1. 1. Pengertian Tunagrahita
Pedoman penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (1993) Mendefinisikan tungrahita yaitu adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat intelegensi yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan social. Tunagrahita dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. Namun demikian, penyandang tunagrahita bisa mengalami semua gangguan jiwa yang ada, dan prevalensi dari gangguan jiwa lainnya sekurang-kurangnya tiga sampai empat kali lipat pada populasi umum. Selain itu, penyandang tunagrahita mempunyai resiko lebih besar untuk di eksploitasi untuk diperlakukan salah secara fisik atau seksual (physic or sexual abuse). Selalu ada hendaya perilaku adaptif, tetapi dalam lingkingan social terlindung dimana sarana pendukung cukup tersedia, hendaya ini mungkin tidak sampai sama sekali pada penyandang tunagrahita taraf ringan.
Seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita atau retardasi mental, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangnnya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya (Branata dalam Effendi, 2006).
Edgarr Doll (dalam Efendi, 2006) berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita jika : (1) secara social tidak cakap, (2) secara mental dibawah normal, (3) kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda, dan (4) kematangannya terhambat. Adapun Efendi (2006) mengemukakan istilah anak berkelainan mental subnormal disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan (feebleminded), mental subnormal serta tunagrahita. Semua makna diatas menunjuk kepada seseorang yang memiliki kecerdasan mental bawah normal.
Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan pengertian tunagrahita adalah salah satu bentuk gangguan yang dapat ditemui diberbagai tempat, dengan karakteristik penederitanya yang memiliki tingkatn kecerdasan dibawah rata-rata (IQ dibawah 75), dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi maupun melakukan berbagai aktivitas sosial lingkungan.
1. 2. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Klasifikasi berdasarkan skor IQ WISC (dalam Efendi, 2006):
a. Ringan (Mild atau Debil atau Moron)
Anak tunagrahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik antara lain:
1) Membaca, menulis, mengeja, dan berhitung, kepentingan kerja dikemudian hari. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial dan pekerjaan.
b. Sedang (Imbecile atau Moderate)
Anak tunagrahita mampu latih atau imbecile adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedimikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik. Oleh karena itu, beberapa kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu diberdayakan, yaitu:
1) Belajar mengurus diri sendiri, misalnya makan, pakaian, tidur, atau mandi sendiri.
2) Belajar menyesuaikan lingkungan rumah atau sekitarnya.
3) Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah, dibengkel kerja, atau di lembaga khusus.
Kesimpulannya, anak tungrahita mampu latih berarti anak tunagrahita yang hanya dapat dilatih untuk megurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari (daily living), serta melakukan fungsi social kemasyarakatan menurut kemampuannya.
c. Berat atau Idiot (IQ 0-25)
Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain. A child who is an idiot is so low intelectually that he does not lern to talk and usually does learn to take care of his bodily need (kirk & Johnson dalam Efendi, 2006). Dengan kata lain, anak tunagrahita rawat adalah anak tunagrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain (totally dependent) (Patton dalam Efendi, 2006).
Klasifikasi tunagrahita menurut Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ III) adalah :
1. Tunagrahita Ringan (IQ 50-69)
Penyandang tunagrahita ringan biasanya agak terlambat dalam belajar bahasa tetapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan berbicara untuk keperluan sehari-hari, mengadakan percakapan, dan dapat diwawancarai. Kebanyakan dari mereka juga dapat mandiri penuh dalam merawat diri sendiri (makan, mandi, berpakaian, buang air besar dan kecil) dan mencapai keterampilan praktis dan keterampilan rumah tangga, walaupun tingkat perkembangannya agak lambat daripada normal. Kesulitan utama biasanya tampak dalam pekerjaan sekolah yang bersifat akademis, dan banyak diantaranya mempunyai masalah khusus dalam membaca dan menulis. Namun demikian, penyandang tunagrahita ringan bisa sangat tertolong dengan pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan mereka dan mengkompensasi kecacatan mereka. Kebanyakan penyandang tunagrahita ringan yang tingkat intelegensinya lebih tinggi mempunyai potensi melakukan pekerjaan yang lebih membutuhkan kemampuan praktis daripada akademik, termasuk memerlukan sedikir keterampilan saja. Dalam konteks sosiokultural yang memerlukan sedikit prestasi akademik, sampai tingkat tertentu dari tunagrahita ringan tidak menunjukkan masalah. Namun demikian, bila juga terdapat immaturitas emosional dan sosial yang nyata, maka tampak akibat kecacatannya misalnya ketidakmampuan mengatasi tuntutan pernikahan atau pengasuhan anak, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan harapan dan tradisi budaya.
1. Tunagrahita Sedang (IQ 35-49)
Penyandang tunagrahita kategori ini lambat dalam mengembangkan pemahaman dan penggunaan bahasa, prestasi akhir yang dapat mereka capai dalam bidang ini terbatas. Keterampilan merawat diri dan keterampilan motorik juga terlambat, dan sebagian dari mereka ini memerlukan pengawasan seumur hidup. Kemajuan dengan pekerjaan sekolah terbatas, tetapi sebagian dari mereka ini dapat belajar keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk membaca, menulis dan berhitung. Program pendidikan khusus dapat memberi kesempatan mereka untuk mengembangkan potensi mereka yang terbatas dan memperoleh keterampilan dasar. Ketika dewasa, penyandang tunagrahita sedang ini biasanya mampu melakukan pekerjaan praktis yang sederhana, bila tugas-tugasnya disusun rapid an diawasi. Jarang ada yang dapat hidup mandiri sepenuhnya pada masa aktif secara fisik dan mayoritas menunjukkan perkembangan sosial dalam kemampuan mengadakan kontak, berkomunikasi dengan orang lain, dan terlibat dalam aktivitas sosial yang sederhana.
1. Tunagrahita Berat (IQ 20-34)
Kategori ini umumnya mirip dengan tunagrahita sedang dalam hal gambaran klinis, terdapatnya suatu etiologi organic, dan kondisi yang menyertainya. Prestasi yang lebih rendah daripada tunagrahita sedang juga paling lazim pada kelompok ini. Kebanyakan penyandang tunagrahita kategori ini menderita hendaya motorik atau defisit lain yang menyertainya, dan hal ini menunjukkan adanya kerusakan atau penyimpangan perkembangan yang bermakna secara klinis dari susunan syaraf pusat.
1. Tunagrahita Sangat Berat (IQ <20) Dalam kategori ini, secara praktis individu yang menyandang tunagrahita sangat berat sangat terbatas kemampuannya untuk mematuhi atau memahami permintaan atau instruksi. Sebagian besar dari mereka tidak dapat bergerak atau sangat terbatas dalam gerakannya, inkontinensia, dan hanya mampu mengadakan komunikasi verbal yang belum sempurna. Mereka tidak atau hanya mempunyai sedikit sekali kemampuan untuk mengurus sendiri kebutuhan dasar mereka, dan senantiasa memerlukan bantuan dan pengawasan. Pengklasifikasian atau penggolongan anak tunagrahita menurut American Psychiatric Association (dalam Kaplan, 1997) sebagai berikut : 1. Tunagrahita taraf ringan (mild mental retardation) tingkat IQ 50-55 sampai kira-kira 70. 2. Tunagrahita taraf sedang (moderate mental retardation) tingkat IQ 35-40 sampai 50-55. 3. Tunagrahita taraf berat (severe mental retardation) tingkat IQ dibawah 20 atau 25. 4. Tunagrahita, keparahan tidak ditentukan (jika terdapat kecurigaan kuat adanya tunagrahita tetapi intelegensi pasien tidak dapat diuji oleh tes intelegensi baku). Beradarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tunagrahita memiliki beberapa jenis berdasarkan tingkat skor IQ yang dimiliki individu tunagrahita yaitu tunagrahita ringan (IQ 50-69), tunagrahita sedang (IQ 35-49), tunagrahita berat (IQ 20-34), tunagrahita sangat berat (IQ <20). 1. 3. Penyebab Tunagrahita Tunagrahita dapat disebabkan oleh beberapa faktor (Kaplan, 1997) yaitu: 1. Genetik (kromosom dan bawaan) 1) Sindroma down (mongoloid) dengan karakteristik mata yang sipit, lipatan epikantus, dan hidung yang pesek. Terdapat persetujuan tentang beberapa faktor penyebab dalam gangguan kromosom, diantaranya yaitu bertambahnya usia ibu, kemungkinan bertambahnya usia ayah, dan radiasi sinar-X. Menurut banyak sumber, pasien dengan sindroma down adalah tenang, riang dan bekerja sama yang mempermudah penyesuaian diri mereka dirumah. Gambaran tampaknya berubah pada masa remaja yang mungkin mengalami berbagi kesulitan emosional, gangguan perilaku, dan kemungkina kecil gangguan psikotik. Orang dengan sindroma down menunjukkan pemburukan yang jelas dalam bahasa, daya ingat, keterampilan merawat diri sendiri, dan memecahkan masalah dalam usia 30 tahunan. 2) Sindroma X rapuh merupakan penyebab tunggal kedua yang tersering pada tunagrahita. Sindroma ini disebabkan dari mutasi pada kromosom X yang diketahui sebagai tempat rapuh. Fenotip yang tipikal adalah kepala yang besar dan panjang, perawakan pendek, sendi hiperekstensif, dan makro-orkhidisme pascapubertal. Derajat tunagrahita terentang dari ringan sampai berat. Ciri perilaku orang dengan sindroma ini adalah tingginya angka gangguan defisit atensi/hiperaktivitas, gangguan belajar, dan gangguan perkembangan pervasif, seperti gangguan autistic. Defisit dalam fungsi bahasa adalah pembicaraan yang cepat dan perseveratif dengan kelainan mengkombinasikan kata-kata membentuk frase dan kalimat. Orang dengan sindroma X rapuh tampaknya memiliki keterampilan dalam komunikasi dan sosialisasi yang relative kuat, dan fungsi intelektual mereka tampaknya menurun dalam periode pubertal. 3) Sindroma Prader-Willi, merupakan akibat dari penghilangan kecil pada kromosom 15, biasanya terjadi secara sporadik. Orang-orang dengan sindroma ini menunjukkan perilaku makan yang kompulsif dan seringkali obesitas, tunagrahita, hipogonadisme, perawakan pendek, hipotonia, dan tangan dan kaki yang kecil. Anak-anak dengan sindroma ini seringkali memiliki perilaku oposisional yang menyimpang. 4) Sindroma tangisan kucing (cat cry syndrome). Anak-anak dengan sindroma ini kehilangan bagian kromosom 5. mereka mengalami seringkali disertai dengan penyimpangan kromosom, seperti mikrosefali, telinga yang letaknya rendah, fisura palpebraoblik, hipertelorisme, dan mikrognatia. Tangisan seperti kucing yang karakteristik, disebabkan oleh kelainan laring, dan sindroma ini menghilang seiring dengan bertambahnya usia. 1. Faktor genetik lain: 1) Femilketonuria (PKU), merupakan gangguan metabolisme bawaan. Sebagian besar pasien dengan PKU mengalami tingkat keparahan tunagrahita yang berat, tetapi beberapa dilaporkan mengalami kecerdasan yang normal. Ekserma, kejang dan muntah ditemukan pada sepertiga kasus. Gambaran anak dengan PKU adalah hiperaktif dan menunjukkan gerakan yang aneh pada tubuhnya dan anggota gerak atas dan manerisme memuntir tangan, dan perilaku mereka terkadang menyerupai anak yang autistic dan schizofrenik. Komunikasi verbal dan nonverbal biasanya terganggu parah atau tidak ditemukan. Koordinasi anak adalah buruk, dan mereka memiliki banyak kesulitan perceptual. 2) Gangguan Rett, merupakan sindroma tunagrahita dominant terkait-X yang degeneratif dan hanya mengenai wanita. Pemburukan keterampilan komunikasi perilaku motorik, dan fungsi sosial dimulai pada usia 1,5 tahun. Gejala autistik dan ataksia sering ditemukan. 3) Neurofibromatosis, merupakan sindroma neurokutaneus yang paling sering disebabkan oleh gen dominant tunggal. Gangguan ini mungkin diturunkan, atau mungkin juga karena mutasi yang baru. Ditemukan pada sepertiga dari penderita tunagrahita taraf ringan. 4) Sklerosis tuberosis merupakan sindrom neurokutaneus yang kedua yang tersering. Angka autisme yang lebih tinggi dibandingkan gangguan intelektual akan menyebabkan orang memperkirakan gangguan ini. 5) Sindroma Lesch-Nyhan, merupakan suatu gangguan yang jarang disebabkan oleh defisiensi suatu enzim yang terlibat dalam metabolisme purin. Sindroma ini disertai dengan mutilasi diri kompulsif yang parah dengan menggigit mulut dan jari-jari. 6) Adrenoleukodistrofi, ditandai oleh demielinasi difus pada materi putih serebral, yang menyebabkan gangguan visual dan intelektual, kejang, spastisitas, dan perkembangan menuju kematian. Onset klinis biasanya antara 5 dan 8 tahun, dengan kejang awal, gangguan gaya berjalan, dan gangguan intelektual ringan. 7) Penyakit urin sirup maple, gejala klinis dari penyakit urin sirup maple tampak selama minggu pertama kehidupan. Bayi memburuk dengan cepat dan mengalami rigiditas deserebrasi, kejang, iregularitas pernapasan, dan hipoglikemia. 8) Gangguan defisiensi enzim lain. 1. Pada masa sebelum kelahiran (pra-natal) 1. Infeksi Rubella (cacar Jerman), Rubella telah menggantikan sifilis sebagai penyebab utama malformasi congential dan tunagrahita yang disebabkan oleh infeksi maternal. Anak-anak dari ibu yang terkena menunjukkan sejumlah kelainan, termasuk penyakit jantung congential, tunagrahita, katarak, ketulian, mikrosefali, dan makroftalmia. 2. Penyakit inklusi sitomegalik, anak-anak dengan tunagrahita dari penyakit ini seringkali memiliki klasifikasi serebral, mikrosefali, atau hidrosefalus. Diagnosis ditegakkan dengan temuan virus yang positif pada kultur tenggorok urin dengan ditemukannya sel mengandung inklusi dalam urin. 3. Sifilis, sifilis pada wanita hamil dahulu merupakan penyebab utama berbagai perubahan neuropatologis pada keturunannya, termasuk tunagrahita. Sekarang, insidensi komplikasi sifilitik berfluktuasi tergantung insidensi sifilis pada populasi umum. 4. Toxoplasmosis, dapat ditransmisikan dari ibu kepada janinnya. Penyakit ini menyebabkan tunagrahita ringan atau berat, dan pada kasus yang berat, meyebabkan hidrosefalus, kejang, mikrosefali, dan korioretinitis. 5. Herpes simpleks, dapat ditransmisikan transplasental, walaupun cara yang paling sering adalah selama kelahiran. Mikrosefali, tunagrahita, klasifikasi intracranial, dan kelainan ocular dapat terjadi. 6. Sindroma AIDS, banyak janin dari ibu dengan AIDS tidak pernah cukup bulan karena terjadi lahir mati dan abortus spontan. Pada mereka yang dilahirkan terinfeksi virus HIV sampai sepenuhnya mengalami ensefalopati progresif, tunagrahita, dan kejang dalam tahun pertama kehidupan. 7. Sindroma alcohol janin, dapat terdiri dari tunagrahita da gambaran fenotipik tipikal berupa dismorfisme fasial yang termasuk hipertelorisme, mikrosefall, fisura palpebra yang pendek, lipatan epikantus bagian dalam, dan hidung yang pendek dan mengarah ke atas. Seringkali, anak yang terkena, mengalami gangguan belajar dan gangguan defisit atensi/hiperaktivitas. 8. Pemaparan zat prenatal, pemaparan prenatal seperti heroin, oplate, seringkali menyebabkan seorang bayi yang kecil untuk usia kehamilannya, dengan lingkaran kepala di bawah persentil ke-10 dengan gejala putus zat yang bermanifestasi dalam dua hari pertama kehidupannya. Gejala putus zat pada bayi adalah iritabilitas, hipertonia, tremor, muntah, tangisan dengan nada tinggi, dan kelainan pola tidur. 9. Penyulit kehamilan, toksemia pada kehamilan dan diabetes maternal yang tidak terkendala memberikan bahaya bagi janin dan kadang-kadang menyebabkan tunagrahita. 2. Pada saat kelahiran (perinatal) Tunagrahita yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi saat kelahiran adalah luka-luka pada saat kelahiran, sesak nafas (asphyxia), dan lahir prematur. 1. Pada saat setelah lahir (post-natal) Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya; meningitis (peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi (kekurangan gizi, misalnya kekurangan protein yang diderita bayi dan awal masa kanak-kanak), cedera kepala yang disebabkan karena kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan kecacatan mental. 1. Faktor Sosiokultural Sosiokultural atau sosial budaya lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan intelektual manusia. Di satu sisi faktor kebudayaan memang mempunyai sumbangan positif dalam membangun kemampuan psikofisik dan psikososial anak secara baik, namun apabila faktor-faktor tersebut tidak berperan baik, tidak menutup kemungkinan berpengaruh terhadap psikofisik dan psikososial anak. Tunagrahita biasanya secara bermakna menonjol di antara orang yang mengalami gangguan cultural, kelompok sosioekonomi rendah, dan banyak saudaranya yang terkena tunagrahita dengan derajat yang serupa. Kehamilan pada remaja juga sering menjadi penyebab tunagrahita. Sedangkan menurut Kirk (dalam Effendi, 2006), penyebab tunagrahita yaitu karena faktor endogen, yaitu faktor ketidaksempurnaan psikobiologis dalam memindahkan gen (hereditary transmission of psycho-biologicalinsufficiency) dan faktor eksogen, yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan psikologis dari perkembangan mental. Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan, pemyebab ketunagrahitaan menurut Devenport (dalam Efendi, 2006) dapat dirinci melalui jenjang berikut: 1. Kelainan atau ketunaan yang timbul pada benih plasma, 2. Kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan telur, 3. Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan dengan implantasi, 4. Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam embrio, 5. Kelainan atau ketunaan yang timbul dari luka saat kelahiran, 6. Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam janin, 7. Kelainan atau ketunaan yang timbul pada bayi dan kanak-kanak. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab tunagrahita adalah berasal dari faktor genetik dan kelainan kromosom yang terjadi pada masa pra-natal , pada masa peri-natal seperti adanya sesak nafas dan lahir prematur, pada masa post-natal seperti infeksi atau meningitis dan defisiensi nutrisi, serta faktor sosiokultural seperti keberhasian yang terjadi pada usia remaja. 4. Karakteristik Tunagrahita Berdasarkan Efendi (2006) karakteristik anak tunagrahita yaitu: 1. Anak tunagrahita mampu didik (debil) 1) Membaca, menulis, mengeja dan berhitung. 2) Menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain. 3) Keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja di kemudian hari. 1. Anak tunagrahita mampu latih (imbecil) 1) Belajar mengurus diri sendiri. 2) Belajar menyesuaikan di lingkungan rumah. 3) Mempelajari kegunaan ekonomi di rumah, di bengkel kerja, atau di lembaga khusus. 1. Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) 1) Tidak mampu mengurus diri sendiri. 2) Membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidup. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat di simpulkan bahwa karakteristik indivvidu tuangrahita adalah lamban belajar, kemampuan biacaranya kurang, dan memiliki penyesuaian diri dengan lingkungan serta cenderung untuk melakukan tindakan yang kurang wajar dan dilakukannya secara terus-menerus. 5. Dampak Tunagrahita Dalam Kaplan (1997), dampak dari tunagrahita adalah: 1. Gangguan neurologis, laporan menyatakan bahwa resiko untuk psikopatologi meningkat dalam berbagai kondisi neurologis, seperti gangguan kejang. Angka psikopatologi meningkat dengan keparahan tunagrahita, yang menyatakan peningkatan gangguan neurologis saat gangguan intelektual meningkat. 2. Sindroma genetik, adanya gangguan defisit atensi/hiperaktivitas yang sangat tinggi; gangguan autistic. 3. Faktor Psikososial, citra diri yang negatif dan harga diri yang buruk setelah cirri yang sering ditemukan pada individu tunagrahita ringan dan sedang yang merasa berbeda dari orang lain. Mereka mengalami kegagalan dan kekecewaan berulang karena tidak memenuhi harapan orang tuanya dan masyarakat secara progresif tertinggal di belakang temang sebayanya dan bahkan oleh sanak saudaranya yang lebih kecil. Kesulitan komunikasi semakin meningkatkan kerentanan mereka terhedap kecanggungan dan ilustrasi. Perilaku yang tidak sesuai, seperti menarik diri, adalah sering terjadi. Perasaan isolasi dan ketidakberdayaan yang terus menerus telah berhubungan dengan perasaan kecemasan, disforia, dan depresi. Sedangkan dampak tunagrahita menurut Efendi (2006), yaitu: 1. Cenderung memiliki kemampuan berfikir konkret dan sukar berfikir. 2. Mengalami kesulitan berkonsentrasi. 3. Kemampuan bersosialisasinya sangat terbatas. 4. Tidak mampu menyimpan instruksi-instruksi yang sulit. 5. Kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapinya. Pada tunagrahita mampu didik, prestasi tertinggi di bidang baca, tulis, hokum, tidak lebih dari anak normal khususnya setingkat kelas III sampai IV Sekolah Dasar. Tunagrahita 1. Pengertian Tunagrahita Pedoman penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (1993) Mendefinisikan tungrahita yaitu adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, terutama ditandai oleh hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat intelegensi yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan social. Tunagrahita dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya. Namun demikian, penyandang tunagrahita bisa mengalami semua gangguan jiwa yang ada, dan prevalensi dari gangguan jiwa lainnya sekurang-kurangnya tiga sampai empat kali lipat pada populasi umum. Selain itu, penyandang tunagrahita mempunyai resiko lebih besar untuk di eksploitasi untuk diperlakukan salah secara fisik atau seksual (physic or sexual abuse). Selalu ada hendaya perilaku adaptif, tetapi dalam lingkingan social terlindung dimana sarana pendukung cukup tersedia, hendaya ini mungkin tidak sampai sama sekali pada penyandang tunagrahita taraf ringan. AAMD (America Association of Mental Deficiency) menjelaskan bahwa tunagrahita menunjukkan adanya keterbatasan dalam fungsi, yang mencakup fungsi intelektual yang dibawah rata-rata, dimana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih keterampilan adaptif seperti komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan social, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, dan waktu luang. Keadaan ini nampak sebelum usia 18 Tahun. Gangguan dipengaruhi oleh faktor genetic, lingkungan dan psikososial (Kaplan, 1997). Seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita atau retardasi mental, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangnnya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya (Branata dalam Effendi, 2006). Edgarr Doll (dalam Efendi, 2006) berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita jika : (1) secara social tidak cakap, (2) secara mental dibawah normal, (3) kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda, dan (4) kematangannya terhambat. Adapun Efendi (2006) mengemukakan istilah anak berkelainan mental subnormal disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan (feebleminded), mental subnormal serta tunagrahita. Semua makna diatas menunjuk kepada seseorang yang memiliki kecerdasan mental bawah normal. Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan pengertian tunagrahita adalah salah satu bentuk gangguan yang dapat ditemui diberbagai tempat, dengan karakteristik penederitanya yang memiliki tingkatn kecerdasan dibawah rata-rata (IQ dibawah 75), dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi maupun melakukan berbagai aktivitas sosial lingkungan. 2. Klasifikasi Anak Tunagrahita Klasifikasi berdasarkan skor IQ WISC (dalam Efendi, 2006): a. Ringan (Mild atau Debil atau Moron) Anak tunagrahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik antara lain: 1) Membaca, menulis, mengeja, dan berhitung, kepentingan kerja dikemudian hari. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial dan pekerjaan. b. Sedang (Imbecile atau Moderate) Anak tunagrahita mampu latih atau imbecile adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedimikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik. Oleh karena itu, beberapa kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu diberdayakan, yaitu: 1) Belajar mengurus diri sendiri, misalnya makan, pakaian, tidur, atau mandi sendiri. 2) Belajar menyesuaikan lingkungan rumah atau sekitarnya. 3) Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah, dibengkel kerja, atau di lembaga khusus. Kesimpulannya, anak tungrahita mampu latih berarti anak tunagrahita yang hanya dapat dilatih untuk megurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari (daily living), serta melakukan fungsi social kemasyarakatan menurut kemampuannya. c. Berat atau Idiot (IQ 0-25) Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain. A child who is an idiot is so low intelectually that he does not lern to talk and usually does learn to take care of his bodily need (kirk & Johnson dalam Efendi, 2006). Dengan kata lain, anak tunagrahita rawat adalah anak tunagrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain (totally dependent) (Patton dalam Efendi, 2006). Klasifikasi tunagrahita menurut Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ III) adalah : a. Tunagrahita Ringan (IQ 50-69) Penyandang tunagrahita ringan biasanya agak terlambat dalam belajar bahasa tetapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan berbicara untuk keperluan sehari-hari, mengadakan percakapan, dan dapat diwawancarai. Kebanyakan dari mereka juga dapat mandiri penuh dalam merawat diri sendiri (makan, mandi, berpakaian, buang air besar dan kecil) dan mencapai keterampilan praktis dan keterampilan rumah tangga, walaupun tingkat perkembangannya agak lambat daripada normal. Kesulitan utama biasanya tampak dalam pekerjaan sekolah yang bersifat akademis, dan banyak diantaranya mempunyai masalah khusus dalam membaca dan menulis. Namun demikian, penyandang tunagrahita ringan bisa sangat tertolong dengan pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan mereka dan mengkompensasi kecacatan mereka. Kebanyakan penyandang tunagrahita ringan yang tingkat intelegensinya lebih tinggi mempunyai potensi melakukan pekerjaan yang lebih membutuhkan kemampuan praktis daripada akademik, termasuk memerlukan sedikir keterampilan saja. Dalam konteks sosiokultural yang memerlukan sedikit prestasi akademik, sampai tingkat tertentu dari tunagrahita ringan tidak menunjukkan masalah. Namun demikian, bila juga terdapat immaturitas emosional dan sosial yang nyata, maka tampak akibat kecacatannya misalnya ketidakmampuan mengatasi tuntutan pernikahan atau pengasuhan anak, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan harapan dan tradisi budaya. b. Tunagrahita Sedang (IQ 35-49) Penyandang tunagrahita kategori ini lambat dalam mengembangkan pemahaman dan penggunaan bahasa, prestasi akhir yang dapat mereka capai dalam bidang ini terbatas. Keterampilan merawat diri dan keterampilan motorik juga terlambat, dan sebagian dari mereka ini memerlukan pengawasan seumur hidup. Kemajuan dengan pekerjaan sekolah terbatas, tetapi sebagian dari mereka ini dapat belajar keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk membaca, menulis dan berhitung. Program pendidikan khusus dapat memberi kesempatan mereka untuk mengembangkan potensi mereka yang terbatas dan memperoleh keterampilan dasar. Ketika dewasa, penyandang tunagrahita sedang ini biasanya mampu melakukan pekerjaan praktis yang sederhana, bila tugas-tugasnya disusun rapid an diawasi. Jarang ada yang dapat hidup mandiri sepenuhnya pada masa aktif secara fisik dan mayoritas menunjukkan perkembangan sosial dalam kemampuan mengadakan kontak, berkomunikasi dengan orang lain, dan terlibat dalam aktivitas sosial yang sederhana. c. Tunagrahita Berat (IQ 20-34) Kategori ini umumnya mirip dengan tunagrahita sedang dalam hal gambaran klinis, terdapatnya suatu etiologi organic, dan kondisi yang menyertainya. Prestasi yang lebih rendah daripada tunagrahita sedang juga paling lazim pada kelompok ini. Kebanyakan penyandang tunagrahita kategori ini menderita hendaya motorik atau defisit lain yang menyertainya, dan hal ini menunjukkan adanya kerusakan atau penyimpangan perkembangan yang bermakna secara klinis dari susunan syaraf pusat. d. Tunagrahita Sangat Berat (IQ <20) Dalam kategori ini, secara praktis individu yang menyandang tunagrahita sangat berat sangat terbatas kemampuannya untuk mematuhi atau memahami permintaan atau instruksi. Sebagian besar dari mereka tidak dapat bergerak atau sangat terbatas dalam gerakannya, inkontinensia, dan hanya mampu mengadakan komunikasi verbal yang belum sempurna. Mereka tidak atau hanya mempunyai sedikit sekali kemampuan untuk mengurus sendiri kebutuhan dasar mereka, dan senantiasa memerlukan bantuan dan pengawasan. Pengklasifikasian atau penggolongan anak tunagrahita menurut American Psychiatric Association (dalam Kaplan, 1997) sebagai berikut : a. Tunagrahita taraf ringan (mild mental retardation) tingkat IQ 50-55 sampai kira-kira 70. b. Tunagrahita taraf sedang (moderate mental retardation) tingkat IQ 35-40 sampai 50-55. c. Tunagrahita taraf berat (severe mental retardation) tingkat IQ dibawah 20 atau 25. d. Tunagrahita, keparahan tidak ditentukan (jika terdapat kecurigaan kuat adanya tunagrahita tetapi intelegensi pasien tidak dapat diuji oleh tes intelegensi baku). Beradarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa tunagrahita memiliki beberapa jenis berdasarkan tingkat skor IQ yang dimiliki individu tunagrahita yaitu tunagrahita ringan (IQ 50-69), tunagrahita sedang (IQ 35-49), tunagrahita berat (IQ 20-34), tunagrahita sangat berat (IQ <20). 3. Penyebab Tunagrahita Tunagrahita dapat disebabkan oleh beberapa faktor (Kaplan, 1997) yaitu: a. Genetik (kromosom dan bawaan) 1) Sindroma down (mongoloid) dengan karakteristik mata yang sipit, lipatan epikantus, dan hidung yang pesek. Terdapat persetujuan tentang beberapa faktor penyebab dalam gangguan kromosom, diantaranya yaitu bertambahnya usia ibu, kemungkinan bertambahnya usia ayah, dan radiasi sinar-X. Menurut banyak sumber, pasien dengan sindroma down adalah tenang, riang dan bekerja sama yang mempermudah penyesuaian diri mereka dirumah. Gambaran tampaknya berubah pada masa remaja yang mungkin mengalami berbagi kesulitan emosional, gangguan perilaku, dan kemungkina kecil gangguan psikotik. Orang dengan sindroma down menunjukkan pemburukan yang jelas dalam bahasa, daya ingat, keterampilan merawat diri sendiri, dan memecahkan masalah dalam usia 30 tahunan. 2) Sindroma X rapuh merupakan penyebab tunggal kedua yang tersering pada tunagrahita. Sindroma ini disebabkan dari mutasi pada kromosom X yang diketahui sebagai tempat rapuh. Fenotip yang tipikal adalah kepala yang besar dan panjang, perawakan pendek, sendi hiperekstensif, dan makro-orkhidisme pascapubertal. Derajat tunagrahita terentang dari ringan sampai berat. Ciri perilaku orang dengan sindroma ini adalah tingginya angka gangguan defisit atensi/hiperaktivitas, gangguan belajar, dan gangguan perkembangan pervasif, seperti gangguan autistic. Defisit dalam fungsi bahasa adalah pembicaraan yang cepat dan perseveratif dengan kelainan mengkombinasikan kata-kata membentuk frase dan kalimat. Orang dengan sindroma X rapuh tampaknya memiliki keterampilan dalam komunikasi dan sosialisasi yang relative kuat, dan fungsi intelektual mereka tampaknya menurun dalam periode pubertal. 3) Sindroma Prader-Willi, merupakan akibat dari penghilangan kecil pada kromosom 15, biasanya terjadi secara sporadik. Orang-orang dengan sindroma ini menunjukkan perilaku makan yang kompulsif dan seringkali obesitas, tunagrahita, hipogonadisme, perawakan pendek, hipotonia, dan tangan dan kaki yang kecil. Anak-anak dengan sindroma ini seringkali memiliki perilaku oposisional yang menyimpang. 4) Sindroma tangisan kucing (cat cry syndrome). Anak-anak dengan sindroma ini kehilangan bagian kromosom 5. mereka mengalami seringkali disertai dengan penyimpangan kromosom, seperti mikrosefali, telinga yang letaknya rendah, fisura palpebraoblik, hipertelorisme, dan mikrognatia. Tangisan seperti kucing yang karakteristik, disebabkan oleh kelainan laring, dan sindroma ini menghilang seiring dengan bertambahnya usia. b. Faktor genetik lain: 1) Femilketonuria (PKU), merupakan gangguan metabolisme bawaan. Sebagian besar pasien dengan PKU mengalami tingkat keparahan tunagrahita yang berat, tetapi beberapa dilaporkan mengalami kecerdasan yang normal. Ekserma, kejang dan muntah ditemukan pada sepertiga kasus. Gambaran anak dengan PKU adalah hiperaktif dan menunjukkan gerakan yang aneh pada tubuhnya dan anggota gerak atas dan manerisme memuntir tangan, dan perilaku mereka terkadang menyerupai anak yang autistic dan schizofrenik. Komunikasi verbal dan nonverbal biasanya terganggu parah atau tidak ditemukan. Koordinasi anak adalah buruk, dan mereka memiliki banyak kesulitan perceptual. 2) Gangguan Rett, merupakan sindroma tunagrahita dominant terkait-X yang degeneratif dan hanya mengenai wanita. Pemburukan keterampilan komunikasi perilaku motorik, dan fungsi sosial dimulai pada usia 1,5 tahun. Gejala autistik dan ataksia sering ditemukan. 3) Neurofibromatosis, merupakan sindroma neurokutaneus yang paling sering disebabkan oleh gen dominant tunggal. Gangguan ini mungkin diturunkan, atau mungkin juga karena mutasi yang baru. Ditemukan pada sepertiga dari penderita tunagrahita taraf ringan. 4) Sklerosis tuberosis merupakan sindrom neurokutaneus yang kedua yang tersering. Angka autisme yang lebih tinggi dibandingkan gangguan intelektual akan menyebabkan orang memperkirakan gangguan ini. 5) Sindroma Lesch-Nyhan, merupakan suatu gangguan yang jarang disebabkan oleh defisiensi suatu enzim yang terlibat dalam metabolisme purin. Sindroma ini disertai dengan mutilasi diri kompulsif yang parah dengan menggigit mulut dan jari-jari. 6) Adrenoleukodistrofi, ditandai oleh demielinasi difus pada materi putih serebral, yang menyebabkan gangguan visual dan intelektual, kejang, spastisitas, dan perkembangan menuju kematian. Onset klinis biasanya antara 5 dan 8 tahun, dengan kejang awal, gangguan gaya berjalan, dan gangguan intelektual ringan. 7) Penyakit urin sirup maple, gejala klinis dari penyakit urin sirup maple tampak selama minggu pertama kehidupan. Bayi memburuk dengan cepat dan mengalami rigiditas deserebrasi, kejang, iregularitas pernapasan, dan hipoglikemia. Gangguan defisiensi enzim lain. c. Pada masa sebelum kelahiran (pra-natal) 1. Infeksi Rubella (cacar Jerman), Rubella telah menggantikan sifilis sebagai penyebab utama malformasi congential dan tunagrahita yang disebabkan oleh infeksi maternal. Anak-anak dari ibu yang terkena menunjukkan sejumlah kelainan, termasuk penyakit jantung congential, tunagrahita, katarak, ketulian, mikrosefali, dan makroftalmia. 2. Penyakit inklusi sitomegalik, anak-anak dengan tunagrahita dari penyakit ini seringkali memiliki klasifikasi serebral, mikrosefali, atau hidrosefalus. Diagnosis ditegakkan dengan temuan virus yang positif pada kultur tenggorok urin dengan ditemukannya sel mengandung inklusi dalam urin. 3. Sifilis, sifilis pada wanita hamil dahulu merupakan penyebab utama berbagai perubahan neuropatologis pada keturunannya, termasuk tunagrahita. Sekarang, insidensi komplikasi sifilitik berfluktuasi tergantung insidensi sifilis pada populasi umum. 4. Toxoplasmosis, dapat ditransmisikan dari ibu kepada janinnya. Penyakit ini menyebabkan tunagrahita ringan atau berat, dan pada kasus yang berat, meyebabkan hidrosefalus, kejang, mikrosefali, dan korioretinitis. 5. Herpes simpleks, dapat ditransmisikan transplasental, walaupun cara yang paling sering adalah selama kelahiran. Mikrosefali, tunagrahita, klasifikasi intracranial, dan kelainan ocular dapat terjadi. 6. Sindroma AIDS, banyak janin dari ibu dengan AIDS tidak pernah cukup bulan karena terjadi lahir mati dan abortus spontan. Pada mereka yang dilahirkan terinfeksi virus HIV sampai sepenuhnya mengalami ensefalopati progresif, tunagrahita, dan kejang dalam tahun pertama kehidupan. 7. Sindroma alcohol janin, dapat terdiri dari tunagrahita da gambaran fenotipik tipikal berupa dismorfisme fasial yang termasuk hipertelorisme, mikrosefall, fisura palpebra yang pendek, lipatan epikantus bagian dalam, dan hidung yang pendek dan mengarah ke atas. Seringkali, anak yang terkena, mengalami gangguan belajar dan gangguan defisit atensi/hiperaktivitas. 8. Pemaparan zat prenatal, pemaparan prenatal seperti heroin, oplate, seringkali menyebabkan seorang bayi yang kecil untuk usia kehamilannya, dengan lingkaran kepala di bawah persentil ke-10 dengan gejala putus zat yang bermanifestasi dalam dua hari pertama kehidupannya. Gejala putus zat pada bayi adalah iritabilitas, hipertonia, tremor, muntah, tangisan dengan nada tinggi, dan kelainan pola tidur. 9. Penyulit kehamilan, toksemia pada kehamilan dan diabetes maternal yang tidak terkendala memberikan bahaya bagi janin dan kadang-kadang menyebabkan tunagrahita. d. Pada saat kelahiran (perinatal) Tunagrahita yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi saat kelahiran adalah luka-luka pada saat kelahiran, sesak nafas (asphyxia), dan lahir prematur. e. Pada saat setelah lahir (post-natal) Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya; meningitis (peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi (kekurangan gizi, misalnya kekurangan protein yang diderita bayi dan awal masa kanak-kanak), cedera kepala yang disebabkan karena kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan kecacatan mental. f. Faktor Sosiokultural Sosiokultural atau sosial budaya lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan intelektual manusia. Di satu sisi faktor kebudayaan memang mempunyai sumbangan positif dalam membangun kemampuan psikofisik dan psikososial anak secara baik, namun apabila faktor-faktor tersebut tidak berperan baik, tidak menutup kemungkinan berpengaruh terhadap psikofisik dan psikososial anak. Tunagrahita biasanya secara bermakna menonjol di antara orang yang mengalami gangguan cultural, kelompok sosioekonomi rendah, dan banyak saudaranya yang terkena tunagrahita dengan derajat yang serupa. Kehamilan pada remaja juga sering menjadi penyebab tunagrahita. Sedangkan menurut Kirk (dalam Effendi, 2006), penyebab tunagrahita yaitu karena faktor endogen, yaitu faktor ketidaksempurnaan psikobiologis dalam memindahkan gen (hereditary transmission of psycho-biologicalinsufficiency) dan faktor eksogen, yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan psikologis dari perkembangan mental. Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan, pemyebab ketunagrahitaan menurut Devenport (dalam Efendi, 2006) dapat dirinci melalui jenjang berikut: a. Kelainan atau ketunaan yang timbul pada benih plasma, b. Kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan telur, c. Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan dengan implantasi, d. Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam embrio, e. Kelainan atau ketunaan yang timbul dari luka saat kelahiran, f. Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam janin, g. Kelainan atau ketunaan yang timbul pada bayi dan kanak-kanak. Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab tunagrahita adalah berasal dari faktor genetik dan kelainan kromosom yang terjadi pada masa pra-natal , pada masa peri-natal seperti adanya sesak nafas dan lahir prematur, pada masa post-natal seperti infeksi atau meningitis dan defisiensi nutrisi, serta faktor sosiokultural seperti keberhasian yang terjadi pada usia remaja. 4. Karakteristik Tunagrahita Berdasarkan Efendi (2006) karakteristik anak tunagrahita yaitu: a. Anak tunagrahita mampu didik (debil) 1) Membaca, menulis, mengeja dan berhitung. 2) Menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain. 3) Keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja di kemudian hari. b. Anak tunagrahita mampu latih (imbecil) 1) Belajar mengurus diri sendiri. 2) Belajar menyesuaikan di lingkungan rumah. 3) Mempelajari kegunaan ekonomi di rumah, di bengkel kerja, atau di lembaga khusus. c. Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) 1) Tidak mampu mengurus diri sendiri. 2) Membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidup. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat di simpulkan bahwa karakteristik indivvidu tuangrahita adalah lamban belajar, kemampuan biacaranya kurang, dan memiliki penyesuaian diri dengan lingkungan serta cenderung untuk melakukan tindakan yang kurang wajar dan dilakukannya secara terus-menerus. 5. Dampak Tunagrahita Dalam Kaplan (1997), dampak dari tunagrahita adalah: a. Gangguan neurologis, laporan menyatakan bahwa resiko untuk psikopatologi meningkat dalam berbagai kondisi neurologis, seperti gangguan kejang. Angka psikopatologi meningkat dengan keparahan tunagrahita, yang menyatakan peningkatan gangguan neurologis saat gangguan intelektual meningkat. b. Sindroma genetik, adanya gangguan defisit atensi/hiperaktivitas yang sangat tinggi; gangguan autistic. c. Faktor Psikososial, citra diri yang negatif dan harga diri yang buruk setelah cirri yang sering ditemukan pada individu tunagrahita ringan dan sedang yang merasa berbeda dari orang lain. Mereka mengalami kegagalan dan kekecewaan berulang karena tidak memenuhi harapan orang tuanya dan masyarakat secara progresif tertinggal di belakang temang sebayanya dan bahkan oleh sanak saudaranya yang lebih kecil. Kesulitan komunikasi semakin meningkatkan kerentanan mereka terhedap kecanggungan dan ilustrasi. Perilaku yang tidak sesuai, seperti menarik diri, adalah sering terjadi. Perasaan isolasi dan ketidakberdayaan yang terus menerus telah berhubungan dengan perasaan kecemasan, disforia, dan depresi. Sedangkan dampak tunagrahita menurut Efendi (2006), yaitu: a. Cenderung memiliki kemampuan berfikir konkret dan sukar berfikir. b. Mengalami kesulitan berkonsentrasi. c. Kemampuan bersosialisasinya sangat terbatas. d. Tidak mampu menyimpan instruksi-instruksi yang sulit. e. Kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapinya. Pada tunagrahita mampu didik, prestasi tertinggi di bidang baca, tulis, hokum, tidak lebih dari anak normal khususnya setingkat kelas III sampai IV Sekolah Dasar. SUMBER : American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV) (4th ed.). Washington D.C: APA. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Edisi ke-III. Jakarta:Direktorat Kesehatan Jiwa. Effendi, M. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta : PT.Bumi Aksara. Hendriani, W., Handariyati, R. & Sakti Malia, T. Jurnal, (Insan Vol.8 No. 2, Agustus 2006). Penerimaan Keluarga Terhadap Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental. Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. http://alytpuspitasari.wordpress.com/2010/05/02/tunagrahita/
0 komentar :
Post a Comment