Monday, April 18, 2011

retardasi mental

A. DEFINISI
Retardasi mental adalah gangguan yang telah tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual dan adaptif yang secara signifikan berada dibawah rata-rata (Luckasson,1992, dalam Durand 2007)
Menurut American Association on Mental Retardation (AAMR) 1992 Retardasi mental yaitu : Kelemahan atau ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan dibawah normal ( IQ 70-75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area berikut : berbicara dan berbahasa; keterampilan merawat diri, ADL; keterampilan sosial; penggunaan sarana masyarakat; kesehatan dan keamanan; akademik fungsional; bekerja dan rileks, dan lain-lain.

Dari beberapa definisi diatas, yang menurut kami memiliki definisi yang hampir sama, kami cenderung menyepakati definisi yang diungkapkan oleh American Assosiation on Mental Retardation (AAMR) yang mengungkapkan bahwa Retardasi mental yaitu : Kelemahan/ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan dibawah normal ( IQ 70-75 atau kurang), dan disertai keterbatasan lain. Berikut ini adalah klasifikasi retardasi mental yang ditunjukkan dengan bagan (Dr.wiguna & ika, 2005) :

1. RM ringan (IQ 55-70) : mulai tampak gejalanya pada usia sekolah dasar, misalnya sering tidak naik kelas, selalu memerlukan bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau mengerjakan hal-hal yang berkaitan pekerjaan rumah atau mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi. 80 % dari anak RM termasuk pada golongan ini. Dapat menempuh pendidikan Sekolah Dasar kelas VI hingga tamat SMA. Ciri-cirinya tampak lamban dan membutuhkan bantuan tentang masalah kehidupannya.
2. RM Sedang (IQ 40-55) : sudah tampak sejak anak masih kecil dengan adanya keterlambatan dalam perkembangan, misalnya perkembangan wicara atau perkembangan fisik lainnya. Anak ini hanya mampu dilatih untuk merawat dirinya sendiri, pada umumnya tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya, angka kejadian sekitar 12% dari seluruh kasus RM. Anak pada golongan ini membutuhkan pelayanan pendidikan yang khusus dan dukungan pelayanan.
3. RM Berat (IQ 25-40) : sudah tampak sejak lahir, yaitu perkembangan motorik yang buruk dan kemampuan bicara yang sangat minim, anak ini hanya mampu untuk dilatih belajar bicara dan keterampilan untuk pemeliharaan tubuh dasar, angka kejadian 8% dari seluruh RM. Memiliki lebih dari 1 gangguan organik yang menyebabkan keterlambatannya, memerlukan supervisi yang ketat dan pelayanan khusus.
4. RM Sangat Berat (IQ < 25) : sudah tampak sejak lahir yaitu gangguan kognitif, motorik, dan komunikasi yang pervasif. Mengalami gangguan fungsi motorik dan sensorik sejak awal masa kanak-kanak, individu pada tahap ini memerlukan latihan yang ekstensif untuk melakukan “self care” yang sangat mendasar seperti makan, BAB, BAK. Selain itu memerlukan supervisi total dan perawatan sepanjang hidupnya, karena pada tahap ini pasien benar-benar tidak mampu mengurus dirinya sendiri. A. SEBAB-SEBAB 1. Faktor Prenatal Penggunaan berat alkohol pada perempuan hamil dapat menimbulkan gangguan pada anak yang mereka lahirkan yang disebut dengan fetal alcohol syndrome. Faktor-faktor prenatal lain yang memproduksi retardasi mental adalah ibu hamil yang menggunakan bahan-bahan kimia, dan nutrisi yang buruk. (Durand, 2007). Penyakit ibu yang juga menyebabkan retardasi mental adalah sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan oksigen dan cidera kepala, menempatkan anak pada resiko lebih besar terhadap gangguan retardasi mental. Kelahiran premature juga menimbulkan resiko retardasi mental dan gangguan perkembangan lainnya. Infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis juga dapat menyebabkan retardasi mental. Anak-anak yang terkena racun, seperti cat yang mengandung timah, juga dapat terkena retardasi mental. (Nevid, 2003) 2. Faktor Psikososial Seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang tidak memberikan stimulasi intelektual, penelantaran, atau kekerasan dari orang tua dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental. (Nevid, 2002) Anak-anak dalam keluarga yang miskin mungkin kekurangan mainan, buku, atau kesempatan untuk berinteraksi dengan orang dewasa melalui cara-cara yang menstimulasi secara intelektual akibatnya mereka gagal mengembangkan keterampilan bahasa yang tepat atau menjadi tidak termotivasi untuk belajar keterampilan-keterampilan yang penting dalam masyarakat kontemporer. Beban-beban ekonomi seperti keharusan memiliki lebih dari satu pekerjaan dapat menghambat orang tua untuk meluangkan waktu membacakan buku anak-anak, mengobrol panjang lebar, dan memperkenalkan mereka pada permainan kreatif. Lingkaran kemiskinan dan buruknya perkembangan intelektual dapat berulang dari generasi ke generasi (Nevid, 2002). Kasus yang berhubungan dengan aspek psikososial disebut sebagai retardasi budaya-keluarga (cultural-familial retardation). Pengaruh cultural yang mungkin memberikan kontribusi terhadap gangguan ini termasuk penganiayaan, penelantaran, dan deprivasi sosial. (Durand, 2007) 3. Faktor Biologis a. Pengaruh genetik Kebanyakan peneliti percaya bahwa di samping pengaruh-pengaruh lingkungan, penderita retardasi mental mungkin dipengaruhi oleh gangguan gen majemuk (lebih dari satu gen) (Abuelo, 1991, dalam Durand, 2007) Salah satu gangguan gen dominan yang disebut tuberous sclerosis, yang relatif jarang, muncul pada 1 diantara 30.000 kelahiran. Sekitar 60% penderita gangguan ini memiliki retardasi mental (Vinken dan Bruyn, 1972, dalam Durand 2007). Phenyltokeltonuria (PKU) merupakan gangguan genetis yang terjadi pada 1 diantara 10.000 kelahiran (Plomin, dkk, 1994, dalam Nevid, 2002). Gangguan ini disebabkan metabolisme asam amino Phenylalanine yang terdapat pada banyak makanan. Asam Phenylpyruvic, menumpuk dalam tubuh menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang mengakibatkan retardasi mental dan gangguan emosional. b. Pengaruh kromosomal Jumlah kromosom dalam sel-sel manusia yang berjumlah 46 baru diketahui 50 tahun yang lalu (Tjio dan Levan, 1956, dalam Durand, 2007). Tiga tahun berikutnya, para peneliti menemukan bahwa penderita Sindroma Down memiliki sebuah kromosom kecil tambahan. Semenjak itu sejumlah penyimpangan kromosom lain menimbulkan retardasi mental telah teridentifikasi yaitu Down syndrome dan Fragile X syndrome. 1. Down syndrome Sindroma down, merupakan bentuk retardasi mental kromosomal yang paling sering dijumpai, di identifikasi untuk pertama kalinya oleh Langdon Down pada tahun 1866. Gangguan ini disebabkan oleh adanya sebuah kromosom ke 21 ekstra dan oleh karenanya sering disebut dengan trisomi 21. (Durand, 2007). Anak retardasi mental yang lahir disebabkan oleh faktor ini pada umumnya adalah Sindroma Down atau Sindroma mongol (mongolism) dengan IQ antar 20 – 60, dan rata-rata mereka memliki IQ 30 – 50. (Wade, 2000, dalam Nevid 2003). Menyatakan abnormalitas kromosom yang paling umum menyebabkan retardasi mental adalah sindrom down yang ditandai oleh adanya kelebihan kromosom atau kromosom ketiga pada pasangan kromosom ke 21, sehingga mengakibatkan jumlah kromosom menjadi 47. Anak dengan sindrom down dapat dikenali berdasarkan ciri-ciri fisik tertentu, seperti wajah bulat, lebar, hidung datar, dan adanya lipatan kecil yang mengarah ke bawah pada kulit dibagian ujung mata yang memberikan kesan sipit. Lidah yang menonjol, tangan yang kecil, dan berbentuk segi empat dengan jari-jari pendek, jari kelima yang melengkung, dan ukuran tangan dan kaki yang kecil serta tidak proporsional dibandingkan keseluruhan tubuh juga merupakan ciri-ciri anak dengan sindrom down. Hampir semua anak ini mengalami retardasi mental dan banyak diantara mereka mengalami masalah fisik seperti gangguan pada pembentukan jantung dan kesulitan pernafasan. (Nevid, 2003) 2. Fragile X syndrome. Fragile X syndrome merupakan tipe umum dari retardasi mental yang diwariskan. Gangguan ini merupakan bentuk retardasi mental paling sering muncul setelah sindrom down (Plomin, dkk, 1994, dalam Nevid, 2003). Gen yang rusak berada pada area kromosom yang tampak rapuh, sehingga disebut Fragile X syndrome. Sindrom ini mempengaruhi laki-laki karena mereka tidak memiliki kromosom X kedua dengan sebuah gen normal untuk mengimbangi mutasinya. Laki-laki dengan sindrom ini biasanya memperlihatkan retardasi mental sedang sampai berat dan memiliki angka hiperaktifitas yang tinggi. Estimasinya adalah 1 dari setiap 2.000 laki-laki lahir dengan sindrom ini ( Dynkens, dkk, 1998, dalam Durand, 2007). B. PERSPEKTIF ALIRAN-ALIRAN 1. Aliran Psikoanalis : sebab retardasi mental adalah salah satunya dikarenakan oleh prenatal yaitu ibu yang mengkonsumsi akohol, hal ini disebabkan karena ibu terlalu mementingkan id nya dan tidak dapat menyeimbangan superegonya sehingga janin yang ada di dalam dinding rahim tumbuh dan berkembang secara tidak sehat. Hal ini dikarenakan karena ibu yang mementingkan id dengan cara menerapkan lifestyle yaitu mengkonsumsi alkohol dan tidak mengkonsumsi nutrisi (malnutrisi) 2. Aliran Behavorisme : karena pola asuh yang salah yaitu memodeling dengan cara yang keliru. Orang tua yang memiliki anak retaradasi mental terkadang tidak mengakui bahwa anaknya termasuk ke dalam anak yang mengalami keterbelakangan mental, sehingga tindakan orang tua yang pertama kali dalam menanggapi keadaan ini adalah denial (penolakan akan realitas) yang terjadi pada anak mereka. Orang tua tidak menyekolahkan anak tersebut ke dalam sekolah berkebutuhan khusus tetapi tetap memasukkan anaknya ke sekolah formal, sedangkan di sekolah formal sangat minim sekali dalam pemenuhan kebutuhan untuk anak retardasi mental. Hal ini yang menyebabkan anak retardasi menjadi semakin terpuruk dalam mengembangkan proses intelektualnya. Sebagian orang tua meniru perilaku orang tua lain bahwa setiap anak dapat dimasukkan dan di didik ke dalam sekolah formal. Karena proses memodeling yang salah ini lah dapat merugikan masa depan anak retardasi mental. 3. Aliran Kognitif (Bandura, Rotter) : berfokus pada peran dari proses kognitif atau kognisi dan dari belajar melalui pengamatan (modeling) dalam perilaku manusia, contoh : konsep atau cara pandang orang tua yang salah akan kehadiran anak retardasi mental yang terkadang tidak diakui atau tidak adanya rasa penerimaan diri sehingga dari sini timbul proses belajar dan kerangka berpikir yang salah, tentang keberadaan anak retardasi mental yang berdampak pada sisi psikologis sehingga si anak akan merasa tertekan, harga diri rendah di dalam lingkungan keluarganya 4. Aliran Humanistik (Maslow) : menekankan bahwa seseorang itu memiliki keunikan, disini ditekankan bahwa anak-anak retardasi mental memiliki keunikan tersendiri. Mereka memiliki tubuh yang unik, yaitu dari bentuk wajah (muka oval, mata berbentuk kacang almond, muka mirip antara satu anak dengan anak lain). Bentuk tubuh mereka juga unik yaitu jari-jari tangan dan kaki cenderung memadat dan tubuh memendek. Bentuk tubuh inilah yang mencerminkan keunikan tersendiri pada anak retardasi mental. 5. Aliran Psikologi Transpersonal : menekankan pada konsep transendental yaitu hubungan antara seorang individu dengan Tuhan-NYA, disini di jelaskan bahwa seseorang individu harus menghargai setiap ciptaan Allah SWT, sesama manusia harus saling menjaga, memanusiakan manusia pada umumnya walaupun terdapat perbedaan baik dari segi fisik, kesehatan mental dan proses kognitif. C. GEJALA Menurut kriteria DSM-IV-TR untuk gejala anak retardasi mental terbagi dalam tiga kelompok yaitu : Kriteria pertama, seseorang harus memiliki intelektual yang secara signifikan berada di tingkatan sub average (dibawah rata-rata), yang ditetapkan berdasarkan satu tes IQ atau lebih. Dengan cutoff score yang oleh DSM-IV-TR ditetapkan sebesar 70 atau kurang. Kriteria Kedua, adanya defisit atau hendaya dalam fungsi adaptif yang muncul beragam setidaknya dua bidang yakni, komunikasi, merawat diri sendiri, mengurus rumah, keterampilan social, interpersonal, pemanfaatan sumber daya di masyarakat, keterampilan akademis, pekerjaan, kesehatan, dan keselamatan. Kriteria Ketiga, anak dengan retardasi mental ciri intelektual dan kemampuan adaptif itu harus muncul sebelum mencapai 18 tahun. Gejala anak retardasi mental menurut (Brown, dkk 1991 dalam Sekar, 2007) menyatakan : 1. Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus menerus. 2. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru. 3. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak retardasi mental berat. 4. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak dengan retardasi mental berat mempunyai ketebatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala. 5. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak retardasi mental berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti : berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar. 6. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahita ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai retardasi mental berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak retardasi mental dalam memberikan perhatian terhadap lawan main. 7. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak retardasi mental berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti ritual, misalnya : memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya: menggigit diri sendiri, membentur-beturkan kepala, dan lain-lain. D. ONSET Biasanya keterbelakangan mental muncul sejak lahir atau bahkan masih di dalam kandungan dan ketika masih kanak-kanak. Itu sebabnya retardasi mental digolongkan di dalam gangguan perkembangan. Jadi, orang dewasa yang mengalami kondisi ini setelah 18 tahun mungkin karena mengalami cedera pada otaknya atau dementia (Simeun, 2008) Karena kondisi keterbelakangan mental mempengaruhi kemampuan kognitif, akibatnya segala macam bentuk perkembangan yang berhubungan dengan kemampuan kognitif akan mengalami hambatan, misalnya saja, kemampuan motorik dan kemampuan bahasa, terutama dalam berbicara. Keterbatasan dalam kemampuan kognitif tidak hanya mereka dalam area yang erat kaitannya dengan proses berpikir seperti bahasa, belajar, ingatan, serta kemampuan motorik, namun juga kaitannya erat dengan kemampuan emosi dan sosial, seperti mengontrol diri, menahan rasa marah, memecahkan masalah-masalah sosial, dan keterbatasan interpersonal lainnya. (Simeun, 2008) E. PREVALENSI Retardasi mental yang diakibatkan oleh abnormalitas genetis, menyebabkan retardasi mental pada 1000-1500 pria dan hambatan mental pada setiap 2000-2500 perempuan. Perempuan biasanya memiliki dua kromosom X sementara laki-laki hanya satu. Pada perempuan, memiliki dua kromosom X tampaknya memberikan perlindungan dari gangguan ini, bila kerusakan terjadi pada salah satunya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa gangguan ini umumnya akan berdampak akan lebih parah pada laki-laki dari pada perempuan (Angier, 1991 dalam Jacoby 2009). Kira-kira 90 % penyandang retardasi mental termasuk kategori retardasi mental ringan (IQ 50-70), dan mempresentasikan 1% sampai 3% dari populasi secara umum (Larson, dkk, dalam Durand, 2007) Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi. Di Indonesia 1-3 % penduduknya menderita kelainan ini. Insidennya sulit diketahui karena retardasi metal kadang-kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan dimana retardasinya masih dalam taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Sekar, 2007). F. TERAPI Terapi yang digunakan adalah mengunakan beberapa cara, yaitu diantaranya sebagai berikut : 1. Terapi baca (dengan pendekatan montesoori) Guru atau orang tua tidak secara langsung mengubah anak tetapi sebaliknya guru mencoba memberi peluang pada anak menyelesaikan tugas dengan usaha sendiri, tanpa bantuan orang dewasa. Tujuan ini bertujuan untuk memberikan edukasi secara dini kepada pasien. 2. Pilihan bebas (anak diberi kebebasan untu memilih kebutuhan yang sesuai dengan minatnya) Dengan cara ini, aktivitas kehidupan sehari-hari pasien menjadi bagian dari kurikulum yang diberikan. 3. Terapi perilaku Konselor memberikan pengetahuan tentang cara pandang si anak tersebut, misalnya tidak mau bermain games, cara pandang terhadap sesuatu dan lain-lain. Terapi ini bertujuan untuk mengubah perilaku yang cenderung agresif dan menciptakan self injury. 4. Terapi bicara Konselor memberikan contoh perilaku bicara yang baik, karena pada dasarnya, anak retardasi mental akan terlihat dalam mengucapkan sebuah kata-kata 5. Terapi sosialisasi Pasien diajak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain, yaitu tetap menjalin komunikasi dengan orang lain atau individu di sekitarnya dengan cara bersosialisasi, melakukan interaksi secara verbal sehingga disini akan menumbuhkan rasa percaya diri, perasaan diterima oleh lingkungan, dan motivasi pada diri pasien agar tetap survive dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. 6. Terapi bermain Pasien dibimbing untuk dapat mengerjakan sesutu hal berupa hasil karya, atau sebuah permainan. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah kemampuan pasien di bidang kognitif yaitu dengan cara merangsang proses berpikir pasien tentang pola sebuah bentuk sehingga disini pasien diajak untuk dapat merangkai sebuah konstruksi bangunan, kemudian dapat meningkatkan imanjinasi dengan cara merangsang kemampuan imajinasi tentang sesuatu hal yang berada di pikirannya, selain itu dalam segi kreatifitas, yaitu dengan cara meningkatkan dan mengolah kreatifitas pasien dengan paduan warna, pola, bentuk yang berbeda-beda sehingga pasien mempunyai pengetahuan, pemahaman dan keanekaragaman tentang macam-macam jenis permainan atau hasil karya yang dia temui. 7. Terapi menulis Cara ini digunakan untuk dapat mempermudah proses berjalannya terapi yaitu dengan cara pasien diajak untuk menulis di selembar kertas berupa serangkaian kata-kata. Tujuan daripada terapi ini adalah untuk melemaskan otot atau syarat tangan dalam beraktivitas sehingga tubuh pasien tidak kaku dan lebih fleksibel dalam menanggapi respon atau stimulus yang berada di sampingnya. 8. Terapi okupasi Terapi ini dilakukan dengan cara memijat-mijat bagian syaraf anak tersebut seperti pada bagian pergelangan tangan, kaki dan daerah tubuh lainnya. Terapi ini dilakukan pada saat pasien berusia muda, karena pada masa muda sendi-sendi dalam tubuh pasien masih bersifat elastis dan dapat menyesuaikan dengan bentuk perlakuan yang diberikan. 9. Terapi musik Terapi ini dilakukan dengan cara pasien diarahkan untuk dapat mendengarkan dan memaknai sebuah alunan musik. Terapi ini bertujuan untuk dapat mengasah fungsi auditory pasien akan stimulus suara yang di dengarkannya. G. PREVENSI Salah satu usaha intervensi dini dapat membidik dan membantu anak-anak yang karena lingkunganya yang tidak dapat adekuat, beresiko mengembangkan retardasi cultural familial (Fewell dkk, dalam Gunarsa 2002). Program head start nasional adalah salah satu bentuk upaya intervensi dini. Program ini mengkombinasikan dukungan pendidikan, medis, dan sosial untuk anak-anak dan keluarganya. Salah satu proyeknya mengidentifikasi sekelompok anak tidak lama setelah mereka lahir dan memberikan program pra sekolah intensive serta dukungan nutrisi mereka. Intervensi ini berlanjut sampai mereka mulai memasuki pendidikan formal di taman kanak-kanak. Meskipun tampaknya banyak anak yang mengalami kemajuan signifikan bila intervensi dimulai sejak dini (Ramey dan ramey, 1988, dalam Gunarsa 2002), masih ada banyak pertanyaan penting terkait dengan upaya intervensi dini. Sebagai contoh, tidak semua anak mendapatkan manfaat yang signifikan dari upaya itu. Pelayanan yang dibutuhkan oleh anak-anak dengan retardasi mental untuk memenuhi tuntunan perkembangan sebagian tergantung pada derajat keparahan dengan tipe retardasi (Dykens dkk, 1997 dalam Gunarsa 2002 ). Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak dengan retardasi mental dapat mencapai kemampuan setara dengan anak kelas 6 SD. Mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan vokasional yang memungkinkan mereka untuk membiayai dirinya sendiri melalui pekerjaan yang bermakna. Banyak anak-anak seperti ini dapat bersekolah di sekolah regular. Sebaliknya anak-anak dengan retardasi mental berat atau parah membutuhkan penanganan institusi atau ditempatkan pada pusat pelayanan residensial. Penempatan di institusi sering kali didasarkan pada kebutuhan untuk mengontrol perilaku destruktif atau agresif, bukan karena parahnya gangguan intelektual. Saat ini sudah banyak beberapa pendekatan yang digunakan untuk mendeteksi gangguan perkembangan ini sejak awal, sejak dalam kandungan. Tujuannya agar dapat diketahui apakah si calon bayi memiliki abnormalitas genetik seperti retardasi mental, yang dapat menyebabkan kondisi yang menghambat perkembangan bayi. Adapun pendekatan yang sering dilakukan adalah : b. Scanning dengan menggunakan ultrasound. Biasanya cara ini dapat mendeteksi kondisi-kondisi yang berhubungan dengan cacat fisik melalui gelombang suara. c. Amniocentesis yaitu mengambil sampel cairan amnion melalui dinding perut ibu yang sedang hamil. Biasanya dilakukan pada usia kandungan 16 hingga 18 minggu. Hal ini dapat mendeteksi kemungkinan adanya abnormalitas kromosom dan penyakit-penyakit genetik. d. Chorionic Villus Sampling yaitu mengambil sampel jaringan chorion melalui vagina ibu yang sedang hamil. e. Genetic Screening merupakan pendekatan yang paling mutakhir saat ini dikarenakan memiliki tingkat ketepatan yang tinggi (Gunarsa, 2002). Pelayanan yang dibutuhkan oleh anak-anak dengan retardasi mental untuk memenuhi tuntutan perkembangan, sebagian bergantung pada derajat keparahan dan tipe retardasi (Dykens dkk, 1997 dalam Gunarsa 2002). Dengan pelatihan yang tepat, anak-anak dengan retardasi mental ringan dapat mencapai kemampuan setara dengan anak-anak kelas 6 SD. Prevensi yang diberikan kepada anak dengan retardasi mental akan lebih efekif apabila dilakukan sejak awal bahkan pada usia pra sekolah. Ini tidak hanya melibatkan orang tua, melibatkan juga pribadi-pribadi lain dalam keluarga. Prevensi ini meliputi: 1. Mendorong anak agar bereksplorasi. Anak memperoleh banyak hal melalui eksplorasi terhadap lingkungannya. 2. Mengajarkan kemampuan dasar. Kemampuan dasar dalam bidang kognitif pada umumnya diberikan, antara lain: bagaimana memberi nama pada suatu hal, membuat urutan, dan perbandingan. 3. Merayakan setiap kemajuan perkembangan yang sudah dicapai misalnya dengan memberikan reinforcement yang berupa reward yang disenangi anak. 4. Bimbing anak dalam mengulang kembali apa yang sudah dipelajari dan kemudian arahkan anak untuk mempelajari ketrampilan baru. 5. Lindungi anak dari kondisi-kondisi yang membahayakan, tidak menyenangkan, atau punishment (hukuman) 6. Ciptakan lingkungan yang respondif dan kaya akan bahasa sehingga memungkinkan anak untuk berkomunikasi. (Gunarsa, 2002 ) I. KUALITAS HIDUP Anak yang mengalami keterbelakangan mental ringan biasanya terlihat tidak berbeda dalam perkembangannya dibandingkan dengan anak normal. Biasanya hal ini baru disadari ketika anak mulai masuk sekolah dasar dan menemui kesulitan dalam belajar dibandingkan dengan teman-temannya. Orang tua mereka baru mendeteksi adanya gangguan perkembangan pada saat sudah masuk sekolah dasar. Sementara itu, keterbelakangan mental berat dapat dideteksi lebih dini karena mereka yang berada pada golongan ini biasanya sudah menunjukkan hambatan yang lebih besar dalam menguasai kemampuan dasar. Anak-anak yang mengalami down syndrome biasanya diketahui sejak lahir karena memiliki ciri fisik tertentu yang khas (Gunarsa, 2006). Meskipun anak dengan keterbelakangan mental mengalami hambatan dalam segala macam bentuk perkembangan yang berhubungan dengan kemampuan kognitifnya, namun secara umum mereka berkembang seperti anak normal (Gunarsa,2006). Anak normal biasanya dapat menguasai kemampuan bahasa pada usia dua atau tiga tahun, sementara anak dengan retardasi mental lebih lambat, misalnya usia lima atau enam tahun. Begitu juga bia dilihat dari perkembangan motorik seperti berjalan atau menyendokan makanan ke mulut, anak yang mengalami retardasi mental lebih lambat dibanding anak normal. Kualitas hidup anak penyandang retardasi mental sesuai dengan golongan dan IQ mereka seperti dibawah ini (Simeun, 2008) : J. AYAT AL-QURAN YANG TERKAIT “Laqod khalaqnal insana fi ahsani taqwim” Artinya : “Sunguh,sunguh kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”(QS. at-tin 4) “ Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak akan dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya, Allah benar-benar Maha Pengampun lagi maha penyayang” (Qs. An Nahl 18). Qs. Al- Infithaar 7-8 Artinya : “Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, Artinya : “Dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu” Jadi sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, begitu juga dengan anak-anak penyandang retardasi mental, sesungguhnya di balik kekurangannya, Allah pasti memberikan ‘kesempurnaan’, dan itulah nikmat yang diberikan Allah kepada manusia, sesungguhnya Allah maha adil.

Read More......

LOGOTERAPI

A. Logoterapi
1. Sejarah
Logoterapi dikemukakan oleh Viktor Emile Frankl. Frankl lahir pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina dari pasangan Gabriel Frankl dan Elsa Frankl. Frankl yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dibesarkan dalam keluarga yang religius dan berpendidikan. Ibunya seorang Yahudi yang taat, dan Ayahnya merupakan pejabat Departemen Sosial yang banyak menaruh perhatian pada kesejahteraan sosial. Frankl menaruh minat yang besar terhadap persoalan spiritual, khususnya berkenaan dengan makna hidup (Koeswara, 1992).

2. Pengertian
Logoterapi adalah bentuk penyembuhan melalui penemuan makna dan pengembangan makna hidup, dikenal dengan therapy through meaning. Bastaman (2007) menambahkan selain therapy through meaning, logoterapi juga bisa disebut health through meaning. Logoterapi juga dapat diamalkan pada orang-orang normal.
Dalam psikologi, logoterapi dikelompokkan dalam aliran eksistensial atau Psikologi Humanistik. Logoterapi dapat dikatakan sebagai corak psikologi yang memandang manusia, selain mempunyai dimensi ragawi dan kejiwaan, juga mempunyai dimensi spiritual, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat akan hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang spiritual tidak selalu identik dengan agama, tetapi dimensi ini merupakan inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup yang paling tinggi (Bastaman, 2007).
Logoterapi mempunyai landasan filosofis yaitu: kebebasan berkeinginan, keinginan akan makna, dan makna hidup (Koeswara, 1992). Dalam kebebasan berkeinginan, Frankl memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan berkeinginan dalam batas tertentu. Manusia tidaklah bebas dari kondisi-kondisi fisik, lingkungan, dan psikologis, namun manusia mempunyai kebebasan untuk mengambil sikap terhadap kondisi-kondisi seperti itu. Keinginan akan makna merupakan motivasi utama manusia. Frankl memandang bahwa kesenangan, bukanlah tujuan utama manusia. Ia memandang bahwa kesenangan hanyalah efek dari pemenuhan dorongan dalam mencapai tujuan yaitu makna hidup. Makna hidup dapat ditemukan dalam keadaan apapun, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan.
Inti dari ajaran logoterapi adalah:
a. Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna.
b. Kehendak akan hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap manusia.
c. Dalam batasan-batasan tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan tujuan hidupnya.
d. Hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai penghayatan (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).
3. Konsep Dasar Logoterapi
a. Makna Hidup (Meaning of Life)
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup terkait dengan alasan dan tujuan dari kehidupan itu sendiri.
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), makna hidup bersifat objektif dan berada di luar diri manusia. Makna hidup bukanlah sesuatu yang merupakan hasil dari pemikiran idealistik dan hasrat-hasrat atau naluri dari manusia. Makna hidup bersifat objektif dan berada di luar manusia karena ia menantang manusia untuk meraihnya. Jika status objektif tidak dimiliki oleh makna, maka makna tidak akan bersifat menuntut dan tidak akan menjadi tantangan. Kekuasaan misalnya, bukanlah merupakan bagian dari manusia itu sendiri, namun sesuatu yang berada di luar diri manusia yang harus dicapai apabila sesorang menginginkannya. Begitu juga dengan makna, apabila seseorang menginginkannya maka dia harus berusaha menggapainya melalui usaha sendiri dan bukan merupakan pemberian dari orang lain.
Makna hidup juga bersifat subjektif. Artinya makna hidup bersifat pribadi dan berbeda pada setiap individu. Sesuatu yang bermakna bagi sesorang bisa jadi tidak mempunyai makna apa-apa bagi orang lain. Subjektivitas ini berasal dari fakta bahwa makna yang akan dan perlu dicapai oleh individu adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya dalam situasi tertentu. Setiap individu adalah unik, juga kehidupannya. Kehidupan seseorang tidak bisa dipertukarkan dengan kehidupan seseorang yang lainnya, juga perspektifnya. Dari masing-masing perspektifnyalah setiap individu melihat dunia nilai-nilai.
Bastaman (2007) menyatakan bahwa makna hidup bersifat memberi pedoman dan arah. Makna hidup memberikan sebuah arahan terhadap kegiatan dan aktifitas keseharian dalam kehidupan sesorang. Makna hidup merupakan sesuatu yang identik dengan tujuan, hal itu akan menjadi sebuah titik tuju dalam kehidupan seseorang yang akan mengarahkan hidupnya dalam rangka menuju titik tujuan tersebut. Begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, individu akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan individu pun menjadi lebih terarah kepada pemenuhan itu.
Makna hidup melampaui intelektualitas manusia. Makna hidup tidak bisa hanya dicapai dengan usaha berpikir tanpa adanya usaha implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui sesuatu yang bermakna bagi kita perlu melalui proses intelektual. Namun, hal ini hanya merupakan sebuah pengetahuan belaka dan tidak memberi makna, ketika kita tidak menjalankan sebuah komitmen dan implementasi dari sesuatu yang kita anggap bermakna tersebut.
Hal ini pula yang menyebabkan Frankl merumuskan bahwa sumber-sumber dari makna hidup tidak hanya dicapai dengan sebatas usaha intelektual. Namun makna hidup dapat dicapai dengan menerapkan nilai-nilai dalam kehidupan. Nilai-nilai ini dianggap sebagai sumber makna hidup.
Nilai-nilai kehidupan yang dianggap sebagai sumber makna hidup antara lain: nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap (Booree, 2007).
b. Nilai-nilai Kreatif
Nilai-nilai kreatif merupakan nilai-nilai yang didapat dengan cara beraktivitas secara langsung terhadap suatu pekerjaan yang bisa membawa diri kita merasa bermakna. Pekerjaan ini tidak hanya terbatas pada pekerjaan yang bersifat formal dan menghasilkan uang, namun juga pekerjaan-pekerjan yang bersifat non-profit. Dalam sebuah pekerjaan, Frankl menekankan bahwa apapun pekerjaan itu dapat memberikan makna terhadap individu yang melakukannya.
Yang penting dalam aktivitas kerja bukanlah lingkup atau luasnya, melainkan bagaimana seseorang bekerja sehingga dia bisa mengisi penuh lingkaran aktivitasnya itu. Juga, tidak menjadi soal, apa bentuk aktivitas itu dan siapa yang melaksanakannya. Rakyat kecil atau orang kebanyakan yang secara sungguh-sungguh dan menjalankan tugas kongkret yang memungkinkan diri dan keluarganya hidup, terlepas dari fakta bahwa kehidupannya itu kecil, lebih besar dan lebih unggul dibanding dengan seorang negarawan besar yang menentukan nasib jutaan orang dengan goresan penanya, tetapi putusan-putusannya ceroboh dan membawa berbagai akibat buruk.
Namun disini yang perlu ditekankan bahwa pekerjaan itu sendiri terlepas dari makna, sehingga suatu pekerjaan tertentu tidak bisa menjamin pemenuhan makna. Lagi-lagi semua itu tergantung pada seseorang yang menjalaninya dan mempersepsi dari suatu pekerjaan itu. Dalam pembahasan berkenaan dengan nilai-nilai kreatif ini banyak ditekankan pada hal pekerjaan. Namun disini arah pembahasan Frankl tersebut lebih mengarah pada bagaimana seseoarang berkarya yang dirasa bermanfaat dan bermakna melalui pekerjaan yang dilakukan.
c. Nilai-nilai Penghayatan
Nilai-nilai penghayatan merupakan suatu kegiatan menemukan makna dengan cara meyakini dan menghayati sesuatu. Sesuatu ini dapat berupa kebenaran, kebajikan, keyakinan agama, dan keimanan. Frankl percaya bahwa seseorang dapat menemukan makna dengan menemui kebenaran, baik melalui keyakinan agama atau yang bersumber dari filsafat hidup yang sekuler sekalipun. Keyakinan beragama merupakan salah satu dari berbagai keyakinan yang dapat memberikan makna hidup.
Dalam keberagamaan orang dapat menemukan makna dan arti dalam kehidupannya. Tidak sedikit orang yang mencurahkan seluruh kehidupannya kepada agama. Selain itu orang-orang sekuler juga dapat menemukan makna di luar hal-hal yang bersifat agama. Seperti orang-orang yang berwatak sosialis, misalnya, mereka merasa menemukan makna dengan memahami filsafat materialis dan mengamalkan ajarannya. Ada juga orang yang dengan meyakini kebenaran-kebenaran universal dan menjalaninya seperti menolong sesama dan menjadi pekerja-pekerja sosial.
d. Nilai-nilai Bersikap
Nilai ini merupakan sikap yang diambil terhadap sebuah penderitaan yang tidak dapat dielakkan atau tak terhindarkan (inavoid moment). Hal ini bisa dalam bentuk kematian seseorang yang dicintai, penyakit yang tak dapat disembuhkan atau kecelakaan yang tragis. Dalam kehidupan sehari-hari mungkin hal ini sama halnya dengan takdir yang dikenal dalam masyrakat kita. Sikap-sikap yang dikembangkan dalam hal ini antara lain menerima dengan ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak dapat dielakkan.
Hal ini, menurut Frankl, bisa dilakukan karena manusia mempunyai kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri (self detachment). Dengan kemampuan ini manusia mampu menjadi hakim terhadap dirinya dan akhirnya bisa menetukan sikap yang tepat terhadap apa yang menimpanya. Ketika seseorang larut dalam sebuah keadaan tragis dan terus meratapinya, Ia cendrung menjadi sebagai objek dari sebuah keadaan dan tidak bisa melihat dan menarik diri serta menjadikan dirinya sebagai subjek yang mengambil kebijakan dalam hidupnya. Karena dengan kemampuan self detachment manusia bisa menjadi subjek sekaligus menjadi objek atas semua perbuatannya.
e. Dimensi Manusia dalam Logoterapi
Logoterapi memandang manusia mempunyai dimensi spiritual, selain dimensi fisik dan dimensi kejiwaan (Fabry, 1980). Dalam aliran-aliran psikologi seperti psikoanalisa dan behavior, spiritualitas sangat diabaikan. Psikoanalisa hanya menekankan pada aspek-aspek psikologis yang merupakan wujud dari tuntutan kebutuhan jasmani. Sedangkan behavior menekankan aspek fisik atau perilaku yang tampak.
Dalam pandangan logoterapi ketiga dimensi manusia ini (fisik, psikologis, dan spiritual) tidak boleh diabaikan dalam rangka memahami manusia seutuhnya. Dimensi spiritual dalam pandangan Frankl tidak selalu identik dengan agama. Setiap orang mempunyai dimensi spiritual sekalipun pada penganut atheis.
Dimensi spiritualitas dari manusia bersifat universal sebagaimana dimensi fisik dan psikologis. Frankl juga menyebut dimensi spiritual ini dengan “nootic” untuk menghindari term spiritual yang diidentikan dengan agama tertentu. Dimensi spiritual ini merupakan dimensi khas manusia dimana tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sebagai dimensi khas manusia, dimensi spiritual (nootic) ini terdiri dari kualitas-kualitas insani seperti hasrat akan makna, orientasi tujuan, iman, cinta kasih, kretivitas, imaginasi, tanggung jawab, self transcendence, komitmen, humor dan kebebasan dalam mengambil keputusan (Bastaman, 2007).
Kualitas-kualitas diatas memang merupakan kualitas insani yang khas manusia. Dalam kajian psikologi behavior dan psikoanalisa, aspek-aspek yang berkenaan dengan kualitas insani di atas tidak mendapatkan tempat. Dengan tetap mempertahankan metode positivistic, kualitas insani manusia terabaikan hanya dengan alasan bahwa aspek tersebut tidak termasuk dalam kajian bidang keilmuan yang bersifat empiris dan objektif.
f. Sindroma Ketidakbermaknaan
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), seseorang yang tidak menemukan makna hidup akan mengalami sindroma ketidakbermaknaan (syndrom of meaninglessness). Sindroma ini terdiri dari dua tahapan yaitu kevakuman eksistensi (existential vacum) dan neurosis noogenik.
Kevakuman eksistensial terjadi ketika hasrat akan makna hidup tidak terpenuhi. Gejala-gejala yang ditimbulkan dari kevakuman eksistensial ini antara lain perasaan hampa, bosan, kehilangan inisiatif, dan kekosongan dalam hidup. Fenomena ini merupakan fenomena yang menonjol pada masyarakat modern saat ini. Hal ini dikarenakan pola masyarakat modern yang sudah terlalu jauh meninggalkan hal-hal yang bersifat religi dan moralitas. Hal ini juga diakui para terapis yang berada di barat bahwa mereka sering menghadapi pasien dengan keluhan-keluhan yang menyangkut permasalahan yang terkait makna hidup seperti merasa tidak berguna dan perasaan hampa.
Untuk menunjukkan kemunculan fenomena tersebut, Frankl (Koeswara, 1992) menunjuk survei yang mengungkapkan bahwa 40% mahasiswa yang berasal dari Jerman, Swiss, dan Austria mengaku mengalami perasaan absurd, ragu akan maksud dan tujuan atau makna hidup mereka sendiri. Sedangkan para mahasiswa yang berasal dari Amerika Serikat mengalami hal yang sama dengan presentase 81%.
Frankl menekankan bahwa kevakuman eksistensialis bukanlah sebuah penyakit dalam pengertian klinis. Frankl menyimpulkan bahwa frustasi eksistensi adalah sebuah penderitaan batin ketika pemenuhan akan hasrat untuk mempunyai hidup yang bermakna terhambat. Frankl menyatakan bahwa kevakuman eksistensial tersebut bermanifestasi dalam bentuk neurosis kolektif, neurosis hari Minggu, neurosis pengangguran dan pensiunan, dan penyakit eksekutif. Beberapa bentuk manifestasi ini gejalanya sama yaitu kebosanan dan kehampaan, namun terdapat pada kondisi, individu dan waktu tertentu.
Neurosis noogenik merupakan sebuah simptomatologi yang berakar kevakuman eksistensialis. Frankl menerangkan bahwa neurosis ini terjadi apabila kevakuman eksistensialis disertai dengan simptom-simptom klinis. Disini permasalahan patologis tersebut berakar pada dimensi spiritual dan noologis yang berbeda dengan neurosis somatogenik (neurosis yang berakar pada fisiologis) maupun neurosis psikogenik (neurosis yang berakar pada permasalahan psikologis. Menurut Frankl neurosis noogenik itu sendiri dapat timbul dengan berbagai neurosis klinis seperti depresi, hiperseksualitas, alkoholisme, narkoba, dan kejahatan.
Orang yang mengalami kehampaan dan kekosongan hidup mungkin lari kepada alkohol dan narkoba dalam rangka mengisi kekosongan hidup tersebut. Kasus alkoholik dan narkoba yang berakar pada permasalahan kevakuman eksistensialis inilah disebut dengan neurosis noogenik (Koeswara, 1990).

B. Terapi Logoterapi
1. Intensi Paradoksikal
Teknik intensi paradoksikal merupakan teknik yang dikembangkan Frankl berdasarkan kasus kecemasan antispatori, yaitu kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi individu atas suatu situasi atau gejala yang ditakutinya (Koeswara, 1992).
Intensi paradoksikal adalah keinginan terhadap sesuatu yang ditakuti. Landasan dari intensi paradoksikal adalah kemampuan manusia untuk mengambil jarak atau bebas bersikap terhadap dirinya sendiri (Boeree, 2007). Frankl (dalam Koeswara, 1992) mencatat bahwa pola reaksi atau respon yang biasa digunakan oleh individu untuk mengatasi kecemasan antisipatori adalah menghindari atau lari dari situasi yang menjadi sumber kecemasan.
Contohnya, individu yang menghindari eritrofobia selalu cemas kalau-kalau dirinya gemetaran dan mandi keringat ketika berada di dalam ruangan yang penuh dengan orang. Kemudian, karena telah ada antisipasi sebelumnya, individu benar-benar gemetaran dan mandi keringat ketika dia memasuki ruangan yang penuh dengan orang. Individu pengidap eritrofobia ini berada dalam lingkaran setan. Gejala gemetaran dan mandi keringat menghasilkan kecemasan, kemudian kecemasan antisipatori ini menimbulkan gejala-gejala gemetaran dan mandi keringat. Jadi gejala antisipatori mengurung individu di dalam kecemasan terhadap kecemasan (Koeswara, 1992).
2. Derefleksi
Derefleksi merupakan teknik yang mencoba untuk mengalihkan perhatian berlebihan ini pada suatu hal di luar individu yang lebih positif. Derefleksi memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang ada pada manusia. Dengan teknik ini individu diusahakan untuk membebaskan diri dan tak memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Dengan berusaha mengabaikan keluahannya, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala, kemudian mengalihkannya pada hal-hal yang bermanfaat, gejala hyper intention akan menghilang (Bastaman, 2007).
Pasien dengan teknik ini diderefleksikan dari gangguan yang dialaminya kepada tugas tertentu dalam hidupnya atau dengan perkataan lain dikonfrontasikan dengan makna. Apabila fokus dorongan beralih dari konflik kepada tujuan-tujuan yang terpusat pada diri sendiri, maka hidup seseorang secara keseluruhan menjadi lebih sehat, meskipun boleh jadi neurosisnya tidak hilang sama sekali.
3. Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani adalah metode yang khusus digunakan terhadap pada penanganan kasus dimana individu berada pada penderitaan yang tidak dapat terhindarkan atau dalam suatu keadaan yang tidak dapat dirubahnya dan tidak mampu lagi berbuat selain menghadapinya (Koeswara, 1992).
Pada metode ini, individu didorong untuk merealisasikan nilai bersikap dengan menunjukkan sikap positif terhadap penderitaanya dalam rangka menemukan makna di balik penderitaan tersebut.

Read More......

SEPUTAR AUTISME

APA AUTISME ITU?
Secara harfiah autisme berasal dari kata autos =diri dan isme= paham/aliran.
 American Psych: autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami kondisi menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku “Sumber dari Pedoman Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Austistik”. (American Psychiatic Association 2000)
 Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat pervasive (inco) yaitu meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan gangguan interaksi sosial (Mardiyatmi ‘ 2000).
 Gangguan autisme terjadi pada masa perkembangan sebelum usia 36 bulan “Sumber dari Pedoman Penggolongan Diagnotik Gangguan Jiwa” (PPDGJ III)
 Autisme dapat terjadi pada anak, tanpa perbedaan ras, etnik, tingkat sosial ekonomi dan pendidikan.
 Privalensi Autisme diperkirakan 1 per 150 kelahiran. Menurut penelitian di RSCM selama tahun 2000 tercatat jumlah pasien baru Autisme sebanyak 103 kasus. Dari privalensi tersebut diperkirakan anak laki-laki autistik lebih banyak dibanding perempuan (4:1).

APA TANDA-TANDA ANAK AUTISTIK?
Anak autistik menunjukkan gangguan–gangguan dalam aspek-aspek berikut ini: (sering dapat diamati sehari-hari)
Bagaimana Anak Austistik berkomunikasi?
o Sebagian tidak berkomunikasi baik verbal maupun nonverbal.
o Tidak mampu mengekpresikan perasaan maupun keinginan
o Sukar memahami kata-kata bahasa orang lain dan sebaliknya kata-kata/bahasa mereka sukar dipahami maknanya..
o Berbicara sangat lambat, monoton, atau tidak berbicara sama sekali.
o Kadang-kadang mengeluarkan suara-suara aneh.
o Berbicara tetapi bukan untuk berkomunikasi.
o Suka bergumam.
o Dapat menghafal kata-kata atau nyanyian tanpa memahami arti dan konteksnya.
o Perkembangan bahasa sangat lambat bahkan sering tidak tampak.
o Komunikasi terkadang dilakukan dengan cara menarik-narik tangan orang lain untuk menyampaikan keinginannya.
Bagaimana anak austistik bergaul?
• Tidak ada kontak mata
• Menyembunyikan wajah
• Menghindar bertemu dengan orang lain
• Menundukkan kepala
• Membuang muka
• Hanya mau bersama dengan ibu/keluarganya
• Acuh tak acuh, interaksi satu arah.
• Kurang tanggap isyarat sosial.
• Lebih suka menyendiri.
• Tidak tertarik untuk bersama teman.
• Tidak tanggap / empati terhadap reaksi orang lain atas perbuatan sendiri.
Bagaimana anak autistik membawakan diri ?
 Menarik diri
 Seolah-olah tidak mendengar (acuk tak acuh/tambeng)
 Dapat melakukan perintah tanpa respon bicara
 Asik berbaring atau bermain sendiri selama berjam-jam.
 Lebih senang menyendiri. .
 Hidup dalam alam khayal (bengong)
 Konsentrasi kosong
 Menggigit-gigit benda
 Menyakiti diri sendiri
 Sering tidak diduga-duga memukul teman.
 Menyenangi hanya satu/terbatas jenis benda mainan
 Sering menangis/tertawa tanpa alasan
 Bermasalah tidur/tertawa di malam hari
 Memukul-mukul benda (meja, kursi)
 Melakukan sesuatu berulang-ulang (menggerak-gerakkan tangan, mengangguk-angguk dsb).
 Kurang tertarik pada perubahan dari rutinitas
Bagaimana kepekaan sensori integratifnya anak autistik ?
o Sangat sensitif terhadap sentuhan ,seperti tidak suka dipeluk.
o Sensitif terhadap suara-suara tertentu
o Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
o Sangat sensitif atau sebaliknya, tidak sensitif terhadap rasa sakit.
Bagaimana Pola Bermain autistik anak?
• Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
• Kurang/tidak kreatif dan imajinatif
• Tidak bermain sesuai fungsi mainan
• Menyenangi benda-benda berputar, sperti kipas angin roda sepeda, dan lain-lain.
• Sering terpaku pada benda-benda tertentu
Bagaimana keadaan emosi anak autistik ?
• Sering marah tanpa alasan.
• Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum )bila keinginan tidak dipenuhi.
• Tiba-tiba tertawa terbahak-bahak atau menangis tanpa alasan
• Kadang-kadang menyerang orang lain tanpa diduga-duga.
Bagaimana kondisi kognitif anak autisti?
Menurut Penelitian di Virginia University di Amerika Serikat diperkirakan 75 – 80 % penyandang autis mempunyai kemampuan berpikir di bawah rata-rata/retardasi mental, sedangkan 20 % sisanya mempunyai tingkat kecerdasan normal ataupun di atas normal untuk bidang-bidang tertentu.
 Sebagian kecil mempunyai daya ingat yang sangat kuat terutama yang berkaitan denga obyek visual (gambar)
 Sebagian kecil memiliki kemampuan lebih pada bidang yang berkaitan dengan angka.

APA PENYEBAB AUTISME?
Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal timbulnya gangguan autisme. Namun demikian ada beberapa faktor yang di mungkinkan dapat menjadi penyebab timbulnya autisme. berikut:
1. Menurut Teori Psikososial
Beberapa ahli (Kanner dan Bruno Bettelhem) autisme dianggap sebagai akibat hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian juga dikatakan, orang tua/pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik.
2. Teori Biologis
a. Faktor genetic: Keluarga yang terdapat anak autistik memiliki resiko lebih tinggi dibanding populasi keluarga normal.
b. Pranatal, Natal dan Post Natal yaitu: Pendarahan pada kehamilan awal, obat-obatan, tangis bayi terlambat, gangguan pernapasan, anemia.
c. Neuro anatomi yaitu: Gangguan/disfungsi pada sel-sel otak selama dalam kandugan yang mungkin disebabkan terjadinya gangguan oksigenasi, perdarahan, atau infeksi.
d. Struktur dan Biokimiawi yaitu: Kelainan pada cerebellum dengan cel-sel Purkinje yang jumlahnya terlalu sedikit, padahal sel-sel purkinje mempunyai kandungan serotinin yang tinggi. Demikian juga kemungkinan tingginya kandungan dapomin atau opioid dalam darah.
3. Keracunan logam berat misalnya terjadi pada anak yang tinggal dekat tambanga batu bara, dlsb.
4. Gangguan pencernaan, pendengaran dan penglihatan. Menurut data yang ada 60 % anak autistik mempunyai sistem pencernaan kurang sempurna. Dan kemungkinan timbulnya gejala autistik karena adanya gangguan dalam pendengaran dan penglihatan.

II. APA YANG PERLU KITA LAKUKAN TERHADAP ANAK AUTISTIK USIA DINI?
Sebelum/sembari mengikuti pendidikan formal (sekolah). Anak autistik dapat dilatih melalui terapi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak antara lain:
1. Terapi Wicara: Untuk melancarkan otot-otot mulut agar dapat berbicara lebih baik.
2. Terapi Okupasi : untuk melatih motorik halus anak.
3. Terapi Bermain : untuk melatih mengajarkan anak melalui belajar sambil bermain.
4. Terapi medikamentosa/obat-obatan (drug therapy) : untuk menenangkan anak melalui pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang.
5. Terapi melalui makan (diet therapy) : untuk mencegah/mengurangi tingkat gangguan autisme.
6. Sensory Integration therapy : untuk melatih kepekaan dan kordinasi daya indra anak autis (pendengaran, penglihatan, perabaan)
7. Auditory Integration Therapy : untuk melatih kepekaan pendengaran anak lebih sempurna
8. Biomedical treatment/therapy : untuk perbaikan dan kebugaran kondisi tubuh agar terlepas dari faktor-faktor yang merusak (dari keracunan logam berat, efek casomorphine dan gliadorphine, allergen, dsb)
9. Hydro Therapy : membantu anak autistik untuk melepaskan energi yang berlebihan pada diri anak melalui aktifitas di air.
10. Terapi Musik : untuk melatih auditori anak, menekan emosi, melatih kontak mata dan konsentrasi.

III. Ada Beberapa Pendekatan Pembelajaran Anak Autistik Antara Lain
o Discrete Tial Training (DTT) : Training ini didasarkan pada Teori Lovaas yang mempergunakan pembelajaran perilaku. Dalam pembelajarannya digunakan stimulus respon atau yang dikenal dengan orperand conditioning. Dalam prakteknya guru memberikan stimulus pada anak agar anak memberi respon. Apabila perilaku anak itu baik, guru memberikan reinforcement (penguatan). Sebaliknya perilaku anak yang buruk dihilangkan melalui time out/ hukuman/kata “tidak”
o Intervensi LEAP (Learning Experience and Alternative Programfor Preschoolers and Parents) menggunakan stimulus respon (sama dengan DTT) tetapi anak langsung berada dalam lingkungan sosial (dengan teman-teman). Anak auitistik belajar berperilaku melalui pengamatan perilaku orang lain.
o Floor Time merupakan teknik pembelajaran melalui kegiatan intervensi interaktif. Interaksi anak dalam hubungan dan pola keluarga merupakan kondisi penting dalam menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan kemampuan anak dari segi kumunikasi, sosial, dan perilaku anak.
o TEACCH (Treatment and Education for Autistic Childrent and Related Communication Handicaps) merupakan pembelajaran bagi anak dengan memperhatikan seluruh aspek layanan untuk pengembangan komunikasi anak. Pelayanan diprogramkan dari segi diagnosa, terapi/treatment, konsultasi, kerjasama, dan layanan lain yang dibutuhkan baik oleh anak maupun orangtua.

IV. BAGAIMANA MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN
Pendidikan untuk anak autistik usia sekolah bisa dilakukan di berbagai penempatan. Berbagai model antara lain:
1. Kelas transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak autistik yang telah diterapi memerlukan layanan khusus termasuk anak autistik yang telah diterapi secara terpadu atau struktur. Kelas transisi sedapat mungkin berada di sekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan dimodifikasi sesuai kebutuhan anak.
2. Program Pendidikan Inklusi
Program ini dilaksanakan oleh sekolah reguler yang sudah siap memberikan layanan bagi anak autistik. Untuk dapat membuka program ini sekolah harus memenuhi persyaratan antara lain:
a. Guru terkait telah siap menerima anak autistik
b. Tersedia ruang khusus (resourse room) untuk penanganan individual
c. Tersedia guru pembimbing khusus dan guru pendamping.
d. Dalam satu kelas sebaiknya tidak lebih dari 2 (dua) anak autistik.
e. Dan lain-lain yang dianggap perlu.
3. Pragram Pendidikan Terpadu
Program Pendidikan Terpadu dilaksanakan disekolah reguler. Dalam kasus/waktu tertentu, anak-anak autistik dilayani di kelas khusus untuk remedial atau layanan lain yang diperlukan. Keberadaan anak autistik di kelas khusus bisa sebagian waktu atau sepanjang hari tergantung kemampuan anak.
4. Sekolah Khusus Autis
Sekolah ini diperuntukkan khusus bagi anak autistik terutama yang tidak memungkinkan dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Anak di sekolah ini sangat sulit untuk dapat berkonsentrasi dengan adanya distraksi sekeliling mereka. Pendidikan di sekolah difokuskan pada program fungsional seperti bina diri, bakat, dan minat yang sesuai dengan potensi mereka.
5. Program Sekolah di Rumah
Program ini diperuntukkan bagi anak autistik yang tidak mampu mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya. Anak-anak autistik yang non verbal, retardasi mental atau mengalami gangguan serius motorik dan auditorinya dapat mengikuti program sekolah di rumah. Program dilaksanakan di rumah dengan mendatangkan guru pembimbing atau terapis atas kerjasama sekolah, orangtua dan masyarakat.
6. Panti (griya) Rehabilitasi Autis.
Anak autistik yang kemampuannya sangat rendah, gangguannya sangat parah dapat mengikuti program di panti (griya) rehabilitasi autistik. Program dipanti rehabilitasi lebih terfokus pada pengembangan:
(1) Pengenalan diri
(2) Sensori motor dan persepsi
(3) Motorik kasar dan halus
(4) Kemampuan berbahasa dan komunikasi
(5) Bina diri, kemampuan sosial
(6) Ketrampilan kerja terbatas sesuai minat, bakat dan potensinya.
Dari beberapa model layanan pendidikan di atas yang sudah eksis di lapangan adalah Kelas transisi, sekolah khusus autistik dan panti rehabilitasi.

Read More......

PENCEGAHAN AUTIS PADA ANAK

Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukanpada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).

Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.

Autis dapat terjadipada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia. Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik.

Jumlah anak yang terkena autis makin bertambah. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 di-simpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Dengan adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan terkena Autisme akan semakin besar. Jumlah tersebut di atas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara para ahli dan dokter di dunia.Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada 60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autisma meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10 anak menderita autis. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6 - 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penyandang namun diperkirakan jumlah anak austima dapat mencapai 150 -- 200 ribu orang.


PENYEBAB AUTIS

Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.

Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah : Genetik (heriditer), teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac), kolokistokinin, teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas, teori Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori Sekretin, teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan Aspartame, teori kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin Protein: Orphanin


Tabel 1. Beberapa teori penyebab Autis


1. Genetik dan heriditer
2. Teori Kelebihan Opioid
• Unsur Opioid-like
• Kekurangan enzyme Dipeptidyl peptidase
• Dermorphin Dan Sauvagine
• Opioids dan secretin
• Opioids dan glutathione
• Opioids dan immunosuppression

3. Gluten/Casein Teori Dan Hubungan gangguan Celiac
• IgA urine
• Teori Gamma Interferon
• Teori Metabolisme Sulfat

4. Kolokistokinin
5. Oksitosin Dan Vasopressin
6. Metilation
7. Imunitas Teori Autoimun dan Alergi makanan
8. Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar
9. Teori Infeksi Karena virus Vaksinasi
10. Teori Sekretin
11. Teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut)
12. Paparan Aspartame
13. Kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu
14. Orphanin Protein: Orphanin FQ/NOCICEPTIN ( OFQ/N)

Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya sebagian kecil saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan dengan teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa penelitian anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan netabolisme metalotionin.

Metalotionon adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh tubuh dalam mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam berat memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas tersebut air raksa memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam metalotianin dibandingkan logam berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan bahwa gangguan metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : defisiensi Zinc, jumlah logam berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi regulasi element Logam dan kelainan genetik, antara lain pada gen pembentuk netalotianin

Perdebatan yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab autis yang disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield, Bernard Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Banyak penelitian lainnya yang dilakukan dengan populasi yang lebih besar dan luas memastikan bahwa imunisasi MMR tidak menyebabkan Autis. Beberapa orang tua anak penyandang autisme tidak puas dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autis disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.

Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Namun penelitian secara khusus pada penyandang autis, memang menunjukkan hubungan tersebut meskipun bukan merupakan sebab akibat..

Banyak pula ahli melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah ada jauh hari sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Kelainan ini dikonfirmasikan dalam hasil pengamatan beberapa keluarga melalui gen autisme. Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika bahwa korelasi antara autisme dan cacat lahir yang disebabkan oleh thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada anak yang terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memory dan emosi menjadi lebih kecil dari pada anak normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau pada saat kelahiran bayi.

Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal mempunyai kadar protein yang kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai kadar protein tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein otak tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Nelson menyimpulkan autis terjadi sebelum kelahiran bayi.

Saat ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian terhadap kelainan autis pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin pesat dan berkembang. Sebelumnya, kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi dan metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi tersebut berkembang menjadi anak autis. Temuan ini mungkin dapat menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autis sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahannya.


MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial, perasaan sosial dan gangguan dalam perasaan sensoris.

Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal meliputi kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat dimengerti orang lain ("bahasa planet"). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. nEkolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya. Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk komunikasi dan imik datar

Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat bermain bila didekati malah menjauh. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan orang lain dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.

Gangguan dalam bermain diantaranya adalah bermain sangat monoton dan aneh misalnya menderetkan sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil dan mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kelekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, tetapi lebih menyukai benda yang kurang menarik seperti botol, gelang karet, baterai atau benda lainnya Tidak spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku yang ritualistik sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila bepergian harus melalui rute yang sama.

Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia akan membuka semua pintu, berjalan kesana kemari, berlari-lari tak tentu arah. Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan perilaku lainnya.

Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum)bila keinginannya tidak didapatkannya, bahkan bisa menjadi agresif dan merusak.. Tidak dapat berbagi perasaan (empati) dengan anak lain

Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Meraskan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan. Tidak menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan.

Menegakkan diagnosis autis memang tidaklah mudah karena membutuhkan kecermatan, pengalaman dan mungkin perlu waktu yang tidak sebentar untuk pengamatan. Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosis langsung autis. Diagnosis Autis hanyalah melalui diagnosis klinis bukan dengan pemeriksaan laboratorium. Gangguan Autism didiagnosis berdasarkan DSM-IV. Banyak tanda dan gejala perilaku seperti autis yang disebabkan oleh adanya gangguan selain autis. Pemeriksaan klinis dan penunjang lainnya mungkin diperlukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.


FAKTOR RESIKO

Karena penyebab Autis adalah multifaktorial sehingga banyak faktor yang mempengaruhi.Sehingga banyak teori penyebab yang telah diajukan oleh banyak ahli. Hal ini yang menyulitkan untuk memastikan secara tajam faktor resiko gangguan autis. Faktor resiko disusun oleh para ahli berdasarkan banyak teori penyebab autris yang telah berkembang. Terdapat beberapa hal dan keadaan yang membuat resiko anak menjadi autis lebih besar. Dengan diketahui resiko tersebut tentunya dapat dilakukan tindakan untuk mencegah dan melakukan intervensi sejak dini pada anak yang beresiko. Adapun beberapa resiko tersebut dapat diikelompokkan dalam beberapa periode, seperti periode kehamilan, persalinan dan periode usia bayi.


PERIODE KEHAMILAN

Perkembangan janin dalam kehamilan sangat banyak yang mempengaruhinya. Pertumbuhan dan perkembangan otak atau sistem susunan saraf otak sangat pesat terjadi pada periode ini, sehingga segala sesuatu gangguan atau gangguan pada ibu tentunya sangat berpengaruh. Gangguan pada otak inilah nantinya akan mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak kelak nantinya, termasuk resiko terjadinya autisme.

Beberapa keadaan ibu dan bayi dalam kandungan yang harus lebih diwaspadai dapat berkembang jadi autism adalah infeksi selama persalinan terutama infeksi virus. Peradarahan selama kehamilan harus diperhatikan sebagai keadaan yang berpotensi mengganggu fungsi otak janin. Perdarahan selama kehamilan paling sering disebabkan karena placental complications, diantaranya placenta previa, abruptio placentae, vasa previa, circumvallate placenta, and rupture of the marginal sinus. Kondisi tersebut mengakibatkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke bayi yang mengakibatkan gangguan pada otak janin. Perdarahan awal kehamilan juga berhubungan dengan kelahiran prematur dan bayi lahir berat rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah tampaknya juga merupakan resiko tinggi terjadinya autis perilaku lain yang berpotensi membahayakan adalah pemakaian obat-obatan yang diminum, merokok dan stres selama kehamilan terutama trimester pertama. Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu kondisi alergi pada janin yang diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu. Menurut pengamatan penulis, hal ini dapat dilihat adanya Gerakan bayi gerakan refluks oesefagial (hiccupps/cegukan) yang berlebihan sejak dalam kandungan terutama terjadi malam hari. Diduga dalam kedaaan tersebut bayi terpengaruh pencernaan dan aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk alergi ataupun bahan-bahan toksik lainnya selama kehamilan.

Infeksi saluran kencing, panas tinggi dan Depresi. Wilkerson dkk telah melakukan penelitian terhadap riwayat ibu hamil pada 183 anak autism dibandingkan 209 tanpa autism. Ditemukan kejadian infeksi saluran kencing, panas tinggi dan depresi pada ibu tampak jumlahnya bermakna pada kelompok ibu dengan anak autism.
PERIODE PERSALINAN

Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi selanjutnya. Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat menentukan kondisi bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ tubuh bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka terhadap gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas hidup anak baik dalam perkembangan dan perilaku anak nantinya.

Gangguan persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya autism adalah : pemotongan tali pusat terlalu cepat, Asfiksia pada bayi (nilai APGAR SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama persalinan, lamanya persalinan, letak presentasi bayi saat lahir dan erat lahir rendah ( < 2500 gram). PERIODE USIA BAYI Dalam kehidupan awal di usia bayi, beberapa kondisi awal atau gangguan yang terjadi dapat mengakibatkan gangguan pada optak yang akhirnya dapat beresiko untuk terjadinya gangguan autism. Kondisi atau gangguan yang beresiko untuk terjadinya autism adalah prematuritas, alergi makanan, kegagalan kenaikan berat badan, kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan metabolik, gangguan pencernaan : sering muntah, kolik, sulit buang air besar, sering buang air besar dan gangguan neurologI/saraf : trauma kepala, kejang, otot atipikal, kelemahan otot. PENCEGAHAN Tindakan pencegahan adalah yang paling utama dalam menghindari resiko terjadinya gangguan atau gangguan pada organ tubuh kita. Banyak gangguan dapat dilakukan strategi pencegahan dengan baik, karena faktor etiologi dan faktor resiko dapat diketahui dengan jelas. Berbeda dengan kelainan autis, karena teori penyebab dan faktor resiko belum masih belum jelas maka strategi pencegahan mungkin tidak bisa dilakukan secara optimal. Dalam kondisi seperti ini upaya pencegahan tampaknya hanya bertujuan agar gangguan perilaku yang terjadi tidak semakin parah bukan untuk mencegah terjadinya autis. Upaya pencegahan tersebut berdasarkan teori penyebab ataupun penelitian faktor resiko autis. Pencegahan ini dapat dilakukan sedini mungkin sejak merencanakan kehamilan, saat kehamilan, persalinan dan periode usia anak. PENCEGAHAN SEJAK KEHAMILAN Untuk mencegah gangguan perkembangan sejak kehamilan , kita harus melihat dan mengamati penyebab dan faktor resiko terjadinya gangguan perkembangan sejak dalam kehamilan. Untuk mengurangi atau menghindari resiko yang bisa timbul dalam kehamilan tersebut dapat melalui beberapa cara. Adapun cara untuk mencegah terjadinya gangguan tumbuh kembang sejak dalam kehamilan tersebut diantaranya adalah periksa dan konsultasi ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan lebih awal, kalu perlu berkonsultasi sejak merencanakan kehamilan. Melakukan pemeriksaan skrening secara lengkap terutama infeksi virus TORCH (Toxoplasma, Rubela, Citomegalovirus, herpes atau hepatitis). Periksa dan konsultasi ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan secara rutin dan berkala, dan selalu mengikuti nasehat dan petunjuk dokter dengan baik. Bila terdapat peradarahan selama kehamilan segera periksa ke dokter kandungan. Perdarahan selama kehamilan paling sering disebabkan karena kelainan plasenta. Kondisi tersebut mengakibatkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke bayi yang mengakibatkan gangguan pada otak janin. Perdarahan pada awal kehamilan juga berhubungan dengan kelahiran prematur dan bayi lahir berat rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah juga merupakan resiko tinggi terjadinya autism dan gangguan bahasa lainnya. Berhati-hatilah minum obat selama kehamilan, bila perlu harus konsultasi ke dokter terlebih dahulu. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan terutama trimester pertama. Peneliti di Swedia melaporkan pemberian obat Thaliodomide pada awal kehamilan dapat mengganggu pembentukan sistem susunan saraf pusat yang mengakibatkan autism dan gangguan perkembangan lainnya termasuk gangguan berbicara. Bila bayi beresiko alergi sebaiknya ibu mulai menghindari paparan alergi berupa asap rokok, debu atau makanan penyebab alergi sejak usia di atas 3 bulan. Hindari paparan makanan atau bahan kimiawi atau toksik lainnya selama kehamilan. Jaga higiene, sanitasi dan kebersihan diri dan lingkungan. Konsumsilah makanan yang bergizi baik dan dalam jumlah yang cukup. Sekaligus konsumsi vitamin dan mineral tertentu sesuai anjuran dokter secara teratur. Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu kondisi alergi pada janin yang diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu. Menurut pengamatan penulis, bila dilihat adanya gerakan bayi gerakan refluks oesefagial (hiccupps/cegukan) yang berlebihan sejak dalam kandungan terutama terjadi malam hari. Diduga dalam kedaaan tersebut bayi terpengaruh pencernaan dan aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk alergi ataupun bahan-bahan toksik lainnya selama kehamilan. Bila gerakan bayi dan gerakan hiccups/cegukan pada janin yang berlebihan terutama pada malam hari serta terdapat gejala alergi atau sensitif pencernaan salah satu atau kedua orang tua. Sebaiknya ibu menghindari atau mengurangi makanan penyebab alergi sejak usia kehamilan di atas 3 bulan. Hindari asap rokok, baik secara langsung atau jauhi ruangan yang dipenuhi asap rokok. Beristirahatlah yang cukup, hindari keadaan stres dan depresi serta selalu mendekatkan diri dengan Tuhan. PENCEGAHAN SAAT PERSALINAN Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi selanjutnya. Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat menentukan kondisi bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ tubuh bayi termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka terhadap gangguan ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas hidup anak baik dalam perkembangan dan perilaku anak nantinya Beberapa hal yang terjadi saat persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya perkembangan dan perilaku pada anak, sehingga harus diperhatikan beberapa hal penting. Melakukan konsultasi dengan dokter spesialis kandungan dan kebidanan tentang rencana persalinan. Dapatkan informasi secara jelas dan lengkap tentang resiko yang bisa terjadi selama persalinan. Bila terdapat resiko dalam persalinan harus diantisipasi kalau terjadi sesuatu. Baik dalam hal bantuan dokter spesialis anak saat persalinan atau sarana perawatan NICU (Neonatologi Intensive Care Unit) bila dibutuhkan. Bila terdapat faktor resiko persalinan seperti : pemotongan tali pusat terlalu cepat, asfiksia pada bayi baru lahir (bayi tidak menangis atau nilai APGAR SCORE rendah < 6 ), komplikasi selama persalinan, persalinan lama, letak presentasi bayi saat lahir tidak normal, berat lahir rendah ( < 2500 gram) maka sebaiknya dilakukan pemantauan perkembangan secara cermat sejak usia dini. PENCEGAHAN SEJAK USIA BAYI Setelah memasuki usia bayi terdapat beberapa faktor resiko yang harus diwaspadai dan dilakukan upaya pencegahannya. Bila perlu dilakukan terapi dan intervensi secara dini bila sudah mulai dicurigai terdapat gejala atau tanda gangguan perkembangan. Adapun beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukanl Amati gangguan saluran cerna pada bayi sejak lahir. Gangguan teresebut meliputi : sering muntah, tidak buang besar setiap hari, buang air besar sering (di atas usia 2 minggu lebih 3 kali perhari), buang air besar sulit (mengejan), sering kembung, rewel malam hari (kolik), hiccup (cegukan) berlebihan, sering buang angin. Bila terdapat keluhan tersebut maka penyebabnya yang paling sering adalah alergi makanan dan intoleransi makanan. Jalan terbaik mengatasi ganggguan tersebut bukan dengan obat tetapi dengan mencari dan menghindari makanan penyebab keluhan tersebut. Gangguan saluran cerna yang berkepanjangan akan dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak. Bila terdapat kesulitan kenaikkan berat badan, harus diwaspadai. Pemberian vitamin nafsu makan bukan jalan terbaik dalam mengobati penyandang, tetapi harus dicari penyebabnya. Bila terdapat kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik, kelainan metabolik, maka harus dilakukan perawatan oleh dokter ahli. Harus diamati tanda dan gejala autism secara cermat sejak dini. Demikian pula bila terjadi gangguan neurologi atau saraf seperti trauma kepala, kejang (bukan kejang demam sederhana) atau gangguan kelemahan otot maka kita harus lebih cermat mendeteksi secara dini gangguan perkembangan. Pada bayi prematur, bayi dengan riwayat kuning tinggi (hiperbilirubinemi), infeksi berat saat usia bayi (sepsis dll) atau pemberian antibiotika tertentu saat bayi harus dilakukan monitoring tumbuh kembangnya secara rutin dan cermat terutama gangguan perkembangan dan perilaku pada anak. Bila didapatkan penyimpangan gangguan perkembangan khususnya yang mengarah pada gangguan perkembangan dan perilaku maka sebaiknya dilakukan konsultasi sejak dini kepada ahlinya untuk menegakkan diagnosis dan intervensi sejak dini. Pada bayi dengan gangguan pencernaan yang disertai gejala alergi atau terdapat riwayat alergi pada orang tua, sebaiknya menunda pemberian makanan yang beresiko alergi hingga usia diatas 2 atau 3 tahun. Makanan yang harus ditunda adalah telor, ikan laut, kacang tanah, buah-buahan tertentu, keju dan sebagainya. Bayi yang mengalami gangguan pencernaan sebaiknya juga harus menghindari monosodium glutamat (MSG), amines, tartarzine (zat warna makanan), Bila gangguan pencernaan dicurigai sebagai Celiac Disease atau Intoleransi Casein dan Gluten maka diet harus bebas casein dan Gluten, Ciptakan lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang baik secara kualitas dan kuantitas, hindari rasa permusuhan, pertentangan, emosi dan kekerasan. Bila terdapat faktor resiko tersebut pada periode kehamilan atau persalinan maka kita harus lebih waspada. Menurut beberapa penelitian resiko tersebut akan semakin besar kemungkinan terjadi autism. Selanjutnya kita harus mengamati secara cermat tanda dan gejala autism sejak usia 0 bulan. Bila didapatkan gejala autism pada usia dini, kalau perlu dilakukan intervensi sejak dini dalam hal pencegahan dan pengobatan. Lebih dini kita melakukan intervensi kejadian autism dapat kita cegah atau paling tidak kita minimalkan keluhan yang akan timbul. Bila resiko itu sudah tampak pada usia bayi maka kondisi tersebut harus kita minimalkan bahkan kalau perlu kita hilangkan. Misal kegagalan kenaikkan berat badan harus betul-betul dicari penyebabnya, pemberian vitamin bukan jalan terbaik untuk mencari penyebab kelainan tersebut. Demikan pula gangguan alergi makanan dan gangguan pencernaan pada bayi, harus segera dicari penyebabnya. Yang paling sering adalah karena alergi makanan atau intoleransi makan, penyebabnya jenis makanan tertentu termasuk susu bayi. Pemberian obat-obat bukanlah cara terbaik untuk mencari penyebab gangguan alergi atau gangguan pencernaan tersebut. Yang paling ideal adalah kita harus menghindari makanan penyebab gangguan tersebut tanpa bantuan obat-obatan. Obat-obatan dapat diberikan sementara bila keluhan yang terjadi cukup berat, bukan untuk selamanya. by: Dr Widodo Judarwanto SpA

Read More......

10 Model Terapi Anak Autis

Dibawah ini ada 10 jenis terapi yang benar2 diakui oleh para professional dan memang bagus untuk autisme. Namun, jangan lupa bahwa Gangguan Spectrum Autisme adalah suatu gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan memerlukan waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak membutuhkan jenis terapi yang berbeda.
1) Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didisain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur kemajuannya . Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.

2) Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang , namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain.
Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.
3) Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot2 halusnya dengan benar.
4) Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya.
Kadang2 tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot2nya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
5) Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terqapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara2nya.
6) Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
7) Terapi Perilaku.
Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya,
8) Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.
9) Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode …………. Dan PECS ( Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.
10) Terapi Biomedik
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN! (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis).

Read More......

DESENSITISASI SISTEMATIK

Desensitisasi Sistematik adalah terapi yang didasarkan pada proses counterconditioning (Martin & Pear, 2003). Dalam terapi ini, terapis akan membantu klien menyusun hierarki ketakutan (suatu daftar yang berisi kira-kira 15 – 20 item) yang disusun dari tingkat ketakutan yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Kemudian klien diajarkan latihan relaksasi yang mengajarkan bagaimana menegangkan dan merilekskan otot sehingga akan terlatih bersikap rileks secara mendalam. Dalam keadaan rileks, klien akan diminta membayangkan situasi/obyek yang ditakutinya mulai dari hierarki yang paling bawah selama beberapa detik. Kemudian klien diminta untuk rileks selama 15 hingga 30 detik, dan selanjutnya diminta membayangkan kembali obyek/situasi sesuai hierarki berikutnya; demikian seterusnya hingga item hierarki ketakutan yang paling tinggi. Setiap item (scene) dihadirkan sebanyak dua kali; 3 – 5 scene tiap sesi.

SSD merupakan prosedur yang relative sama dengan DS. Hanya saja pelaksanaan setiap langkah desensitisasi dilakukan oleh klien sendiri, bukan terapis. SSD lebih cocok untuk kasus-kasus fobia yang tidak terlalu berat. Untuk fobia yang lebih berat disarankan untuk mencari pertolongan professional. Jadi, pada intinya pelaksanaan program DS dan SSD meliputi tiga langkah yaitu: (1) Menyusun hireraki ketakutan. Hierarki disusun dari tingkat ketakutan yang paling rendah hingga yang paling tinggi, dengan menggunakan skala 0 – 100. Angka 0 berarti situasi/obyek tidak menimbulkan ketakutan; sedangkan angka 100 berarti situasi/obyek tersebut menimbulkan ketakutan yang maksimal atau paling ekstrim. Nilai-nilai ini merupakan subjective units of discomfort (suds) dari situasi yang ditakutkan. (2) Berlatih relaksasi otot secara mendalam, (3) Melaksanakan langkah-langkah proses self-desensitization

Implementasi Program SSD
Setelah hierarki ketakutan disusun dan subyek telah berlatih relaksasi secara mendalam, berikut ini akan disampaikan langkah-langkah dalam melaksanakan SSD :
1. Gunakan tempat yang tenang, privat, bebas dari suara-suara dari luar
2. Letakkan kartu-kartu dalam posisi tertelungkup, disusun berdasarkan urutan hireraki dimana hiaerarki yang paling rendah menimbulkan kecemasan diletakkan paling atas. Letakkan kartu-kartu di sisi yang mudah dijangkau saat subyek berbaring.
3. Melakukan relaksasi sampai dalam keadaan benar-benar rileks
4. Ambil kartu dari tumpukan yang paling atas, subyek diminta membaca situasi nya, kemudian diminta membayangkan dengan mata tertutup situasi tersebut seolah-olah dalam situasi nyata. Setelah kira-kira 10 detik subyek diminta untuk meletakkan kartu tersebut di tempat yang terpisah; masih dalam keadaan mata tertutup; kemudian diminta untuk tetap rileks secara total selama lebih kurang 30 detik. Selama rileks total ini subyek diminta melupakan situasi (scene) yang dibayangkan tadi dan hanya diminta rileks secara mendalam atau total.
5. Mengulangi prosedur diatas sekali lagi. Jika setelah ini subyek mampu membayangkan scene-nya sama atau kurang dari 5 suds, dapat berlanjut ke kartu ke-2 Apabila lebih dari 5 suds diminta untuk mengulang kembali satu atau dua kali lagi hingga angka yang diperoleh sama atau kurang dari 5 suds. Sebelum memulai ke kartu berikutnya, keadaan rileks perlu dikondisikan sekitar 2 menit.
6. Jika mengalami kesulitan saat membayangkan subyek diminta untuk meletakkan kartu dan difokuskan untuk rileks lebih dulu secara mendalam atau total, baru aktivitas membayangkan tadi diulang kembali.
7. Membayangkan suatu scene dapat dilakukan secara mundur apabila subyek tidak berhasil rileks saat membayangkan suatu scene dan setelah langkah pada nomor 6 di atas tidak pula berhasil.
8. Jika belum berhasil pula, item-item dalam hierarki tersebut perlu dikoreksi.
9. Pada umumnya, jumlah item yang dipresentasikan untuk dibayangkan berkisar 1 hingga 4 item tiap sesi.
10. Setiap sesi hendaknya dimulai dari item terakhir yang telah sukses dibayangkan dari sesi sebelumnya
11. Setiap sesi hendaknya tidak lebih dari 20 menit. Sesi diadakan sebanyak-banyaknya 2 kali per hari dan sekurang-kurangnya satu kali seminggu.

Read More......

DANCE MOVEMENT PSYCHOTHERAPY?

Gerakan Tari Psikoterapi (juga dikenal sebagai Gerakan Tari Terapi atau Tari Terapi) adalah terapi gerakan berbasis di mana hubungan klien-terapis memainkan peran sentral. Asosiasi profesional untuk Tari Gerakan Terapi (akan berganti nama Asosiasi Tari Gerakan Psikoterapi Inggris pada musim semi 2008) mendefinisikan lapangan sebagai: 'penggunaan psikoterapi gerakan dan tari melalui mana seseorang dapat terlibat dalam proses kreatif untuk lebih lanjut mereka emosional, kognitif , fisik dan sosial integrasi '(ADMT Inggris, 2007 p 1). Gerakan Tari Psikoterapi didasarkan pada prinsip bahwa gerakan mencerminkan pola individu berpikir, perasaan dan berkomunikasi. Melalui mengakui dan mendukung gerakan klien, Dance Gerakan praktisi Psikoterapi mendorong pengembangan dan integrasi baru pola pergerakan adaptif bersama dengan pengalaman emosional dan relasional yang menyertai perubahan tersebut.

Sedangkan penggunaan tari sebagai seni penyembuhan adalah sejarah, profesi ini dipengaruhi oleh teori-teori psikologi kontemporer, praktek psikoterapi dan terapi, tradisi multi-budaya di tari, bodywork dan pengembangan spiritual. Gerakan Tari Psikoterapi terus diinformasikan oleh praktek penelitian studies.The nasional dan internasional Gerakan Tari Psikoterapi dibatasi untuk praktisi terdaftar. Persyaratan untuk pendaftaran sebagai cocok untuk praktek diawasi oleh ADMT Inggris. Badan ini bertanggung jawab untuk praktek yang aman Gerakan Tari Psikoterapi melalui kode etik diterbitkan dan prinsip-prinsip praktik profesional. (Catatan: ADMT Inggris telah berhasil diterapkan pada profesi Kesehatan Dewan untuk pendaftaran dan saat ini menunggu amandemen dari Undang-Undang Profesi Kesehatan) Gerakan Tari Psikoterapi dipraktikkan dengan individu dan kelompok, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, penjara, pelayanan sosial dan masyarakat lainnya. berbasis pengaturan (misalnya organisasi-organisasi sukarela dan swasta). terdaftar praktisi senior juga bekerja di practice.Dance swasta Gerakan Psikoterapi diberikan kepada berbagai klien dari segala usia. Ini adalah modalitas pengobatan untuk orang-orang yang secara emosional tertekan, yang mengalami penyakit fisik atau mental, dan bagi mereka dengan gangguan fisik dan / atau kognitif serta orang-orang yang mencari pertumbuhan pribadi.

Ada sejumlah studi yang memberikan bukti efektivitas Dance Gerakan Psikoterapi untuk beragam gejala. Telah terbukti mengurangi kecemasan, dan meningkatkan konsep diri, self-efficacy, imajinasi dan kesadaran tubuh. studi penelitian lain telah terkonsentrasi pada populasi tertentu termasuk klien dengan skizofrenia, ketidakmampuan belajar, penyakit depresi, Parkinson dan selamat dari pelecehan seksual dengan hasil positif yang serupa.

Read More......

A Perspective on Cognitive Behavioral Therapy

Cognitive-behavioral therapy (CBT) is a type of counseling aimed at teaching the client how to become healthier and experience a more satisfying, fulfilling lifestyle by modifying certain thought and behavior patterns. It is based on the theory that thought and behavior can affect a person’s symptoms and be an obstacle to recovery. CBT can be helpful in treating a variety of problems, including depression, anxiety and panic disorders, dealing with life event such as: death, divorce, disability, unemployment, issues with children and mounting stress.

In CBT, the therapist and client work together to identify and change negative thinking and behavior patterns that may contribute to emotional and/or physical illness. The focus in therapy is to alter and change these thoughts or self-talks which express one’s beliefs and perceptions. Cognitive approaches focus on replacing one thought, belief, or form of self-talk with another (e.g. My life is miserable to I have purpose in life). Therapy also focuses on teaching the client more positive ways of thinking about and coping with not only illness but also life events and relationships.
To Provide a Simple Definition: Cognitive Counseling focuses on Monitoring and Managing your thinking patterns. This counseling would focus on reducing negative thinking and changing the content of thoughts so that it results in more positive emotions. Behavioral Counseling focuses on what actions the client takes, what rewards are in place that encourages the client to act a certain way and what unpleasant consequences prevent the client from behaving in other ways.
The process of CBT helps the client identify and correct specific errors in what he or she is thinking that results in painful and negative feelings. These distorted thoughts influence the client on an emotional and behavioral level. In treating a person who is experiencing psychological difficulties, I find that the most effective point of intervention is at the level of the person’s thoughts that are causing pain. If changes are made in thinking process, (e.g. assumptions, beliefs, values) changes in emotions and behavior will follow. I utilize various behavioral techniques and strategies as needed to enhance the treatment outcome (e.g., anger management, meditation, relaxation training, and assertiveness training). Unlike many traditional counseling processes, CBT focus on outcomes and goals. Results include a briefer counseling process in which the client experiences relatively rapid relief and enduring progress.
CBT is a simple model and has proven to be a powerful and successful type of psychological treatment in outcome studies conducted over the past several decades. Currently enjoying widespread popularity, CBT is practiced by many qualified professionals throughout the United States and internationally. I believe this type of counseling is most effective in dealing with individuals who are bright, rational and desire to have passion and enjoyment in their life. It is my opinion that this counseling does not work with individuals who want to stay in a victim role or spend their time blaming others for what’s not going right in their life. It takes courage and a willingness to say, “Whatever happened to me before I couldn’t do anything about, it is as it is, but now I am responsible for how I react to what has happened to me, what is happening to me and how I want to continue living my life.” The work, the effort, the fortitude of my clients continues to amaze and humble me—even after all of these years.

History:
CBT can be traced to early pioneers of psychology, but cognitive counseling, as it is practiced today was developed in the fifties and sixties. Throughout the seventies, the cognitive and behavioral schools were joined by thinkers and practitioners into cognitive-behavioral counseling. Beginning in the eighties and continuing through today, there has been a growing interest in cognitive-behavioral counseling because of its proven effectiveness and because this form of treatment can be administered in a briefer amount of time than traditional psychoanalysis or psychotherapy. For example, Dr. Phil is a cognitive behavioral therapist. Of course, he doesn’t provide treatment during his successful TV show, but only identifies the problem and sometimes presents therapy options (even offering to pay for them) to his guests.

Process:
CBT, the therapy process takes many forms. In fact, there are at least 60 variations depending on who you talk to. If you are doing TRADITIONAL cognitive-behavioral work, you do a lot of writing. The writing involves recording thoughts and counting behaviors, scaling emotions (e.g. on a scale of 1 to 100, where 1 is completely calm and 100 is out-of-control angry, where are you on this scale?), labeling categories of thoughts or behaviors, and writing alternative ways of thinking. I realize that cognitive-behavioral counseling is research proven; however, the rigidity of a strictly traditional method doesn’t work for me or my clients. Yes, my clients do a lot of writing, journaling, taking their thoughts from their mind and concretizing them on paper, setting clear goals and outcomes—they do that, but every client will resonate to their own method of working through the process and I must and will stay flexible to what works for them.

My focus in the counseling process includes:
• Assisting a client in recognizing, analyzing and managing their beliefs
• Allowing the client to rely on his or her memory, and validate that memory
• Placing a large emphasis on the client’s belief in who they are and what their purpose and place is in this world
• Keeping the focus on increasing “satisfaction with life” rather than on decreasing negative emotions
• Teach, Educate, Teach—-giving them the opportunity to re-examine what they have been told (e.g., “you aren’t going to amount to much”) to what in reality is true about themselves
• Identifying and practicing skills (e.g., including goal-setting and problem-solving)
• Continuing to do this work on a long term basis after the counseling process is over

Read More......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com