A. DEFINISI
Retardasi mental adalah gangguan yang telah tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual dan adaptif yang secara signifikan berada dibawah rata-rata (Luckasson,1992, dalam Durand 2007)
Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR) 1992 Retardasi mental yaitu : Kelemahan atau ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan dibawah normal ( IQ 70-75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area berikut : berbicara dan berbahasa; keterampilan merawat diri, ADL; keterampilan sosial; penggunaan sarana masyarakat; kesehatan dan keamanan; akademik fungsional; bekerja dan rileks, dan lain-lain.
Dari beberapa definisi diatas, yang menurut kami memiliki definisi yang hampir sama, kami cenderung menyepakati definisi yang diungkapkan oleh American Assosiation on Mental Retardation (AAMR) yang mengungkapkan bahwa Retardasi mental yaitu : Kelemahan/ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan dibawah normal ( IQ 70-75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain. Berikut ini adalah klasifikasi retardasi mental yang ditunjukkan dengan bagan (Dr.wiguna & ika, 2005) :
1. RM ringan (IQ 55-70) : mulai tampak gejalanya pada usia sekolah dasar, misalnya sering tidak naik kelas, selalu memerlukan bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau mengerjakan hal-hal yang berkaitan pekerjaan rumah atau mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi. 80 % dari anak RM termasuk pada golongan ini. Dapat menempuh pendidikan Sekolah Dasar kelas VI hingga tamat SMA. Ciri-cirinya tampak lamban dan membutuhkan bantuan tentang masalah kehidupannya.
2. RM Sedang (IQ 40-55) : sudah tampak sejak anak masih kecil dengan adanya keterlambatan dalam perkembangan, misalnya perkembangan wicara atau perkembangan fisik lainnya. Anak ini hanya mampu dilatih untuk merawat dirinya sendiri, pada umumnya tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya, angka kejadian sekitar 12% dari seluruh kasus RM. Anak pada golongan ini membutuhkan pelayanan pendidikan yang khusus dan dukungan pelayanan.
3. RM Berat (IQ 25-40) : sudah tampak sejak lahir, yaitu perkembangan motorik yang buruk dan kemampuan bicara yang sangat minim, anak ini hanya mampu untuk dilatih belajar bicara dan keterampilan untuk pemeliharaan tubuh dasar, angka kejadian 8% dari seluruh RM. Memiliki lebih dari 1 gangguan organik yang menyebabkan keterlambatannya, memerlukan supervisi yang ketat dan pelayanan khusus.
4. RM Sangat Berat (IQ < 25) : sudah tampak sejak lahir yaitu gangguan kognitif, motorik, dan komunikasi yang pervasif. Mengalami gangguan fungsi motorik dan sensorik sejak awal masa kanak-kanak, individu pada tahap ini memerlukan latihan yang ekstensif untuk melakukan “self care” yang sangat mendasar seperti makan, BAB, BAK. Selain itu memerlukan supervisi total dan perawatan sepanjang hidupnya, karena pada tahap ini pasien benar-benar tidak mampu mengurus dirinya sendiri.
A. SEBAB-SEBAB
1. Faktor Prenatal
Penggunaan berat alkohol pada perempuan hamil dapat menimbulkan gangguan pada anak yang mereka lahirkan yang disebut dengan fetal alcohol syndrome. Faktor-faktor prenatal lain yang memproduksi retardasi mental adalah ibu hamil yang menggunakan bahan-bahan kimia, dan nutrisi yang buruk. (Durand, 2007).
Penyakit ibu yang juga menyebabkan retardasi mental adalah sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan oksigen dan cidera kepala, menempatkan anak pada resiko lebih besar terhadap gangguan retardasi mental. Kelahiran premature juga menimbulkan resiko retardasi mental dan gangguan perkembangan lainnya. Infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis juga dapat menyebabkan retardasi mental. Anak-anak yang terkena racun, seperti cat yang mengandung timah, juga dapat terkena retardasi mental. (Nevid, 2003)
2. Faktor Psikososial
Seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang tidak memberikan stimulasi intelektual, penelantaran, atau kekerasan dari orang tua dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental. (Nevid, 2002)
Anak-anak dalam keluarga yang miskin mungkin kekurangan mainan, buku, atau kesempatan untuk berinteraksi dengan orang dewasa melalui cara-cara yang menstimulasi secara intelektual akibatnya mereka gagal mengembangkan keterampilan bahasa yang tepat atau menjadi tidak termotivasi untuk belajar keterampilan-keterampilan yang penting dalam masyarakat kontemporer. Beban-beban ekonomi seperti keharusan memiliki lebih dari satu pekerjaan dapat menghambat orang tua untuk meluangkan waktu membacakan buku anak-anak, mengobrol panjang lebar, dan memperkenalkan mereka pada permainan kreatif. Lingkaran kemiskinan dan buruknya perkembangan intelektual dapat berulang dari generasi ke generasi (Nevid, 2002).
Kasus yang berhubungan dengan aspek psikososial disebut sebagai retardasi budaya-keluarga (cultural-familial retardation). Pengaruh cultural yang mungkin memberikan kontribusi terhadap gangguan ini termasuk penganiayaan, penelantaran, dan deprivasi sosial. (Durand, 2007)
3. Faktor Biologis
a. Pengaruh genetik
Kebanyakan peneliti percaya bahwa di samping pengaruh-pengaruh lingkungan, penderita retardasi mental mungkin dipengaruhi oleh gangguan gen majemuk (lebih dari satu gen) (Abuelo, 1991, dalam Durand, 2007)
Salah satu gangguan gen dominan yang disebut tuberous sclerosis, yang relatif jarang, muncul pada 1 diantara 30.000 kelahiran. Sekitar 60% penderita gangguan ini memiliki retardasi mental (Vinken dan Bruyn, 1972, dalam Durand 2007).
Phenyltokeltonuria (PKU) merupakan gangguan genetis yang terjadi pada 1 diantara 10.000 kelahiran (Plomin, dkk, 1994, dalam Nevid, 2002). Gangguan ini disebabkan metabolisme asam amino Phenylalanine yang terdapat pada banyak makanan. Asam Phenylpyruvic, menumpuk dalam tubuh menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang mengakibatkan retardasi mental dan gangguan emosional.
b. Pengaruh kromosomal
Jumlah kromosom dalam sel-sel manusia yang berjumlah 46 baru diketahui 50 tahun yang lalu (Tjio dan Levan, 1956, dalam Durand, 2007). Tiga tahun berikutnya, para peneliti menemukan bahwa penderita Sindroma Down memiliki sebuah kromosom kecil tambahan. Semenjak itu sejumlah penyimpangan kromosom lain menimbulkan retardasi mental telah teridentifikasi yaitu Down syndrome dan Fragile X syndrome.
1. Down syndrome
Sindroma down, merupakan bentuk retardasi mental kromosomal yang paling sering dijumpai, di identifikasi untuk pertama kalinya oleh Langdon Down pada tahun 1866. Gangguan ini disebabkan oleh adanya sebuah kromosom ke 21 ekstra dan oleh karenanya sering disebut dengan trisomi 21. (Durand, 2007).
Anak retardasi mental yang lahir disebabkan oleh faktor ini pada umumnya adalah Sindroma Down atau Sindroma mongol (mongolism) dengan IQ antar 20 – 60, dan rata-rata mereka memliki IQ 30 – 50. (Wade, 2000, dalam Nevid 2003). Menyatakan abnormalitas kromosom yang paling umum menyebabkan retardasi mental adalah sindrom down yang ditandai oleh adanya kelebihan kromosom atau kromosom ketiga pada pasangan kromosom ke 21, sehingga mengakibatkan jumlah kromosom menjadi 47.
Anak dengan sindrom down dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri fisik tertentu, seperti wajah bulat, lebar, hidung datar, dan adanya lipatan kecil yang mengarah ke bawah pada kulit dibagian ujung mata yang memberikan kesan sipit. Lidah yang menonjol, tangan yang kecil, dan berbentuk segi empat dengan jari-jari pendek, jari kelima yang melengkung, dan ukuran tangan dan kaki yang kecil serta tidak proporsional dibandingkan keseluruhan tubuh juga merupakan ciri-ciri anak dengan sindrom down. Hampir semua anak ini mengalami retardasi mental dan banyak diantara mereka mengalami masalah fisik seperti gangguan pada pembentukan jantung dan kesulitan pernafasan. (Nevid, 2003)
2. Fragile X syndrome.
Fragile X syndrome merupakan tipe umum dari retardasi mental yang diwariskan. Gangguan ini merupakan bentuk retardasi mental paling sering muncul setelah sindrom down (Plomin, dkk, 1994, dalam Nevid, 2003). Gen yang rusak berada pada area kromosom yang tampak rapuh, sehingga disebut Fragile X syndrome. Sindrom ini mempengaruhi laki-laki karena mereka tidak memiliki kromosom X kedua dengan sebuah gen normal untuk mengimbangi mutasinya. Laki-laki dengan sindrom ini biasanya memperlihatkan retardasi mental sedang sampai berat dan memiliki angka hiperaktifitas yang tinggi. Estimasinya adalah 1 dari setiap 2.000 laki-laki lahir dengan sindrom ini ( Dynkens, dkk, 1998, dalam Durand, 2007).
B. PERSPEKTIF ALIRAN-ALIRAN
1. Aliran Psikoanalis : sebab retardasi mental adalah salah satunya dikarenakan oleh prenatal yaitu ibu yang mengkonsumsi akohol, hal ini disebabkan karena ibu terlalu mementingkan id nya dan tidak dapat menyeimbangan superegonya sehingga janin yang ada di dalam dinding rahim tumbuh dan berkembang secara tidak sehat. Hal ini dikarenakan karena ibu yang mementingkan id dengan cara menerapkan lifestyle yaitu mengkonsumsi alkohol dan tidak mengkonsumsi nutrisi (malnutrisi)
2. Aliran Behavorisme : karena pola asuh yang salah yaitu memodeling dengan cara yang keliru. Orang tua yang memiliki anak retaradasi mental terkadang tidak mengakui bahwa anaknya termasuk ke dalam anak yang mengalami keterbelakangan mental, sehingga tindakan orang tua yang pertama kali dalam menanggapi keadaan ini adalah denial (penolakan akan realitas) yang terjadi pada anak mereka. Orang tua tidak menyekolahkan anak tersebut ke dalam sekolah berkebutuhan khusus tetapi tetap memasukkan anaknya ke sekolah formal, sedangkan di sekolah formal sangat minim sekali dalam pemenuhan kebutuhan untuk anak retardasi mental. Hal ini yang menyebabkan anak retardasi menjadi semakin terpuruk dalam mengembangkan proses intelektualnya. Sebagian orang tua meniru perilaku orang tua lain bahwa setiap anak dapat dimasukkan dan di didik ke dalam sekolah formal. Karena proses memodeling yang salah ini lah dapat merugikan masa depan anak retardasi mental.
3. Aliran Kognitif (Bandura, Rotter) : berfokus pada peran dari proses kognitif atau kognisi dan dari belajar melalui pengamatan (modeling) dalam perilaku manusia, contoh : konsep atau cara pandang orang tua yang salah akan kehadiran anak retardasi mental yang terkadang tidak diakui atau tidak adanya rasa penerimaan diri sehingga dari sini timbul proses belajar dan kerangka berpikir yang salah, tentang keberadaan anak retardasi mental yang berdampak pada sisi psikologis sehingga si anak akan merasa tertekan, harga diri rendah di dalam lingkungan keluarganya
4. Aliran Humanistik (Maslow) : menekankan bahwa seseorang itu memiliki keunikan, disini ditekankan bahwa anak-anak retardasi mental memiliki keunikan tersendiri. Mereka memiliki tubuh yang unik, yaitu dari bentuk wajah (muka oval, mata berbentuk kacang almond, muka mirip antara satu anak dengan anak lain). Bentuk tubuh mereka juga unik yaitu jari-jari tangan dan kaki cenderung memadat dan tubuh memendek. Bentuk tubuh inilah yang mencerminkan keunikan tersendiri pada anak retardasi mental.
5. Aliran Psikologi Transpersonal : menekankan pada konsep transendental yaitu hubungan antara seorang individu dengan Tuhan-NYA, disini di jelaskan bahwa seseorang individu harus menghargai setiap ciptaan Allah SWT, sesama manusia harus saling menjaga, memanusiakan manusia pada umumnya walaupun terdapat perbedaan baik dari segi fisik, kesehatan mental dan proses kognitif.
C. GEJALA
Menurut kriteria DSM-IV-TR untuk gejala anak retardasi mental terbagi dalam tiga kelompok yaitu :
Kriteria pertama, seseorang harus memiliki intelektual yang secara signifikan berada di tingkatan sub average (dibawah rata-rata), yang ditetapkan berdasarkan satu tes IQ atau lebih. Dengan cutoff score yang oleh DSM-IV-TR ditetapkan sebesar 70 atau kurang.
Kriteria Kedua, adanya defisit atau hendaya dalam fungsi adaptif yang muncul beragam setidaknya dua bidang yakni, komunikasi, merawat diri sendiri, mengurus rumah, keterampilan social, interpersonal, pemanfaatan sumber daya di masyarakat, keterampilan akademis, pekerjaan, kesehatan, dan keselamatan.
Kriteria Ketiga, anak dengan retardasi mental ciri intelektual dan kemampuan adaptif itu harus muncul sebelum mencapai 18 tahun.
Gejala anak retardasi mental menurut (Brown, dkk 1991 dalam Sekar, 2007) menyatakan :
1. Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus menerus.
2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.
3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak retardasi mental berat.
4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak dengan retardasi mental berat mempunyai ketebatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.
5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak retardasi mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti : berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahita ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai retardasi mental berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak retardasi mental dalam memberikan perhatian terhadap lawan main.
7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak retardasi mental berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti ritual, misalnya : memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya: menggigit diri sendiri, membentur-beturkan kepala, dan lain-lain.
D. ONSET
Biasanya keterbelakangan mental muncul sejak lahir atau bahkan masih di dalam kandungan dan ketika masih kanak-kanak. Itu sebabnya retardasi mental digolongkan di dalam gangguan perkembangan. Jadi, orang dewasa yang mengalami kondisi ini setelah 18 tahun mungkin karena mengalami cedera pada otaknya atau dementia (Simeun, 2008)
Karena kondisi keterbelakangan mental mempengaruhi kemampuan kognitif, akibatnya segala macam bentuk perkembangan yang berhubungan dengan kemampuan kognitif akan mengalami hambatan, misalnya saja, kemampuan motorik dan kemampuan bahasa, terutama dalam berbicara.
Keterbatasan dalam kemampuan kognitif tidak hanya mereka dalam area yang erat kaitannya dengan proses berpikir seperti bahasa, belajar, ingatan, serta kemampuan motorik, namun juga kaitannya erat dengan kemampuan emosi dan sosial, seperti mengontrol diri, menahan rasa marah, memecahkan masalah-masalah sosial, dan keterbatasan interpersonal lainnya. (Simeun, 2008)
E. PREVALENSI
Retardasi mental yang diakibatkan oleh abnormalitas genetis, menyebabkan retardasi mental pada 1000-1500 pria dan hambatan mental pada setiap 2000-2500 perempuan. Perempuan biasanya memiliki dua kromosom X sementara laki-laki hanya satu. Pada perempuan, memiliki dua kromosom X tampaknya memberikan perlindungan dari gangguan ini, bila kerusakan terjadi pada salah satunya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa gangguan ini umumnya akan berdampak akan lebih parah pada laki-laki dari pada perempuan (Angier, 1991 dalam Jacoby 2009).
Kira-kira 90 % penyandang retardasi mental termasuk kategori retardasi mental ringan (IQ 50-70), dan mempresentasikan 1% sampai 3% dari populasi secara umum (Larson, dkk, dalam Durand, 2007)
Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi. Di Indonesia 1-3 % penduduknya menderita kelainan ini. Insidennya sulit diketahui karena retardasi metal kadang-kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan dimana retardasinya masih dalam taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Sekar, 2007).
F. TERAPI
Terapi yang digunakan adalah mengunakan beberapa cara, yaitu diantaranya sebagai berikut :
1. Terapi baca (dengan pendekatan montesoori)
Guru atau orang tua tidak secara langsung mengubah anak tetapi sebaliknya guru mencoba memberi peluang pada anak menyelesaikan tugas dengan usaha sendiri, tanpa bantuan orang dewasa. Tujuan ini bertujuan untuk memberikan edukasi secara dini kepada pasien.
2. Pilihan bebas (anak diberi kebebasan untu memilih kebutuhan yang sesuai dengan minatnya)
Dengan cara ini, aktivitas kehidupan sehari-hari pasien menjadi bagian dari kurikulum yang diberikan.
3. Terapi perilaku
Konselor memberikan pengetahuan tentang cara pandang si anak tersebut, misalnya tidak mau bermain games, cara pandang terhadap sesuatu dan lain-lain. Terapi ini bertujuan untuk mengubah perilaku yang cenderung agresif dan menciptakan self injury.
4. Terapi bicara
Konselor memberikan contoh perilaku bicara yang baik, karena pada dasarnya, anak retardasi mental akan terlihat dalam mengucapkan sebuah kata-kata
5. Terapi sosialisasi
Pasien diajak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain, yaitu tetap menjalin komunikasi dengan orang lain atau individu di sekitarnya dengan cara bersosialisasi, melakukan interaksi secara verbal sehingga disini akan menumbuhkan rasa percaya diri, perasaan diterima oleh lingkungan, dan motivasi pada diri pasien agar tetap survive dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.
6. Terapi bermain
Pasien dibimbing untuk dapat mengerjakan sesutu hal berupa hasil karya, atau sebuah permainan. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah kemampuan pasien di bidang kognitif yaitu dengan cara merangsang proses berpikir pasien tentang pola sebuah bentuk sehingga disini pasien diajak untuk dapat merangkai sebuah konstruksi bangunan, kemudian dapat meningkatkan imanjinasi dengan cara merangsang kemampuan imajinasi tentang sesuatu hal yang berada di pikirannya, selain itu dalam segi kreatifitas, yaitu dengan cara meningkatkan dan mengolah kreatifitas pasien dengan paduan warna, pola, bentuk yang berbeda-beda sehingga pasien mempunyai pengetahuan, pemahaman dan keanekaragaman tentang macam-macam jenis permainan atau hasil karya yang dia temui.
7. Terapi menulis
Cara ini digunakan untuk dapat mempermudah proses berjalannya terapi yaitu dengan cara pasien diajak untuk menulis di selembar kertas berupa serangkaian kata-kata. Tujuan daripada terapi ini adalah untuk melemaskan otot atau syarat tangan dalam beraktivitas sehingga tubuh pasien tidak kaku dan lebih fleksibel dalam menanggapi respon atau stimulus yang berada di sampingnya.
8. Terapi okupasi
Terapi ini dilakukan dengan cara memijat-mijat bagian syaraf anak tersebut seperti pada bagian pergelangan tangan, kaki dan daerah tubuh lainnya. Terapi ini dilakukan pada saat pasien berusia muda, karena pada masa muda sendi-sendi dalam tubuh pasien masih bersifat elastis dan dapat menyesuaikan dengan bentuk perlakuan yang diberikan.
9. Terapi musik
Terapi ini dilakukan dengan cara pasien diarahkan untuk dapat mendengarkan dan memaknai sebuah alunan musik. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah fungsi auditory pasien akan stimulus suara yang di dengarkannya.
G. PREVENSI
Salah satu usaha intervensi dini dapat membidik dan membantu anak-anak yang karena lingkunganya yang tidak dapat adekuat, beresiko mengembangkan retardasi cultural familial (Fewell dkk, dalam Gunarsa 2002). Program head start nasional adalah salah satu bentuk upaya intervensi dini. Program ini mengkombinasikan dukungan pendidikan, medis, dan sosial untuk anak-anak dan keluarganya. Salah satu proyeknya mengidentifikasi sekelompok anak tidak lama setelah mereka lahir dan memberikan program pra sekolah intensive serta dukungan nutrisi mereka. Intervensi ini berlanjut sampai mereka mulai memasuki pendidikan formal di taman kanak-kanak.
Meskipun tampaknya banyak anak yang mengalami kemajuan signifikan bila intervensi dimulai sejak dini (Ramey dan ramey, 1988, dalam Gunarsa 2002), masih ada banyak pertanyaan penting terkait dengan upaya intervensi dini. Sebagai contoh, tidak semua anak mendapatkan manfaat yang signifikan dari upaya itu.
Pelayanan yang dibutuhkan oleh anak-anak dengan retardasi mental untuk memenuhi tuntunan perkembangan sebagian tergantung pada derajat keparahan dengan tipe retardasi (Dykens dkk, 1997 dalam Gunarsa 2002 ). Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak dengan retardasi mental dapat mencapai kemampuan setara dengan anak kelas 6 SD. Mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan vokasional yang memungkinkan mereka untuk membiayai dirinya sendiri melalui pekerjaan yang bermakna. Banyak anak-anak seperti ini dapat bersekolah di sekolah regular. Sebaliknya anak-anak dengan retardasi mental berat atau parah membutuhkan penanganan institusi atau ditempatkan pada pusat pelayanan residensial. Penempatan di institusi sering kali didasarkan pada kebutuhan untuk mengontrol perilaku destruktif atau agresif, bukan karena parahnya gangguan intelektual.
Saat ini sudah banyak beberapa pendekatan yang digunakan untuk mendeteksi gangguan perkembangan ini sejak awal, sejak dalam kandungan. Tujuannya agar dapat diketahui apakah si calon bayi memiliki abnormalitas genetik seperti retardasi mental, yang dapat menyebabkan kondisi yang menghambat perkembangan bayi. Adapun pendekatan yang sering dilakukan adalah :
b. Scanning dengan menggunakan ultrasound. Biasanya cara ini dapat mendeteksi kondisi-kondisi yang berhubungan dengan cacat fisik melalui gelombang suara.
c. Amniocentesis yaitu mengambil sampel cairan amnion melalui dinding perut ibu yang sedang hamil. Biasanya dilakukan pada usia kandungan 16 hingga 18 minggu. Hal ini dapat mendeteksi kemungkinan adanya abnormalitas kromosom dan penyakit-penyakit genetik.
d. Chorionic Villus Sampling yaitu mengambil sampel jaringan chorion melalui vagina ibu yang sedang hamil.
e. Genetic Screening merupakan pendekatan yang paling mutakhir saat ini dikarenakan memiliki tingkat ketepatan yang tinggi (Gunarsa, 2002).
Pelayanan yang dibutuhkan oleh anak-anak dengan retardasi mental untuk memenuhi tuntutan perkembangan, sebagian bergantung pada derajat keparahan dan tipe retardasi (Dykens dkk, 1997 dalam Gunarsa 2002). Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak dengan retardasi mental ringan dapat mencapai kemampuan setara dengan anak-anak kelas 6 SD.
Prevensi yang diberikan kepada anak dengan retardasi mental akan lebih efekif apabila dilakukan sejak awal bahkan pada usia pra sekolah. Ini tidak hanya melibatkan orang tua, melibatkan juga pribadi-pribadi lain dalam keluarga. Prevensi ini meliputi:
1. Mendorong anak agar bereksplorasi. Anak memperoleh banyak hal melalui eksplorasi terhadap lingkungannya.
2. Mengajarkan kemampuan dasar. Kemampuan dasar dalam bidang kognitif pada umumnya diberikan, antara lain: bagaimana memberi nama pada suatu hal, membuat urutan, dan perbandingan.
3. Merayakan setiap kemajuan perkembangan yang sudah dicapai misalnya dengan memberikan reinforcement yang berupa reward yang disenangi anak.
4. Bimbing anak dalam mengulang kembali apa yang sudah dipelajari dan kemudian arahkan anak untuk mempelajari ketrampilan baru.
5. Lindungi anak dari kondisi-kondisi yang membahayakan, tidak menyenangkan, atau punishment (hukuman)
6. Ciptakan lingkungan yang respondif dan kaya akan bahasa sehingga memungkinkan anak untuk berkomunikasi. (Gunarsa, 2002 )
I. KUALITAS HIDUP
Anak yang mengalami keterbelakangan mental ringan biasanya terlihat tidak berbeda dalam perkembangannya dibandingkan dengan anak normal. Biasanya hal ini baru disadari ketika anak mulai masuk sekolah dasar dan menemui kesulitan dalam belajar dibandingkan dengan teman-temannya. Orang tua mereka baru mendeteksi adanya gangguan perkembangan pada saat sudah masuk sekolah dasar.
Sementara itu, keterbelakangan mental berat dapat dideteksi lebih dini karena mereka yang berada pada golongan ini biasanya sudah menunjukkan hambatan yang lebih besar dalam menguasai kemampuan dasar. Anak-anak yang mengalami down syndrome biasanya diketahui sejak lahir karena memiliki ciri fisik tertentu yang khas (Gunarsa, 2006).
Meskipun anak dengan keterbelakangan mental mengalami hambatan dalam segala macam bentuk perkembangan yang berhubungan dengan kemampuan kognitifnya, namun secara umum mereka berkembang seperti anak normal (Gunarsa,2006).
Anak normal biasanya dapat menguasai kemampuan bahasa pada usia dua atau tiga tahun, sementara anak dengan retardasi mental lebih lambat, misalnya usia lima atau enam tahun. Begitu juga bia dilihat dari perkembangan motorik seperti berjalan atau menyendokan makanan ke mulut, anak yang mengalami retardasi mental lebih lambat dibanding anak normal.
Kualitas hidup anak penyandang retardasi mental sesuai dengan golongan dan IQ mereka seperti dibawah ini (Simeun, 2008) :
J. AYAT AL-QURAN YANG TERKAIT
“Laqod khalaqnal insana fi ahsani taqwim”
Artinya : “Sunguh,sunguh kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”(QS. at-tin 4)
“ Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak akan dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya, Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha penyayang” (Qs. An Nahl 18).
Qs. Al- Infithaar 7-8
Artinya : “Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang,
Artinya : “Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu”
Jadi sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, begitu juga dengan anak-anak penyandang retardasi mental, sesungguhnya di balik kekurangannya, Allah pasti memberikan ‘kesempurnaan’, dan itulah nikmat yang diberikan Allah kepada manusia, sesungguhnya Allah maha adil.
Read More......