderung menjadi pelaku bullying. Cirinya anak memiliki kecendrungan motif dasar agresivitas, rasa rendah diri yang berlebihan, dan kecemasan. Sedang faktor situasional, sebagai anak remaja mereka berkecenderungan untuk mengikuti perilaku kelompok di lingkungannya. Apalagi jika di sekolah nyata-nyata memiliki tradisi bullying, maka tradisi tersebut akan menurun terus kepada yuniornya.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan menurut teori perilaku menyimpang untuk mengembalikan tindakan kekerasan terhadap anak tersebut adalah dengan meresosialisasi aktor yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak. Pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan cara penyadaran kepada anggota masyarakat bahwa kebiasaan (budaya) perlakuan kekerasan terhadap anak akan berakibat buruk bagi masa depan anak. Untuk menghilangkan tindak kekerasan dalam proses pendidikan di pondok pesantren, perlu sebuah penyadaran paradigma pikir dan aksi para ustadz dan seluruh santri yang ada di pesantren tentang dampak jangka pendek dan panjang yang mungkin akan ditimbulkan dari tindak kekerasan.Untuk itu, diperlukan kontrol berjenjang yang cukup ketat dari seluruh elemen Pondok Pesantren dalam proses pembelajaran santri terutama oleh pimpinan dan pengasuh pondok. Kontrol ini dilakukan untuk menghindari terjadinya tindak kekerasan pada lapisan ustadz dan santri senior yang setiap hari berhadapan langsung dengan kondisi riil di lapangan (Nurhilaliati, 2005).
Disamping itu juga melakukan peningkatan kontak individu terhadap lingkungan sosial yang cenderung konformiti terhadap nilai-nilai sosial yang diakui oleh sistem sosial. Berdasarkan temuan yang diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Adi dkk (2006), direkomendasikan agar dilakukan usaha-usaha untuk menghapuskan kekerasan melalui Sosialisasi KHA di berbagai lapisan masyarakat. Sosialisasi KHA bagi anak, guru dan orangtua dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Misalnya dengan memasukkan materi KHA dalam kurikulum sekolah. Sekolah dalam hal ini berperan mendidik dan memberikan contoh pendidikan tanpa kekerasan kepada anak didiknya. Sedangkan sosialisasi KHA pada aparat pemerintah khususnya mereka yang melakukan pelayanan terpadu bagi anak agar pelayanan yang dilakukan membantu proses recovery korban kekerasan.
Sedangkan untuk meningkatkan lingkungan sosial yang konformiti terhadap nilai-nilai anti kekerasan terhadap anak diperlukan penyuluhan terutama terhadap orang tua dan guru mengenai ketidakbenaran anggapan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan hukuman dalam rangka mendidik anak. Penyadaran pada orang tua dan guru untuk sebisa mungkin meminimalisir pemberian hukuman dan menggantinya dengan pendekatan negative reinforcement. Cara ini dianggap dapat membantu proses pendidikan tanpa berdampak pada terjadinya kekerasan terhadap anak.
Menurut Saifullah (2008) penyebab terjadinya kekerasan seksual dan fisik di pesantren dapat dicari dari salah satu faktor berikut: Pertama, pesantren pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan lain seperti sekolah. Keterbatasan sarana dan fasilitas pendukung penginapan seringkali membuat para santri harus tidur berdesakan dan mandi bersama-sama, tidak ada wilayah privat di pesantren. Interaksi fisik antar santri terjadi dalam interaksi tinggi. Pada waktu bersamaan, mayoritas santri sedang mengalami masa-masa pubertas. Mereka sedang asyik mencari tahu tentang fungsi dan perkembangan alat-alat reproduksinya. Dengan demikian tidak heran jika mereka saling memperhatikan atau membandingkan antara organ vital miliknya dengan teman-temannya. Bahkan ketika bergurau topik pembahasan pun mengarah pada seksualita. Keterbatasan sarana dan fasilitas ini juga memicu terjadinya kekerasan fisik karena perebutan wilayah kekuasaan' oleh raja-raja kecil.
Kedua, peraturan di pesantren dalam hal pergaulan antara santri dengan santriwati atau antara santri dengan dunia luar cukup ketat. Pembatasan secara fisik untuk berinteraksi dengan lawan jenis berpotensi memicu santri tidak menemukan penyaluran dan membuat orientasi seksualnya sedikit menyimpang. Hal ini didukung dengan interaksi intens dengan sesama jenis. Ibarat kata pepatah, tak ada tali akar pun jadi. Ketiga, kekerasan seksual seringkali dipicu karena seorang whistle blower. Sangat mungkin dari ratusan santri, satu atau dua orang memang memiliki kelainan orientasi seksual. Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua orang bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Para pelajar dari keluarga broken home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf. Keempat, di pesantren juga terdapat materi pelajaran seksualita dengan merujuk pada literatur dari kitab-kitab kuning. Pelajaran ini sejatinya khusus untuk santri dan santriwati senior. Namun, santri-santri junior juga sering menyamar untuk mengikuti pengajian yang digelar tengah malam ini. Tidak menutup kemungkinan kekerasan fisik dan seksual juga dilakukan oleh para staf pengajar. Pasalnya, di pesantren dituntut adanya ketaatan penuh.
Berbeda dengan perspektif pathologi sosial, teori interaksi simbolik melihat perilaku sebagai hasil dari proses interaksi sosial dengan orang lain. Dalam proses interaksi tersebut individu mendapatkan makna dari setiap tindakan dan menggunakanya sebagai alat untuk melakukan tindakan selanjutnya. Makna tersebut akan terus berubah sepanjang individu melakukan interaksi sosial. Oleh karena itu dalam memahami masalah tindakan kekerasan terhadap anak bersifat relatif tergantung pada interpretasi masyarakat tertentu atau tergantung pada bagaimana masyarakat memberi makna terhadap situasi kekerasan anak tersebut.
Dalam lingkungan atau masyarakat tertentu bisa jadi perilaku tertentu tidak diangap sebagai tindak kekerasan, tetapi di masyarakat yang lain perilaku tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Oleh karena itu persoalan kekerasan anak seringkali muncul karena perbedaan interpretasi antara individu dengan masyarakat. Individu memberikan makna bahwa apa yang dilakukan sebagai sesuatu yang wajar bukan merupakan tindakan kekerasan, sedangkan masyarakat memberi makna dan memberikan label sebagai tindakan kekerasan. Perbedaan interpretasi dan pemberian label tersebut karena adanya perbedaan referensi atau kerangka pengalaman yang dijadikan referensi dalam menginterpretasikan tindakan tersebut.
Perbedaan interpretasi dan referensi dapat terjadi misalnya pada para tokoh agama Islam dalam menginterpretasikan pasal-pasal yang ada dalam UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Islam “membolehkan” melakukan tindakan fisik sebagai ta’dîb (tindakan mendidik) terhadap anak. Ibnu Amr bin al-’Ash menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat. (HR Abu dawud dan al-Hakim).
Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman. Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud pukulan/tindakan fisik disini adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya) (http://pa-lubukbasung.pta-padang.go.id/ diakses tgl 3-2-2009).
Dunia pendidikan Islam juga telah memiliki kitab “wasiat” tersendiri yang berisi doktrin tentang kepatuhan atau etika terhadap guru seperti yang termaktub dalam kitab ta’lîm wa al-muta’allim. Berdasarkan hasil beberapa penelitian, ada yang menganggap bahwa kitab ini adalah salah satu sumber munculnya kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan, yang belakangan ini sudah banyak dikritisi oleh para pakar pendidikan modern (Nurhilaliati, 2005).
Perbedaan persepsi dan interpretasi tidak hanya antara agama, tetapi juga dapat terjadi dalam lingkup budaya, mendidik anak dengan memberikan hukuman fisik merupakan bagian dari budaya. Hasil kajian yang dilakukan oleh Adi dkk. (2008) menemukan kekerasan yang dialami anak dari orang tuanya atau guru dianggap hukuman dalam rangka mendidik anak, hal tersebut masih merupakan kebiasaan (budaya) mereka. Sedangkan perlindungan anak terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga dalam prakteknya belum tersentuh karena masih dianggap sebagai urusan (hak) keluarga.
Pemberian label terhadap tindakan individu sebagai tindakan kekerasan dapat memberikan rangsangan untuk mendorong individu berpikir dalam memberikan makna terhadap tindakanya. Melalui proses interaksi sosial, makna tersebut dapat berubah sehingga individu dapat mempunyai makna yang sama dengan masyarakat dengan demikian dapat merubah tindakannya. Tindakan kekerasan yang tadinya dianggap wajar oleh individu kemudian diinterpretasikan sebagai tindakan penyimpangan sehingga individu kemudian merubah tindakanya.
Penelitian ini akan menggunakan teori struktural fungsional dan interaksi simbolik untuk memahami kekerasan terhadap anak. Berdasarkan asumsi-asumsi teori struktural fungsional masalah sosial difahami sebagai patologi sosial, disorganisasi sosial, dan perilaku menyimpang. Dalam penelitian ini untuk memahami kekerasan terhadap anak lebih tepat digunakan perspektif teori patologi sosial dan perilaku menyimpang.
Menurut Soetomo (1995) perspektif pathologi sosial menggunakan “medical model” dalam memecahkan masalah sosial artinya memecahkan masalah sosial beserta segala implikasinya sama halnya dengan mengobati masyarakat yang sakit. Pada mulanya social pathologist cenderung membuat diagnosa bahwa individu merupakan sumber masalah dalam masyarakat. Tetapi dalam perkembangannya, perspektif ini juga menganalisis masyarakat sebagai sumber masalah sosial.
Dalam perspektif teori pathologi sosial, tindakan aktor yang melakukan kekerasan terhadap anak dianggap sebagai penyakit masyarakat yang akan dapat merusak sistem sosial (masyarakat). Aktor yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak akan diangap sebagai penyakit masyarakat. Dengan demikian pendekatan untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak bersifat medical model, dimana memandang aktor sebagai sumber masalah. Tindakan kekerasan anak akan muncul ketika aktor gagal dalam proses sosialisasi. Aktor gagal dalam memahami nilai-nilai dan aturan-aturan sosial yang mengatur proses pendidikan yang berlaku di sekolah, keluarga atau lingkungan sosial lainya. Aktor karena cacat yang dimiliki dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan aturan sosial yang berlaku tersebut. Kondisi tersebut akan mengganggu atau menghancurkan bekerjanya sistem sosial.
Untuk mencegah pewarisan cacat individual (tingkah laku kekerasan terhadap anak) dari generasi ke generasi, aktor pelaku tindak kekerasan perlu diisolasi agar penyakitnya tidak menular. Bentuk isolasi misalnya dimasukan ke penjara. Disamping itu juga dilakukan proses resosialisasi yang mencakup aspek moral dan kondisi tubuh melalui pendidikan. Dengan demikian asumsi pendekatan ini sebenarnya adalah bahwa sistemlah yang paling benar, masalah kekerasan anak muncul karena kesalahan individu (orangtua, anggota keluarga (adik, kakak, tante, om, nenek, kakek), teman atau guru).
Dalam perkembangan yang terbaru teori pathologi sosial tidak hanya menyalahkan aktor sebagai sumber penyakit masyarakat akan tetapi juga dapat bersumber dari masyarakat itu sendiri. Masalah kekerasan terhadap anak dilihat melalui cacat yang ada di masyarakat atau institusi. Masyarakat yang immoral akan menghasilkan individu yang immoral yang mengakibatkan munculnya masalah sosial. Dengan demikian aktor yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak merupakan konsekuensi dari kondisi masyarakat yang sedang sakit atau cacat. Akan tetapi perlu dipahami bahwa aktor potensial untuk mengalami patologi dalam dimensi waktu dan tempat yang berebda. Oleh karena itu diagnosa terhadap perilaku kekerasan terhadap anak sebagai perilaku patologis sebaiknya berdasarkan pertanyaan: Mengapa individu-individu melakukan tindakan kekerasan terhadap anak? Bagaimana prosesnya mereka mengadopsi suatu kondisi yang dianggap gaya hidup menyimpang (kekerasan terhadap anak)? Mengapa peraturan yang melarang tindakan kekerasan anak lebih banyak dilanggar dibandingkan peraturan yang lain? Mengapa orang-orang tertentu lebih banyak melanggar peraturan mengenai kekerasan anak? Apa dan bagaimana lingkungan sosial banyak menumbuhkan perilaku kekerasan terhadap anak?
Pandangan berbeda diperlihatkan oleh perspektif teori perilaku menyimpang dalam memahami tindakan kekerasan terhadap anak sebagai masalah sosial. Meskipun demikian asumsi-asumsi yang digunakan dalam perspektif teori ini masih dalam satu payung teori struktural fungsional. Menurut teori struktural fungsional, kajian sosiologi adalah fakta sosial, dimana fakta sosial itu terdiri dari dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Perilaku kekerasan terhadap anak dalam perspektif perilaku menyimpang dianggap sebagai perilaku yang menyimpang dari aturan-aturan atau pranata sosial yang berlaku dalam sistem sosial. Pranata sosial berperan sebagai penegak keteraturan dan keseimbangan sistem sosial dengan cara membatasi sikap tindakan anggota masyarakat sebagai pedoman tingkah laku atau aturan main. Penyimpangan terjadi apabila individu menyimpang dari aturan yang ada sehingga dianggap sebagai sumber masalah.
Sementara itu menurut Parsons (dikutip Ritzer, 1985), pranata sosial adalah kompleks peranan yang telah melembaga dalam sistem sosial. Pranata harus dianggap sebagai satu tatanan yang lebih tinggi dari struktur sosial. Setiap unit sosial selalu bersesuaian dengan status dari struktur sosial yang ada tersebut. Konsep pranata sosial (social institution) tidak bisa dipisahkan dari konsep struktur sosial (social structure). Struktur sosial merupakan jaringan hubungan-hubungan sosial yang interkasi sosial berproses dan menjadi terorganisasi, serta melalui mana posisi sosial dari individu dan sub-kelompok dapat dibedakan. (Ritzer, 1985: 22)
Perilaku menyimpang mempunyai dua tipe yaitu penyimpangan murni dan penyimpangan tersembunyi. Penyimpangan murni terjadi apabila individu berperilaku tidak taat aturan dan orang lain juga menganggap demikian. Sedangkan penyimpangan tersembunyi adalah perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh individu tetapi tidak ada reaksi atau melihatnya sehingga oleh masyarakat seolah-olah tidak ada. Dalam konteks perilaku menyimpang, tindakan kekerasan terhadap anak dapat berupa penyimpangan tersembunyi atau menyimpangan murni.
Latar belakang terjadi penyimpangan bersumber dari banyak faktor. Tingkah laku seseorang merupakan hasil interaksi antara empat faktor yaitu: warisan organik, warisan sosial, pengalaman unik, human nature. Oleh karena itu untuk melakukan pelacakan terhadap tindak kekerasan terhadap anak perlu membedakan menjadi dua. Pertama, tindak kekerasan terhadap anak yang tidak disengaja. Tindak kekerasan terhadap anak dalam kategori ini terjadi karena aktor tidak tahu atau kurang faham terhadap aturan yang ada. Selain itu setiap kelompok mempunyai aturan yang berbeda-berbeda sehingga aktor bisa saja tidak memahami peraturan tersebut sehingga tindakanya dianggap sebagai perilaku menyimpang yang ia sendiri tidak menyadarinya. Kedua, tindak kekerasan terhadap anak yang disengaja. Dalam konteks ini, aktor sengaja melakukan tindakan menyimpang terhadap aturan yang ada. Oleh karena itu perlu dipahami mengapa melakukan tindakan menyimpang? apa motivasinya? Dalam hubunganya dengan tindakan kekerasan terhadap anak perlu difahami apakah tindakan tersebut merupakan tindakan yang disengaja atau tidak sengaja, mengapa mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap anak, apa motivasi yang mendasari tindakan tersebut, apakah aturan-aturan yang ada tidak bersifat ambivalen, apakah kelompok-kelompok mempunyai aturan-aturan yang berbeda dalam mengatur masalah kekerasan terhadap anak tersebut?
Berdasarkan teori pathologi sosial dan perilaku menyimpang tersebut pada dasarnya penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap anak dapat bersumber pada person/aktor maupun sistem. Kesimpulan ini nampaknya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Susilowati (2008) bahwa kombinasi antara faktor person/aktor dan sistem pendidikan yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap siswa. Faktor-faktor tersebut yaitu: 1). Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa. 2). Persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap “melanggar” batas. Apa yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda/sign dari masalah yang tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas “menangani” tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan/sikap siswa. 3). Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang bersangkutan menjadi lebih sensitif dan reaktif. 4). Adanya tekanan kerja, target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar. 5). Pola authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid). Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan. 6). Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif (Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi “kering” dan stressful, dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi.
Sistem pendidikan nasional yang berubah-ubah dengan ditandai oleh silih bergantinya kurikulum dalam waktu singkat, merupakan salah satu aspek kegagalan sistem pendidikan. Belum terimplementasikannya suatu kurikulum hingga kegagalan perbaikan kurikulum merupakan beban baru bagi siswa. Termasuk ketika sistem ujian nasional diberlakukan, yang menjadikan ketidakjujuran sebagai sebuah bagian dari proses belajar mengajar. Kekerasan menjadi sebuah pilihan beberapa guru, dikarenakan tingginya beban pengetahuan yang harus dipindahkan ke siswa. Keterbatasan ruang kreasi pun terkadang menjadi sebuah hambatan tersendiri dalam proses belajar mengajar. Pemahaman substansi pendidikan telah sangat jauh ditinggalkan oleh guru sebagai pendidik.
Sementara menurut Mashar (2008), ada dua faktor penyebab bullying, yakni kepribadian dan situasional. Faktor kepribadian terjadi karena pengaruh dari pola asuh orang tua terhadap anak. Pola asuh yang otoriter terbukti mengakibatkan anak memiliki peluang menjadi pelaku bullying. Tayangan sinetron juga membentuk skema kognitif pada anak yang mengakibatkan mereka cenderung menjadi pelaku bullying. Cirinya anak memiliki kecendrungan motif dasar agresivitas, rasa rendah diri yang berlebihan, dan kecemasan. Sedang faktor situasional, sebagai anak remaja mereka berkecenderungan untuk mengikuti perilaku kelompok di lingkungannya. Apalagi jika di sekolah nyata-nyata memiliki tradisi bullying, maka tradisi tersebut akan menurun terus kepada yuniornya.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan menurut teori perilaku menyimpang untuk mengembalikan tindakan kekerasan terhadap anak tersebut adalah dengan meresosialisasi aktor yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak. Pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan cara penyadaran kepada anggota masyarakat bahwa kebiasaan (budaya) perlakuan kekerasan terhadap anak akan berakibat buruk bagi masa depan anak. Untuk menghilangkan tindak kekerasan dalam proses pendidikan di pondok pesantren, perlu sebuah penyadaran paradigma pikir dan aksi para ustadz dan seluruh santri yang ada di pesantren tentang dampak jangka pendek dan panjang yang mungkin akan ditimbulkan dari tindak kekerasan.Untuk itu, diperlukan kontrol berjenjang yang cukup ketat dari seluruh elemen Pondok Pesantren dalam proses pembelajaran santri terutama oleh pimpinan dan pengasuh pondok. Kontrol ini dilakukan untuk menghindari terjadinya tindak kekerasan pada lapisan ustadz dan santri senior yang setiap hari berhadapan langsung dengan kondisi riil di lapangan (Nurhilaliati, 2005).
Disamping itu juga melakukan peningkatan kontak individu terhadap lingkungan sosial yang cenderung konformiti terhadap nilai-nilai sosial yang diakui oleh sistem sosial. Berdasarkan temuan yang diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Adi dkk (2006), direkomendasikan agar dilakukan usaha-usaha untuk menghapuskan kekerasan melalui Sosialisasi KHA di berbagai lapisan masyarakat. Sosialisasi KHA bagi anak, guru dan orangtua dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Misalnya dengan memasukkan materi KHA dalam kurikulum sekolah. Sekolah dalam hal ini berperan mendidik dan memberikan contoh pendidikan tanpa kekerasan kepada anak didiknya. Sedangkan sosialisasi KHA pada aparat pemerintah khususnya mereka yang melakukan pelayanan terpadu bagi anak agar pelayanan yang dilakukan membantu proses recovery korban kekerasan.
Sedangkan untuk meningkatkan lingkungan sosial yang konformiti terhadap nilai-nilai anti kekerasan terhadap anak diperlukan penyuluhan terutama terhadap orang tua dan guru mengenai ketidakbenaran anggapan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan hukuman dalam rangka mendidik anak. Penyadaran pada orang tua dan guru untuk sebisa mungkin meminimalisir pemberian hukuman dan menggantinya dengan pendekatan negative reinforcement. Cara ini dianggap dapat membantu proses pendidikan tanpa berdampak pada terjadinya kekerasan terhadap anak.
Menurut Saifullah (2008) penyebab terjadinya kekerasan seksual dan fisik di pesantren dapat dicari dari salah satu faktor berikut: Pertama, pesantren pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan lain seperti sekolah. Keterbatasan sarana dan fasilitas pendukung penginapan seringkali membuat para santri harus tidur berdesakan dan mandi bersama-sama, tidak ada wilayah privat di pesantren. Interaksi fisik antar santri terjadi dalam interaksi tinggi. Pada waktu bersamaan, mayoritas santri sedang mengalami masa-masa pubertas. Mereka sedang asyik mencari tahu tentang fungsi dan perkembangan alat-alat reproduksinya. Dengan demikian tidak heran jika mereka saling memperhatikan atau membandingkan antara organ vital miliknya dengan teman-temannya. Bahkan ketika bergurau topik pembahasan pun mengarah pada seksualita. Keterbatasan sarana dan fasilitas ini juga memicu terjadinya kekerasan fisik karena perebutan wilayah kekuasaan' oleh raja-raja kecil.
Kedua, peraturan di pesantren dalam hal pergaulan antara santri dengan santriwati atau antara santri dengan dunia luar cukup ketat. Pembatasan secara fisik untuk berinteraksi dengan lawan jenis berpotensi memicu santri tidak menemukan penyaluran dan membuat orientasi seksualnya sedikit menyimpang. Hal ini didukung dengan interaksi intens dengan sesama jenis. Ibarat kata pepatah, tak ada tali akar pun jadi. Ketiga, kekerasan seksual seringkali dipicu karena seorang whistle blower. Sangat mungkin dari ratusan santri, satu atau dua orang memang memiliki kelainan orientasi seksual. Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua orang bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Para pelajar dari keluarga broken home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf. Keempat, di pesantren juga terdapat materi pelajaran seksualita dengan merujuk pada literatur dari kitab-kitab kuning. Pelajaran ini sejatinya khusus untuk santri dan santriwati senior. Namun, santri-santri junior juga sering menyamar untuk mengikuti pengajian yang digelar tengah malam ini. Tidak menutup kemungkinan kekerasan fisik dan seksual juga dilakukan oleh para staf pengajar. Pasalnya, di pesantren dituntut adanya ketaatan penuh.
Berbeda dengan perspektif pathologi sosial, teori interaksi simbolik melihat perilaku sebagai hasil dari proses interaksi sosial dengan orang lain. Dalam proses interaksi tersebut individu mendapatkan makna dari setiap tindakan dan menggunakanya sebagai alat untuk melakukan tindakan selanjutnya. Makna tersebut akan terus berubah sepanjang individu melakukan interaksi sosial. Oleh karena itu dalam memahami masalah tindakan kekerasan terhadap anak bersifat relatif tergantung pada interpretasi masyarakat tertentu atau tergantung pada bagaimana masyarakat memberi makna terhadap situasi kekerasan anak tersebut.
Dalam lingkungan atau masyarakat tertentu bisa jadi perilaku tertentu tidak diangap sebagai tindak kekerasan, tetapi di masyarakat yang lain perilaku tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Oleh karena itu persoalan kekerasan anak seringkali muncul karena perbedaan interpretasi antara individu dengan masyarakat. Individu memberikan makna bahwa apa yang dilakukan sebagai sesuatu yang wajar bukan merupakan tindakan kekerasan, sedangkan masyarakat memberi makna dan memberikan label sebagai tindakan kekerasan. Perbedaan interpretasi dan pemberian label tersebut karena adanya perbedaan referensi atau kerangka pengalaman yang dijadikan referensi dalam menginterpretasikan tindakan tersebut.
Perbedaan interpretasi dan referensi dapat terjadi misalnya pada para tokoh agama Islam dalam menginterpretasikan pasal-pasal yang ada dalam UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Islam “membolehkan” melakukan tindakan fisik sebagai ta’dîb (tindakan mendidik) terhadap anak. Ibnu Amr bin al-’Ash menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat. (HR Abu dawud dan al-Hakim).
Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman. Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud pukulan/tindakan fisik disini adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya) (http://pa-lubukbasung.pta-padang.go.id/ diakses tgl 3-2-2009).
Dunia pendidikan Islam juga telah memiliki kitab “wasiat” tersendiri yang berisi doktrin tentang kepatuhan atau etika terhadap guru seperti yang termaktub dalam kitab ta’lîm wa al-muta’allim. Berdasarkan hasil beberapa penelitian, ada yang menganggap bahwa kitab ini adalah salah satu sumber munculnya kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan, yang belakangan ini sudah banyak dikritisi oleh para pakar pendidikan modern (Nurhilaliati, 2005).
Perbedaan persepsi dan interpretasi tidak hanya antara agama, tetapi juga dapat terjadi dalam lingkup budaya, mendidik anak dengan memberikan hukuman fisik merupakan bagian dari budaya. Hasil kajian yang dilakukan oleh Adi dkk. (2008) menemukan kekerasan yang dialami anak dari orang tuanya atau guru dianggap hukuman dalam rangka mendidik anak, hal tersebut masih merupakan kebiasaan (budaya) mereka. Sedangkan perlindungan anak terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga dalam prakteknya belum tersentuh karena masih dianggap sebagai urusan (hak) keluarga.
Pemberian label terhadap tindakan individu sebagai tindakan kekerasan dapat memberikan rangsangan untuk mendorong individu berpikir dalam memberikan makna terhadap tindakanya. Melalui proses interaksi sosial, makna tersebut dapat berubah sehingga individu dapat mempunyai makna yang sama dengan masyarakat dengan demikian dapat merubah tindakannya. Tindakan kekerasan yang tadinya dianggap wajar oleh individu kemudian diinterpretasikan sebagai tindakan penyimpangan sehingga individu kemudian merubah tindakanya.
0 komentar :
Post a Comment