Thursday, May 27, 2010

KENAKALAN REMAJA

Upaya Memahami Sejak Dini Potensi Kenakalan Remaja ''Kenakalan yang tersembunyi" adalah salah satu bentuk dari kenakalan yang sebelumnya tidak terlihat. Baru diketahui ketika anak atau remaja mengalami kejadian yang tidak disangka sebelumnya menimpa diri remaja. Kecelakaan di jalan raya, dengan masih mengenakan seragam sekolah lantaran mabuk mengendarai kendaraan bermotor misalnya, menjadi contoh yang sering dialami orangtua. Atau remaja terjaring razia pihak sekolah lantaran dalam tas sekolah ditemukan senjata tajam. Kejadian pahit semacam ini menjadikan orangtua baru menyadari, ada yang salah dalam pergaulan anak yang lepas dari pemantauan. Ternyata, selama ini anak pandai berkamuflase, lihai menyembunyikan aktivitas negatif di luar rumah agar tidak diketahui oleh keluarga.
SALAH pergaulan, dipahami sebagai hubungan personal remaja dengan teman seusianya yang menyimpang dari pranata umum pergaulan. Tak sedikit memang, remaja yang terjerumus ke salah pergaulan berawal dari kegiatan kumpul-kumpul dengan sesama anak muda -- teman sekolah, teman di rumah, atau teman di lingkungan lain. Lantas, sebagai anak muda dengan karakteristik suka tantangan dan hasrat mencoba sesuatu yang baru, tak sedikit yang malah tercebur makin dalam dengan pergaulan yang lebih besar unsur negatifnya ketimbang unsur positifnya. Salah pergaulan bisa menimpa siapa saja. Tidak hanya pada anak dengan latar belakang keluarga broken home, dari keluarga baik-baik pun banyak. Sudah cukup banyak bukti, remaja yang terjerumus pakai obat-obatan terlarang justru dari keluarga baik-baik -- dari kalangan pendidik sendiri ataupun tokoh yang disegani masyarakat. Ini berarti terjerumus tidaknya remaja berpulang pada pribadi remaja itu sendiri. Semuanya dapat terjadi lebih dikarenakan dalam diri remaja belum terbangun resistensi atau daya tahan terhadap hal-hal baru yang datang menggoda kehidupan muda mereka. Ujian ketahanan diri anak memang banyak dari pergaulan ini.
Perlu Pemahaman
Membangun resistensi diri pada remaja memerlukan pemahaman orangtua terhadap aspek kejiwaan dan pola pendidikan anak. Resistensi diri dibentuk oleh banyak hal. Di antaranya faktor keturunan (genetis), pola pendidikan di rumah, pola pendidikan di sekolah, lingkungan di luar rumah dan sekolah serta faktor peradaban pergaulan remaja itu sendiri. Namun, banyak juga orangtua yang sudah bisa menilai kecenderungan perilaku anak, tapi tak berdaya memperbaiki. Gejala-gejala anak tumbuh menjadi anak yang biasa disebut "bajingan" sudah dapat diketahui sejak anak memasuki usia remaja. Kegelisahan orangtua terlihat tatkala anak mulai bertingkah laku dan menggunakan aksesoris yang aneh-aneh. Misalnya berawal dari memasang
anting-anting, men-tatto pada bagian tubuh yang tersembunyi, merokok di dalam kamar, bolos sekolah, sering keluar malam, pulang rumah dalam keadaan mabuk, sering berbohong hingga pada akhirnya berani melawan orangtua. Tak sedikit orangtua yang merasa kewalahan kemudian menyerah dengan kondisi ketidakmampuan mengasuh anak. Dalam keadaan seperti ini, kerap orangtua hanya pasrah dan menyimpan harapan kosong. Orangtua berharap bahwa waktu dan kedewasaan anak akan mampu menyadarkan sekaligus mengubah anak dengan sendirinya. Orangtua pun lantas makin surut untuk mendidik dan mengarahkan anak ke dalam pola pengasuhan seperti yang diharapkan umumnya orangtua. Dalam situasi ini, terlebih pada anak yang tervonis "nakal" sejak remaja, biasanya orangtua melakukan tindakan "terapi sosial". Jika dirasakan oleh orangtua bahwa anak terjerumus lantaran sekolah dan lingkungan sekolah, maka orangtua akan berusaha memindahkan anak dari sekolahnya semula. Setidaknya upaya ini mampu memotong anak dengan lingkungan yang telah membentuk perilaku negatifnya. Upaya semacam ini akan lebih efektif jika dibarengi dengan pendekatan yang lebih intens kepada sang anak dengan memberikan pemahaman tentang positif negatifnya pergaulan. Jika karena lingkungan pergaulan teman di luar rumah, maka orangtua makin selektif dan sering melarang anak keluar rumah. Dalam beberapa kondisi mungkin tindakan semacam itu berdampak positif. Jika dalam diri anak tumbuh jiwa pembangkangan atau pemberontakan, maka tindakan ini justru akan merupakan permulaan perlawanan panjang pada hegemoni orangtua. Memisahkan remaja dari interaksi sosialnya bukanlah merupakan jawaban final. Bukan pergaulan itu yang patut dikambinghitamkan, tapi kemampuan anak dalam meletakkan dirinya dalam pergaulan itu yang mesti dicermati. Di sinilah peran penguatan resistensi diri anak mesti dimunculkan.

Tipe Kenakalan
Orangtua hendaknya mampu membedakan tipe kenakalan remaja. Ini akan membantu dalam menentukan pola pendidikan atau pola pengasuhan yang diterapkan guna membangun resistensi diri anak. Secara umum ada dua tipe kenakalan pada remaja.

1. Nakal dalam Penampilan -- Nakal dalam penampilan kerap hanya nakal dalam sisi permukaan saja. Artinya, pada diri anak telah terbangun sebuah pemahaman tentang batas-batas mana sebuah sikap atau perilaku berdampak negatif pada diri dan keluarga. Kenakalan ini hanya merupakan aksesoris diri, bisa jadi merupakan salah satu bentuk ekspresi dan media eksistensi diri. Dalam bahasa remaja hal ini adalah bagian dari trend penampilan (eksistensi dan pencitraan diri). Remaja memang kerap
membutuhkan media untuk mengaktualisasikan kepemudaan/kerejamaan pada dirinya. Media itu salah satunya memang pada penampilan diri. Adakalanya mereka lebih comfort dengan penampilan dengan aksesoris yang sedikit "nakal" seperti mengenakan anting-anting (tindik) pada telinga, bibir, lidah, hidung dan bagian-bagian tubuh lainnya, serta mencat rambut. Untuk tipe semacam ini, tugas orangtua lebih ringan, tinggal mengawasi dan mengontrol saja, agar tidak terlalu larut menikmati kebebasan dalam berekspresi.

2. Nakal dalam Perilaku -- Kategori ini mengandung pengertian anak atau remaja memang telah berperilaku nakal yang sebenarnya. Di sini peran orangtua dituntut lebih besar, mesti ekstra dalam pengawasan dan memberikan perhatian pada remaja. Pada tipe ini, penggunaan atribut "nakal" tidak lagi sebagai sebuah sensasi nonpermanen, tapi lebih dari itu sudah merupakan bagian diri yang tidak terpisahkan. Keakraban remaja pada visualisasi diri akan berdampak lebih dari itu. Ketika anak mulai berulah dalam bersikap dan berbusana, orangtua harus segera melakukan pendekatan, tak boleh canggung lagi memasuki wilayah pribadi anak. Orangtua memang harus lebih rajin melihat kamar pribadi anak, melihat tas sekolah, lemari, meja, termasuk beberapa tempat tersembunyi. Kecurigaan harus selalu dimunculkan tapi tetap dalam bingkai pendidikan, bukan memvonis anak yang berakibat anak berontak berlebihan. Orangtua mesti menanyakan perkembangan sekolah anak pada teman sang anak atau guru sekolah. Usaha preventif lebih bagus ketimbang terlambat dan mendapati anak sudah terlanjur salah dalam melangkah.
Tumbuhkan Resistensi
Ada beberapa hal yang sering dilupakan orangtua, pada saat anak-anak bersosialisasi dengan teman ataukah kumpulannya. Karena, dirasakan hal ini terlalu berlebihan. Tetapi dalam upaya menumbuhkan resistensi tumbuh dalam diri remaja, ada baiknya orangtua juga memahaminya.

a. Menanamkan metode pengawasan diri. Ini terkait dengan cara membesarkan anak dan pola pengasuhan yang diterapkan orangtua sejak dini. Kehidupan keluarga yang agamais dengan menanamkan etika, budi pekerti dan ajaran agama sejak dini diyakini mampu meminimalisir kenakalan remaja. Yang terpenting adalah penguatan logika, sehingga remaja bisa menilai baik atau buruk, positif atau negatif sebuah pergaulan. Sehingga, remaja sendiri dapat memikirkan cara-cara untuk menghindari ajakan teman yang tidak baik.

b. Kemampuan menilai kualitas kumpulan. Menanamkan upaya yang mendorong anak dan remaja ke kumpulan yang berkualitas. Memberikan pertimbangan sejak dini kumpulan atau kelompok yang diminati anak. Selektif dalam memilih teman dan kelompok merupakan kata kuncinya. Seminimal mungkin orangtua bisa mengetahui apa yang dilakukan anak saat mereka kumpul dengan teman-teman mereka di luar.
Saat santai dengan teman pun diharapkan orangtua mampu menanamkan pada anak untuk menilai kualitas pertemuan itu. Bagaimana kualitas pembicaraan? Apakah pembicaraan atau ngobrol-ngobrol yang terjadi hanya gosip yang tak berisi apa-apa? Tujuannya, agar sang anak dapat merasakan dan membandingkan percakapan mana yang berisi dan perkumpulan mana yang berkualitas.

c. Mengarahkan anak sebagai pemimpin kelompok. Walau sulit dan tidak dapat dilakukan setiap individu, upaya ini harus tetap ditanamkan pada remaja. Karena hanya dengan menjadi pemimpin, remaja bisa membawa kumpulan menjadi komunitas yang memiliki nilai lebih. Menumbuhkan "wibawa" dalam komunitas kecil sekalipun akan menumbuhkan kesan disegani oleh anggota komunitas, sehingga keinginan mengajak yang bukan-bukan dapat tereduksi. Ketiadaan sifat-sifat kepemimpinan pada diri anak membuat anak lemah dalam bergaul, sehingga dengan mudah diperdaya dan diajak ke arah negatif, menurut saja tanpa perlawanan. Karena sifat takut yang lebih dominan, maka sang anak menurut saja diajak ke hal negatif, terlebih sang anak merasa takut disisihkan dalam sebuah pergaulan.

d. Memerankan orangtua sebagai bagian dari kelompok anak. Kedekatan orangtua dengan anak dan teman-teman mereka, diyakini efektif dalam pertumbuhan kedewasaan remaja. Ini bagus juga meningkatkan posisi sang anak dalam sebuah kelompok. Ini dapat dilakukan dengan cara sejak awal orangtua menjalin komunikasi familiar dengan teman-teman anak mereka. Memperpendek jurang pemisah hubungan anak-orangtua dan selalu memberikan ruang berdiskusi dan bersenda gurau bagi mereka, serta memberikan fasilitas.

0 komentar :

Template by : kendhin x-template.blogspot.com