Monday, November 8, 2010

BEBERAPA SUDUT PANDANG TEORITIS & TREATMENT GANGGUAN KEPRIBADIAN

Berikut ini akan dijelaskan lima buah sudut pandang teoritis untuk membahas penyebab
gangguan kepribadian.
a. Perspektif Psikoanalisa.
Teori Freudian berfokus pada masalah yang muncul dari Oedipus complex sebagai dasar
dari banyak perilaku abnormal, termasuk gangguan kepribadian. Anak – anak normalnya dapat mengatasi Oedipus Complex dengan mengabaikan keinginan inses pada orang tua yang berbeda gender dan mengidentifikasi diri dengan orang tua dari gender yang sama.

Berdasarkan hipotesis Hans Kohut, gangguan kepribadian narsistik terbentuk sebagai
mekanisme pertahanan diri dari kegagalan orang tua untuk merespon anaknya dengan
penghargaan, kehangatan, kasih sayang dan empati.
Otto Kernberg, memandang kepribadian ambang dalam kaitannya dengan kegagalan
periode pra – Oedipal untuk mengembangkan rasa konstan dan kesatuan dalam citra
mengenai self dan orang lain.
Margaret Mahler, menjelaskan gangguan kepribadian ambang dalam kaitannya dengan
pemisahan dari figur ibu di masa kanak – kanak. Normalnya, secara perlahan anak akan
membedakan identitas atau sense of self mereka sendiri dari identitas si ibu. Proses ini
disebut sebagai pemisahan-individuasi (separation-individuation). Pemisahan adalah proses mengembangkan identitas psikologis dan biologis yang berbeda dari ibu.
Berdasarkan dari penjelasan para teoritikus, sudut pandang psikoanalisa berusaha mencari asal muasal gangguan kepribadian dari hubungan masa anak – anak dengan
perkembangan selajutnya. Adanya penyiksaan dari orang tau pada masa kanak – kanak
membuat pasien (individual dengan gangguan kepribadian) memandang seluruh
lingkungannya sebagai mengancam dan jahat. Hubungan ini menunjukkan bahwa kegagalan dalam membentuk hubungan yang erat dengan orang tua pada masa anak – anak memainkan peran kritis dalam perkembangan dari sejumlah pola kepribadian maladaptif yang
digolongkan sebagai gangguan kepribadian.
b. Perspektif Belajar (Behavioral)
Teoritikus belajar cenderung lebih berfokus kepada pencapaian perilaku dibanding pada
pandangan akan trait kepribadian yang abadi. Teoritikus belajar mengatakan bahwa pada masa kanak – kanak banyak terjadi pengalaman penting yang membentuk perkembangan kebiasaan maladaptif dalam berhubungan dengan orang lain yang menyebabkan terjadinya gangguan kepribadian.
Millon menyatakan bahwa gangguan kepribadian histrionic mungkin berakar pada
pengalaman masa kanak-kanak di mana social reinforcers, seperti perhatian orang tua,
terhubung dengan penampilan dan keinginan anak untuk tampil di depan orang lain, terutama dalam kasus di mana reinforcers diberikan secara tidak konsisten. Perhatian yang tidak konsisten mengajarkan anak untuk tidak menerima persetujuan begitu saja dan untuk berjuang terus demi mendapatkannya.
Teoritikus social – kognitif menekankan peranr e in fo r c e m e n t dalam menjelaskan asal mula dari perilaku antisosial. Karena orang lain me-reinforce mereka dengan pujian saatmereka berlaku baik dan menghukum mereka untuk kelakuan yang salah. Reinforcement dan
hukuman menyediakan umpan balik (informasi tentang harapan sosial) yang membantu anak
memodifikasi perilaku mereka untuk memaksimalkan kesempatan mendapatr e w a r d dan
meminimalkan resikoh u k u m a n di masa yang akan datang. Sebagai konsekuensinya anak
menjadi terisolasi hingga parahnya menjadi individu yang antisosial.
Teoritikus social-kognitif Albert Bandura mempelajari peran belajar observasional dalan
perilaku antisosial. Anak menguasai ketrampilan, termasuk ketrampilan agresif, melalui
pengamatan terhadap perilaku orang lain. Psikolog social-kognitif menunjukkan bahwa cara
orang dengan gangguan kepribadian menginterpretasi pengalaman social mereka
mempengaruhi perilaku mereka. Misal : remaja yang antisosial cenderung
menginterpretasikan perilaku orang lain sebagai perilaku yang mengancam.
Jadi menurut pendekatan ini, gangguan kepribadian muncul karena terganggunya
kemampuan individu untuk mempelajari sesuatu. Individu tersebut tidak berhasil
mempelajari pola bahwa mereka sebaiknya menghindari stimulus yang tidak menyenangkan
(hukuman).
c. Perspektif Keluarga
Perspektif Keluarga memfokuskan diri pada pola asuh orang tua yang tidak adekuat dan
dapat menimbulkan stress pada anak – anak. Hal itu dapat membuat individu rentan terkena
gangguan kepribadian. Sebagai contoh, orang tua yang menyiksa anaknya, menolak atau
menelantarkan anak mereka, serta pola asuh yang inkosisten dan tidak adekuat meningkatan
resiko terjadinya gangguan kepribadian antisosial setelah anak tersebut dewasa.
Anak – anak yang ditolak atau diabaikan orang tua mereka tidak mengembangkan
perasaan kelekatan hangat pada orang lain. Mereka menjadi kurang berempati pada orang
lain, dan malah mengembangkan sikap tidak peduli pada orang lain.
Meski factor keluarga berpengaruh pada sejumlah kasus gangguan kepribadian
antisosial, banyak anak – anak yang diabaikan yang tidak menunjukkan perilaku antisosial
atau perilaku abnormal lainnya di kemudian hari.
d. Perspektif Biologis.
Faktor Genetis
Melihat bahwa terjadinya gangguan kepribadian lenih karena faktor genetik, diturunkan dari
orang tuanya. Asumsi ini paling jelas ditunjukkan oleh individu-individu yang mengalami
gangguan kepribadian skizotipal. Selain itu ditemukan pula bahwa system saraf pada individu

dengan gangguan kepribadian antisosial berbeda dengan individu yang tidak memiliki
gangguan tersebut.
Kurangnya Respons Emosional
Orang dengan kepribadian antisosial dapat menjaga ketenangan mereka dalam situasi yang
penuh tekanan yang akan menyababkan kecemasan pada kebanyakan orang. Penelitian lain
pada umumnya mendukung pandangan bahwa orang dengan kepribadian antisosial umumnya
kurang terangsang daripada orang lain, baik dalam waktu istirahat maupun dalam situasi di
mana mereka menghadapi tekanan (Fowles, 1993).
Model Lapar-akan Stimulasi
Individu psikopati tampak memiliki rasa lapar yang berlebihan akan stimuli. Mereka
memerlukan ambang stimulasi di atas normal untuk menjaga kondisi keterangsangan
optimum. Sehingga, mereka memerlukan stimulasi yang lebih banyak daripada orang lain
untuk menjaga minat atau fungsi secara normal.
Abnormalitas Otak
Banyak orang dengan gangguan kepribadian antisosial dipengaruhi abnormalitas otak yang
mendasar. Abnormalitas otak dapt membantu menjelaskan beberapa ciri gangguan
kepribadian. Misal menggunakan teknik pencitraan otak yang canggih menghubungkan
antara gangguang kepribadian antisosial dan abnormalitas pada korteks prafrontal dari lubus
frontal. Oleh karena itu, salah satu penanganan yang dilakukan adalah dengan memberikan
obat – obatan.
e. Perspektif Sosiokoltural
Perspektif sosiokultural menelaah kondisi social yang dapat berkontribusi pada
perkembangan pola perilaku yang diidentifikasi sebagai gangguan kepribadian. Kita perlu
mencari tahu peran dari stressor yang dialami individu dalam pembentukan pola perilaku.
Banyak lingkungan yang didalamnya penuh dengan masalah social seperti kemiskinan,
alkohol, seks bebas, penyalahgunaan obat terlarang. Masalah sosial tersebut dapat mendorong
individu menjadikan hal tersebut sebagai panutan yang menyimpang.










TREATMENT
Ada banyak potensi sebagai penyebab gangguan kepribadian karena ada orang yang
menderita dari mereka. Mereka dapat disebabkan oleh kombinasi asuhan orangtua,
kepribadian seseorang dan pembangunan sosial, serta faktor genetik dan biologis. Penelitian
telah menyebabkan tidak dipersempit untuk faktor apapun saat ini. Kita tahu, bagaimanapun,
bahwa gangguan ini akan paling sering memanifestasikan dirinya pada saat peningkatan stres
dan kesulitan interpersonal dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu, perawatan yang
paling sering berfokus pada peningkatan mekanisme seseorang mengatasi dan keterampilan
interpersonal.
Berikut ini akan dijelaskan sudut pandang untuk membahas penanganan terhadap gangguan
kepribadian :
a. Pendekatan Psikodinamika
Berdasarkan sudut pandang ini, penanganan bagi individu dengan gangguan
kepribadian adalah dengan menemukan asal mula penyebab masalah, serta
memeberikan dukungan dan bimbingan yang diperlukan individu untuk keluar dari
masalahnya.
Penanganan tersebut menekankan pada perilaku interpersonal dan menggunakan gaya
yang lebih aktif dan konfrontatif dalam mengatasi pertahanan klien daripada kasus
psikoanalisis tradisional.
b. Pendekatan Behavioral
Banyak penelitian behavioral menuturkan bahwa individu dengan gangguan tersebut
tidak berhasil mempelajari pola bahwa mereka sebaiknya menghindari stimulus yang
tidak menyenangkan.
Penanganan gangguan kepribadian yang dianjurkan adalah dengan mengidentifikasi
dan memperbaiki ketrampilan ataupun kemampuan individu yang tidak memadai atau
lemah.
Terapis perilaku memandang tugas mereka adalah mengubah perilaku klien dan
bukan mengubah struktur kepribadian mereka.
Terapis perilaku berfokus pada usaha untuk merubah perilaku maladaptif menjadi
perilaku adaptif melalui penggunaan teknik seperti pemusnahan, modeling, dan
reinforcement.
c. Pendekatan Biologis
Obat antidepresan atau antikecemasan kadang digunakan untuk menangani distress
emosional yang dialami individu penderita gangguan kepribadian. Obat tidak
mengubah pola persisten dari perilaku maladaptif yang dapat menyebabkan distress.
Peneliti menduga bahwa perilaku implusif dan agresif berhubungan dengan
kekurangan serotonin. Prozac dan obat lain yang serupa bekerja untuk meningkatkan
ketersediaan serotonin dalam sambungan sinaptik di otak.
Oleh karena itu, salah satu penanganan yang dilakukan adalah dengan memberikan
obat – obatan.
d. Pendekatan Keluarga
Penanganan yang disarankan dari sudut pandang ini adalah dengan mengidenfikasi
dan memperbaiki ketrampilan ataupun kemampuan individu yang tidak memadai
ataupun lemah.

Read More......

Sunday, November 7, 2010

TES FACT (FLANAGAN APTITUDE CLASIFICATION TEST)

FACT disusun oleh J.c Flanagan, seseorang professor psikologi pada Universitas Pittsburgh dan direktur American Institute for Research. Tes ini dikembangkan dalam usaha untuk mendapatkan suatu system klasifikasi baku dalam penentuan bakat dan kemampuan dasar seseorang pada tugas-tugas tertentu. Dikembangkan untuk mendapatkan suatu sistem klasifikasi baku dalam penentuan bakat dan kemampuan dasar seseorang dalam tugas tertentu. Fact Merupakan seperangkat tes yang terdiri atas 14 tes yang dapat dipergunakan secara keseluruhan atau sebagian-sebagain. Dikembangkan untuk mendapatkan suatu sistem klasifikasi baku dalam penentuan bakat dan kemampuan dasar seseorang dalam tugas tertentu.

Penggunaan tes ini digunakan untuk:
a. Alat bantu untuk memprediksi kerja dan perencanaan program latihan dalam rangka konseling pekerjaan dan
b. Alat seleksi dan penempatan karyawan.
c. Alat bantu memprediksi keberhasilan kerja
d. Untuk konseling pekerjaan
Tes FACT terdiri atas 14 item soal, dapat digunakan keseluruhan atau sebagiannya saja:
1. Inspection
Mengukur kemampuan seseorang untuk meneliti adanya ketidaksempurnaan dari sebuah benda secara tepat dan teliti.
2. Coding
Mengukur kemampuan untuk memahami kode-kode yang diberikan, kemudian menggunakan kode itu dalam tugas yang sesungguhnya.
3. Memory
Mengingat kembali kode yang telah dipelajari dalam coding.
4. Precission
Mengukur kecepatan dan ketepatan untuk membuat tingkat-tingkat kecil dengan menggunakan satu tangan atau dua tangan bersama-sama
5. Assembly
Untuk mengukur kemampuan seseorang di dalam melihat sesuatu bentuk benda apabila bagian-bagian benda itu disusun sesuai dengan instruksi.
6. Scales
Mengukur kecepatan dan ketelitian untuk membaca scala dan grafik.
7. Coordination
Yaitu koordinasi gerakan tangan dan lengan dan untuk mengadakan kontrol terhadap gerakan yang terus menerus mengikuti suatu arah.
8. judgment and Comprehension
Mengukur sesuatu melalui yang dibaca, kemudian untuk berfikir secara logis dan mengadakan penilaian secara praktis.
9. Arithmatic
Mengukur kecakapan bekerja dengan angka-angka secara cepat dan tepat.
10. Patterns
Kemampuan mengutip pola-pola baik dalam posisi yang sama maupun terbalik.
11. Compenents
Kemampuan untuk mengetahui bagian benda yang ada di dalam suatu keseluruhan benda.
12. Tables
Kecepatan dan ketelitian membaca tabel dari angka dan huruf.
13. Mechanics
Kemampuan untuk memahami prinsip-prinsip mekanika dan menganalisa gerakan-gerakan mekanis.
14. Expression
Diungkap mengenai pengetahuan bahasa terutama menyusun bahasa.
FACT yang telah diadaptasi di Indonesia terdiri atas 8 tes:
1. Tes kode dan ingatan (D2)
2. Tes merakit objek (C1)
3. Tes skala dan grafik (C8)
4. Tes pemahaman (A1)
5. Tes mengutip (B4)
6. Tes komponen (C2)
7. Tes table (D3)
8. Tes ungkapan (A6)

Read More......

BEBERAPA SUDUT PANDANG TEORITIS & TREATMENT GANGGUAN KEPRIBADIAN

Berikut ini akan dijelaskan lima buah sudut pandang teoritis untuk membahas penyebab
gangguan kepribadian.
a. Perspektif Psikoanalisa.
Teori Freudian berfokus pada masalah yang muncul dari Oedipus complex sebagai dasar
dari banyak perilaku abnormal, termasuk gangguan kepribadian. Anak – anak normalnya dapat mengatasi Oedipus Complex dengan mengabaikan keinginan inses pada orang tua yang berbeda gender dan mengidentifikasi diri dengan orang tua dari gender yang sama.

Berdasarkan hipotesis Hans Kohut, gangguan kepribadian narsistik terbentuk sebagai
mekanisme pertahanan diri dari kegagalan orang tua untuk merespon anaknya dengan
penghargaan, kehangatan, kasih sayang dan empati.
Otto Kernberg, memandang kepribadian ambang dalam kaitannya dengan kegagalan
periode pra – Oedipal untuk mengembangkan rasa konstan dan kesatuan dalam citra
mengenai self dan orang lain.
Margaret Mahler, menjelaskan gangguan kepribadian ambang dalam kaitannya dengan
pemisahan dari figur ibu di masa kanak – kanak. Normalnya, secara perlahan anak akan
membedakan identitas atau sense of self mereka sendiri dari identitas si ibu. Proses ini
disebut sebagai pemisahan-individuasi (separation-individuation). Pemisahan adalah proses mengembangkan identitas psikologis dan biologis yang berbeda dari ibu.
Berdasarkan dari penjelasan para teoritikus, sudut pandang psikoanalisa berusaha mencari asal muasal gangguan kepribadian dari hubungan masa anak – anak dengan
perkembangan selajutnya. Adanya penyiksaan dari orang tau pada masa kanak – kanak
membuat pasien (individual dengan gangguan kepribadian) memandang seluruh
lingkungannya sebagai mengancam dan jahat. Hubungan ini menunjukkan bahwa kegagalan dalam membentuk hubungan yang erat dengan orang tua pada masa anak – anak memainkan peran kritis dalam perkembangan dari sejumlah pola kepribadian maladaptif yang
digolongkan sebagai gangguan kepribadian.
b. Perspektif Belajar (Behavioral)
Teoritikus belajar cenderung lebih berfokus kepada pencapaian perilaku dibanding pada
pandangan akan trait kepribadian yang abadi. Teoritikus belajar mengatakan bahwa pada masa kanak – kanak banyak terjadi pengalaman penting yang membentuk perkembangan kebiasaan maladaptif dalam berhubungan dengan orang lain yang menyebabkan terjadinya gangguan kepribadian.
Millon menyatakan bahwa gangguan kepribadian histrionic mungkin berakar pada
pengalaman masa kanak-kanak di mana social reinforcers, seperti perhatian orang tua,
terhubung dengan penampilan dan keinginan anak untuk tampil di depan orang lain, terutama dalam kasus di mana reinforcers diberikan secara tidak konsisten. Perhatian yang tidak konsisten mengajarkan anak untuk tidak menerima persetujuan begitu saja dan untuk berjuang terus demi mendapatkannya.
Teoritikus social – kognitif menekankan peranr e in fo r c e m e n t dalam menjelaskan asal mula dari perilaku antisosial. Karena orang lain me-reinforce mereka dengan pujian saatmereka berlaku baik dan menghukum mereka untuk kelakuan yang salah. Reinforcement dan
hukuman menyediakan umpan balik (informasi tentang harapan sosial) yang membantu anak
memodifikasi perilaku mereka untuk memaksimalkan kesempatan mendapatr e w a r d dan
meminimalkan resikoh u k u m a n di masa yang akan datang. Sebagai konsekuensinya anak
menjadi terisolasi hingga parahnya menjadi individu yang antisosial.
Teoritikus social-kognitif Albert Bandura mempelajari peran belajar observasional dalan
perilaku antisosial. Anak menguasai ketrampilan, termasuk ketrampilan agresif, melalui
pengamatan terhadap perilaku orang lain. Psikolog social-kognitif menunjukkan bahwa cara
orang dengan gangguan kepribadian menginterpretasi pengalaman social mereka
mempengaruhi perilaku mereka. Misal : remaja yang antisosial cenderung
menginterpretasikan perilaku orang lain sebagai perilaku yang mengancam.
Jadi menurut pendekatan ini, gangguan kepribadian muncul karena terganggunya
kemampuan individu untuk mempelajari sesuatu. Individu tersebut tidak berhasil
mempelajari pola bahwa mereka sebaiknya menghindari stimulus yang tidak menyenangkan
(hukuman).
c. Perspektif Keluarga
Perspektif Keluarga memfokuskan diri pada pola asuh orang tua yang tidak adekuat dan
dapat menimbulkan stress pada anak – anak. Hal itu dapat membuat individu rentan terkena
gangguan kepribadian. Sebagai contoh, orang tua yang menyiksa anaknya, menolak atau
menelantarkan anak mereka, serta pola asuh yang inkosisten dan tidak adekuat meningkatan
resiko terjadinya gangguan kepribadian antisosial setelah anak tersebut dewasa.
Anak – anak yang ditolak atau diabaikan orang tua mereka tidak mengembangkan
perasaan kelekatan hangat pada orang lain. Mereka menjadi kurang berempati pada orang
lain, dan malah mengembangkan sikap tidak peduli pada orang lain.
Meski factor keluarga berpengaruh pada sejumlah kasus gangguan kepribadian
antisosial, banyak anak – anak yang diabaikan yang tidak menunjukkan perilaku antisosial
atau perilaku abnormal lainnya di kemudian hari.
d. Perspektif Biologis.
Faktor Genetis
Melihat bahwa terjadinya gangguan kepribadian lenih karena faktor genetik, diturunkan dari
orang tuanya. Asumsi ini paling jelas ditunjukkan oleh individu-individu yang mengalami
gangguan kepribadian skizotipal. Selain itu ditemukan pula bahwa system saraf pada individu

dengan gangguan kepribadian antisosial berbeda dengan individu yang tidak memiliki
gangguan tersebut.
Kurangnya Respons Emosional
Orang dengan kepribadian antisosial dapat menjaga ketenangan mereka dalam situasi yang
penuh tekanan yang akan menyababkan kecemasan pada kebanyakan orang. Penelitian lain
pada umumnya mendukung pandangan bahwa orang dengan kepribadian antisosial umumnya
kurang terangsang daripada orang lain, baik dalam waktu istirahat maupun dalam situasi di
mana mereka menghadapi tekanan (Fowles, 1993).
Model Lapar-akan Stimulasi
Individu psikopati tampak memiliki rasa lapar yang berlebihan akan stimuli. Mereka
memerlukan ambang stimulasi di atas normal untuk menjaga kondisi keterangsangan
optimum. Sehingga, mereka memerlukan stimulasi yang lebih banyak daripada orang lain
untuk menjaga minat atau fungsi secara normal.
Abnormalitas Otak
Banyak orang dengan gangguan kepribadian antisosial dipengaruhi abnormalitas otak yang
mendasar. Abnormalitas otak dapt membantu menjelaskan beberapa ciri gangguan
kepribadian. Misal menggunakan teknik pencitraan otak yang canggih menghubungkan
antara gangguang kepribadian antisosial dan abnormalitas pada korteks prafrontal dari lubus
frontal. Oleh karena itu, salah satu penanganan yang dilakukan adalah dengan memberikan
obat – obatan.
e. Perspektif Sosiokoltural
Perspektif sosiokultural menelaah kondisi social yang dapat berkontribusi pada
perkembangan pola perilaku yang diidentifikasi sebagai gangguan kepribadian. Kita perlu
mencari tahu peran dari stressor yang dialami individu dalam pembentukan pola perilaku.
Banyak lingkungan yang didalamnya penuh dengan masalah social seperti kemiskinan,
alkohol, seks bebas, penyalahgunaan obat terlarang. Masalah sosial tersebut dapat mendorong
individu menjadikan hal tersebut sebagai panutan yang menyimpang.










TREATMENT
Ada banyak potensi sebagai penyebab gangguan kepribadian karena ada orang yang
menderita dari mereka. Mereka dapat disebabkan oleh kombinasi asuhan orangtua,
kepribadian seseorang dan pembangunan sosial, serta faktor genetik dan biologis. Penelitian
telah menyebabkan tidak dipersempit untuk faktor apapun saat ini. Kita tahu, bagaimanapun,
bahwa gangguan ini akan paling sering memanifestasikan dirinya pada saat peningkatan stres
dan kesulitan interpersonal dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu, perawatan yang
paling sering berfokus pada peningkatan mekanisme seseorang mengatasi dan keterampilan
interpersonal.
Berikut ini akan dijelaskan sudut pandang untuk membahas penanganan terhadap gangguan
kepribadian :
a. Pendekatan Psikodinamika
Berdasarkan sudut pandang ini, penanganan bagi individu dengan gangguan
kepribadian adalah dengan menemukan asal mula penyebab masalah, serta
memeberikan dukungan dan bimbingan yang diperlukan individu untuk keluar dari
masalahnya.
Penanganan tersebut menekankan pada perilaku interpersonal dan menggunakan gaya
yang lebih aktif dan konfrontatif dalam mengatasi pertahanan klien daripada kasus
psikoanalisis tradisional.
b. Pendekatan Behavioral
Banyak penelitian behavioral menuturkan bahwa individu dengan gangguan tersebut
tidak berhasil mempelajari pola bahwa mereka sebaiknya menghindari stimulus yang
tidak menyenangkan.
Penanganan gangguan kepribadian yang dianjurkan adalah dengan mengidentifikasi
dan memperbaiki ketrampilan ataupun kemampuan individu yang tidak memadai atau
lemah.
Terapis perilaku memandang tugas mereka adalah mengubah perilaku klien dan
bukan mengubah struktur kepribadian mereka.
Terapis perilaku berfokus pada usaha untuk merubah perilaku maladaptif menjadi
perilaku adaptif melalui penggunaan teknik seperti pemusnahan, modeling, dan
reinforcement.
c. Pendekatan Biologis
Obat antidepresan atau antikecemasan kadang digunakan untuk menangani distress
emosional yang dialami individu penderita gangguan kepribadian. Obat tidak
mengubah pola persisten dari perilaku maladaptif yang dapat menyebabkan distress.
Peneliti menduga bahwa perilaku implusif dan agresif berhubungan dengan
kekurangan serotonin. Prozac dan obat lain yang serupa bekerja untuk meningkatkan
ketersediaan serotonin dalam sambungan sinaptik di otak.
Oleh karena itu, salah satu penanganan yang dilakukan adalah dengan memberikan
obat – obatan.
d. Pendekatan Keluarga
Penanganan yang disarankan dari sudut pandang ini adalah dengan mengidenfikasi
dan memperbaiki ketrampilan ataupun kemampuan individu yang tidak memadai
ataupun lemah.

Read More......

OBSERVASI

Observasi barangkali menjadi metode paling dasar dan paling tua dalam sebuah penelitian, karena dalam cara-cara tertentu kita selalu terlibat dalam proses mengamati. Beberapa penelitian baik itu kualitatif maupun kuantitif mengandung observasi di dalamnya.
Istilah observasi berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘MELIHAT’ dan ‘MEMPERHATIKAN’. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi seringkali menjadi bagian dalam penelitian dalam berbagai disiplin ilmu baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu sosial, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperiental) maupun alamiah.

Observasi yang berarti mengamati bertujuan untuk mendapat data tentang suatu masalah sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat rechecking, atau pembuktian terhadap informasi/keterangan yang diperoleh sebelumnya.
Justru karena observasi selalu terlibat dalam proses pengambilan data, observasi kadang dianggap dapat dilakukan oleh siapapun, tidak perlu dibahas secara khusus. Karena kedapatannya dengan suasana kehidupan sehari-hari (selama masih hidup, sadar maupun tidak, semua orang melakukan observasi), observasi terkadang diangap sebagi metode yang kurang ilmiah. Setiap individu dapat memiliki persepsi yang sangat berbeda mengenaisuatu fenomena yang sama. Apa yang dilihat seseorang sangat tergantung pada minat, bias-bias dan latar belakang mereka. Oleh karena itu, menurut Patton Bahwa persepsi selektif pada manusia menyebabkan munculnya keragu-raguan terhadap validitas dan reliabilitas observasi sebagai suatu metode pengumpulan data yang ilmiah. Menanggapi keragu-raguan tersebut Patton mengingatkan bahwa persepsi selektif yang mewarnai bias-bias dan minat pribadi tersebut sesungguhnya terjadi pada kebanyakan orang awam yang memang tidak terlatih. Agar memberikan data yang akurat dan bermanfaat, observasi sebagai metode ilmiah harus dilakukan oleh peneliti yang sudah melewati latihan-latihan memadai, serta telah mengadakan persiapan yang teliti dan lengkap.
Latihan observasi mencakup belajar mengadakan observasi secara umum pada konteks atau subjek yang dipilih, maupun mengadakan observasi dengan fokus-fokus khusus. Peneliti juga perlu berlatih begaimana menuliskan hasil observasi secara deskriptif, dan mengembangkan kedisiplinan mencatatat kejadian lapangan secara lengkap dan menditail. Peneliti seyogyanya dapat menentukan kapan perlu dan harus menulis secara detail, dan membedakannya dari upaya mencatat semua hal yang tidak perlu secara berlebihan. Tanpa keterampilan demikian, peneliti akan mengalami kebingungan, terbebani oleh banyaknya hal yang terlibat dalam proses observasi tanpa dapat memilih secara tepat apa yang harus dilaporkan.
Sebagai metode ilmiah observasi bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam arti yang luas observasi sebanarnya tidak hanya terbatas kepada pengamatan yang dilakukan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pengamatan yang tidak langsung misalnya melalui quesionere dan tes.
Menurut Jehoda, observasi dapat menjadi alat penyelidikan ilmiah, apabila:
1. Mengabdi kepada tujuan-tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
2. Direncanakan secara sistematik, bukan terjadi secara tidak teratur.
3. Dicatat dan dihubungkan secara sistematik dengan proporsi-proporsi yang lebih umum, tidak hanya dilakukan untuk memenuhi rasa ingin tahu semata-mata.
4. Dapat di cek dan dikontrol validitas, relibilitas, dan ketelitiannya sebagaimana data ilmiah lainnya.
TUJUAN OBSERVASI
Pada dasarnya observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus kuat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan.
Patton (1990) mengatakan bahwa data hasil observasi menjadi penting, karena :
1. Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks dalam hal yang diteliti ada atau terjadi.
2. Observasi memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan daripada pembuktian, dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif. Dengan berada dalam situasi lapangan yang nyata, kecenderungan untuk dipengaruhi berbagai konseptualis (yang ada sebelumnya) tentang topic yang diamati akan berkurang.
3. Mengingat individu yang telah sepenuhnya terlibat dalam konteks hidupnya seringkali mengalami kesulitan merefleksikan pemikiran mereka tentang pengalamannya, observasi memungkinkan peneliti melihat hal-hal yang oleh pertisipan atau subjek peneliti sendiri kurang disadari.
4. Observasi memungkinkan penelitian memperoleh data tentang hal-hal yang karena berbagai sebab tidak diungkap oleh subjek penelitian secara terbuka dalam wawancara.
5. Jawaban terhadap pertanyaan akan diwarnai oleh persepsi selektif individu yang diwawancara. Berbeda dengan wawancara, observasi memungkinkan peneliti bergerak lebih jauh dari persepsi selektif yang ditampilkan subjek penelitian atau pihak-pihak lain.
Observasi memungkinkan peneliti merefleksi dan bersikap introspektif terhadap penelitian yang dilakukannya. Impresi dan perasaan pengamat akan menjadi bagian dari data yang pada gilirannya dapat dimafaatkan untuk memahami fenomena yang diteliti.
Bagi psikolog, observasi perlu dilakukan karena bebarapa alasan:
1. Memungkinkan mengukur banyak perilaku yang tidak dapat diukur dengan menggunakan alat ukur psikologi yang lain (alat tes). Hal ini banyak terjadi pada anak-anak.
2. Prosedur testing formal seringkali tidak ditangapi serius oleh anak-anak sebagaimana orang dewasa, sehingga sering observasi menjadi metode pengukur utama.
3. Observasi dirasakan lebih tidak mengancam dibandingkan cara pengumpulan data yang lain. Pada anak-anak observasi menghasilkan informasi yang lebih akurat dibandingkan orang dewasa sebab orang dewasa akan memperlihatkan perilaku yang dibuat-buat bila merasa sedang diobservasi.
Oleh karena itu, tujuan observasi seorang psikolog pada dasarnya adalah:
1. Untuk keperluan asesmen awal. Dilakukan di luar ruang konseling, misalnya: ruang tunggu, halaman, ruang kelas, ruang bermain.
2. Untuk menentukan kelebihan dan kelemahan observe dan menggunakan kelebihan tersebut untuk meningkatkan kelemahan klien.
3. Untuk merancang rencana individual (individual plan) bagi klien berdasarkan kebutuhan.
4. Sebagai dasar/titik awal dari kemajuan klien. Dari beberapa kali pertemuan psikolog tahu kemajuan yang dicapai klien.
5. Bagi anak-anak. Untuk mengethui perkembangan anak pada tahap tertentu.
6. Untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan klien.
7. Digunakan dalam memberi laporan pada orang tua, guru, dokter, dll.
8. Sebagai informasi status anak/remaja (di sekolah) untuk keperluan bimbingan dan konseling.
TEKNIK OBSERVASI
A. DIMENSI OBSERVASI
Secara umum setiap observasi yang dilakukan tercakup dalam tiga dimensi, yaitu:
1. Partisipan dan Non partisipan.
2. Overt dan Covert.
3. Alamiah dan Buatan.
Dalam setiap observasi yang dilakukan selalu tercakup ketiga dimensi diatas, dengan berbagai kombinasi. Bisa Psrtisipan-Overt-Alamiah (poa), Non partisipan-Overt-Alamniah (noa), Partisipan-Covert-Buatan (pcb), dan lain sebagainya.
Patton menjelaskan berbagai alternatif cakupan dalam pendekatran observasi yang perlu dipertimbangkan dengan baik, yaitu:
1. Apakah pengamat berpartisipasi aktif dalam setting yang diamatinya ataukah ia menjadi pengamat pasif, dalam arti tidak terlibat dalam aktivitas yang diamatinya tersebut (partisipasi atau non partisipasi).
Pengamat yang partisipatif akan menggunakan strategi pendekatan lapangan yang beragam secara stimulant mengkombinasikan analisis dokumen, mewawancara responden dan informan, berpatisipasi langsung sekaligus mengamati, dan melakukan instrospeksi. Hal-hal tersebut tidak dilakukan peneliti yang melakukan observasi tidak terlibat (tidak partisipatif). Keputusan sejauh mana peneliti perlu terlibat dalam aktivitas yang diteliti tergantung pada banyak hal, antara lain sifat fenonema yang diteliti, konteks politis, maupun pertanyaan-pertanyaan penelitian.
Bila sebagian peneliti menyatakan keterlibatan aktif dalam konteks yang diamati merupakan cara paling ideal, Patton menganjurkan agar kita tidak perlu berpikir demikian. Yang paling penting adalah negosiasikan dan menyesuaikan derajat pertisipasi aktif peneliti dengan karekteristik subjek atau objek penelitian, sifat interaksi peneliti-subjek penelitian, maupun konteks sosial politik yang melingkupi fenomena yang diteliti. Dalam kasus-kasus tertentu, keterlibatan dan partisipasi aktif pengemat justru dapat memunculkan masalah dan mengganggu langkah-langkah pengumpulan data.
2. Apakah peneliti melakukan observasinya secara terbuka, ataukah secara tertutup/terselubung? (overt atau covert)
Diyakini bahwa manusia pada umumnya akan bertingkah laku berbeda bila tahu bahwa mereka diaamti. Sebaliknya, individu yang tidak menyadari bahwa ia sedang diamati akan bertingkah laku biasa (tidak dibuat-buat atau disesuaikan dengan harapan sosial). Karenanya sebagian peneliti berpendapat observasi yang tidak terbuka (covert) akan meyakinkan peneliti menangkap kejadian yang sesungguhnya daripada observasi terbuka.
Walaupun demikian, tinjauan etis mengungkapkan problema berbeda: apakah etis melakukan observasi sistematis tanpa memberi tahu dan meminta izin?
3. Apakah observasi perlu dilakukan dalam jangka waktu lama, atau cukup dalam waktu yang terbatas?
Dalam tradisi studi antropologi, observasi dapat berlangsung sangat lama, dilakukan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, dengan maksud agar peneliti dapat memeperoleh pemahaman holistic mengenai budaya kelompok yang ditelitinya.
Sementara, dalam studi ilmu sosial pada umumnya tujuan digunakannya observasi adalah untuk mengungkap kompleksitas dan pola-pola realitas sosial.
Untuk studi yang lebih praktis, waktu observasi yang terlalu lama tidak diperlukan, apalagi bila fenomena yang diteliti adalah fenomena spesifik yang berlangsung pada saat-saat tertentu saja. Dalam situasi yang demikian, yang penting adalah keberhasilan peneliti melakukan observasi terhadap fenomena khusus yang jarang terjadi tersebut.
4. Variasi berkenaan dengan focus observasi: fenomena utuh aspek-aspek khusus?
Ada observasi yang difokuskan pada fenomena utuh, dalam situasi seperti ini dibutuhkan pelatihan meluas pada semua aspek yang terlibat. Ada pula observasi yang sempit, misalnya dengan memfokuskan pada aspek-aspek atau elemen-elemen tertentu saja dari keseluruhan yang kompleks.
Sedangkan Banister menambahkan beberapa variasi pendekatan yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut, yaitu:
• Variasi dalam struktur observasi
Dapat bervariasi mulai dari observasi yang dilakukan secara sangat terstruktur dan mendetai sampai pada observasi yang tidak terstruktur.
• Variasi dalam fokus observasi
Dapat bervariasi mulai dari dikonsentrasikan secara sempit pada aspek-aspek tertentu saja (missal: bentuk komunikasi nonverbal tertentu saja) atau diarahkan secara luas pada berbagai aspek yang dianggap relevan.
• Variasi dalam metode dan sarana/instrument yang dilakukan untuk melakukan dan mencatat observasi.
Mulai dari tulisan tangan, penggunaan computer (note book), dipakainya lembar pengecek, stop watch, atau alat-alat yang lebih canggih seperti perekam suara dan gambar.
• Pemberian umpan balik.
Apakah umpan balik (perlu) diberikan kepada orang-orang yang diamati? Bila umpan balik dismapaikan, sejauh mana informasi akan disampaikan dan mengapa?
B. TEKNIK OBSERVASI
Ada tidak jenis pokok dalam observasi yang masing-masing umumnya cocok untuk keadaan-keadaan tertentu, yaitu: Observasi Partisipan-Observasi Nonpartisipan, Observasi Sistematik-Obserbasi Nonsistematik dan Observasi Eksperimental- Observasi Noneksperimental.
1. Observasi Partisipasi
Jenis teknik observasi partisipan umumnya digunakan orang untuk penelitian yang sifatnya eksploratif. Untuk menyelidiki satuan-satuan sosial yang besar seperti masyarakat suku bangsa kerap kali diperlukan observasi partisipan ini.
Suatu observasi disebut observasi partisipan jika orang yang mengadakan observasi (observer) turut ambil bagian dalam kehidupan observee.
Pengamatan partisipatif memungkinkan peneliti dapat berkomusikasi secara akrab dan leluasa dengan observee dan memungkinkan untuk bertanya secara lebih rinci dan getail terhadap hal-hal yang tidak akan dikemukakan dalam tida jenis observasi, yaitu:
a. Berpatisipasi secara lengkap.
Peneliti menjadi anggota penuh dari kelompok yang diamati sehingga peneliti mengetahui dan menghayati secara utuh dan mendalam sebagaimana yang dialami subjek yang diteliti lainnya.
b. Berpartisipasi secara fungsional.
Maksudnya peneliti sebenarnya bukan anggota asli kelompom yang diteliti melainkan dalam peristiwa-peristiwa tertentu bergabung dan berpartisipasi dengan subjek yang diteliti dalam kapasitas sebagai pengamat.
c. Berpartisipasi sebagai pengamat.
Maksudnya peneliti ikut berpartisipasi dengan kelompom subjek yang diteliti, tetapi hubungan antara peneliti dan subjek yang diteliti bersifat terbuka, tahu sama tahu, akrab, bahkan subjek yang diteliti sebagai sponsor penelitian itu sendiri, yang kepentingan penelitian tidak hanya bagi peneliti, melainkan juga subjek yang diteliti.
Beberapa persoalan pokok yang perlu mendapat perhatian secukupnya dari seorang partisipan observer adalah:
a. Materi Observasi
Persoalan tentang materi observasi sama sekali tidak dapat dilepaskan dari scope dan tujuan penelitian yang hendak diselenggarakan. Adalah perlu sekali observer memusatkan perhatiannya pada apa yang sudah dikerangkakan dalam pedoman observasi (observation guide) dan tidak terlalu insidental dalam observasi-observasinya.
Sungguhpun observer pertisipan mengikuti dan turut serta dalam kegiatan-kegiatan observee, namun masih perlu dibedakan mana persoalan yang penting dan tidak penting.
b. Waktu dan Bentuk Pencatatan
Masalah kapan dan bagaimana mengadakan pencatatan adalah masalah yang pelik dan penting bagi observasi partisipan. Sudah dapat dipastikan bahwa pencacatan dengan segera terhadap kejadian-kejadian dalam situasi interaksi adalah yang terbaik.
Pencatatan on the spot, akan mencegah pemalsuan ingatan karena terbatasnya ingatan. Sungguh pun begitu ada saat dimana pencatatan on the spot tidak dapat dilakukan, misalnya ketika situasi yang normal terganggu, ketika timbul rasa curiga pada observee, dan ketika observer kesulitan karena harus mencegah perhatiaannya untuk parisipasi, mengobservasi, dan mencatat secara bersama-sama.
Jika pencatatan on the spot tidak dilakukan, sedang kelangsungan situasi cukup lama, maka perlu dijalankan pencatatan dengan kata-kata kunci. Akan tetapi, pencatatan semacam ini pun harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak menarik perhatian dan tidak menimbulkan kecurigaan. Pencatatan dapat dilakukan misalnya pada kertas-kertas kecil atau pada kertas apapu yang kelihatannya tidak berarti.
Tiap-tiap pencatatan dapat mengambil dua bentuk:
a. Bentuk Kronologis, menurut urut-urutan kejadiannya.
b. Bentuk sistematik, yaitu memasukkan tiap-tiap kejadian dalam kategori-kategorinya masing-masing tanpa memperhatikan urutan kejadiannya.
Maisng-masing bentuk itu mempunyai kebaikan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Kebaikan bentuk yang pertama adalah bahwa konteks observasi masih dapat dipertahankan. Sedangkan kebaikan bentuk yang kedua adalah sekali jalan penyelidik sudah mempersiapkan penganalisaan data yang dicatat.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah memisahkan antara pendataan yang faktual dengan pencatatan yang interpretatif. Tidak jarang penyelidik secara tidak sadar mencatat suatu kejadian sebagai fakta, padahal sebenarnya adalah interpretasi. Ini dapat diketahui dengan mudah bila dua orang observer dari latar belakang yang berlainan mengkonfrontasikan pencatatan-pencatatan mereka. Oleh sebab itu ada baiknya jika pencatat memberikan kode-kode tertentu untuk dua jenis pencatatan itu, misalnya kode (1) untuk pencatatan jenis faktual dan kode (2) untuk pencatatan jenis interpretatif.
Pemisahan itu penting karena:
1. Untuk membedakan mana data yang otentik dan mana yang tidak.
2. Jika observasi dilakukan oleh suatu team, dalam penganalisaan data tidak banyak timbul kesulitan atau perselisihan paham.
Bagaimana mengusahakan, mengatur, dan memelihara hubungan antara observer dan observee selalu merupakan persoalan yang sangat pelik dalam observasi partisipan.
Pedoman minimal yang perlu dipegang teguh oleh penyelidik dalam hal ini adalah:
1. Mencegah adanya kecurigaan.
2. Mengadakan good rapport, dan
3. Menjaga agar situasi dalam masyarakat yang diselidiki tetap wajar.
Good rapport, yaitu hubungan antar pribadi yang ditandai oleh semangat kerjasama, saling mempercayai, saling tenggang rasa, sama derajad dan saling membantu secara harmonik antara observer dan observee, perlu diusahakan bukan saja dengan tokoh-tokoh kunci, tetapi juga dengan seluruh lapisan masyarakat ajang observasi.
Masalah lain yang juga perlu mendapat perhatian penyelidik yang menggunakan teknik observasi partisipan adalah memberikan “alasan” tentang kehadirannya yang dapat dimengerti dan diterima oleh anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan.
a. Intensi dan Ekstensi Partisipasi
Dalam hal luasnya partisiapasi tidaklah sama untuk semua penyelidikan dengan observasi partisipan ini. Penyelidik dapat mengambil partisipasi hanya pada beberapa kagiatan sosial (partial participation), dan dapat juga pada semua kegiatan (full participation). Dan dalam tiap-tiap kegiatan itu dia dapat turut serta sedalam-dalamnya (intensive participation) atau secara minimal (surface participation). Hal ini tergantung pada situasinya.
Dalam observasi partisipan observer berperan ganda yaitu sebagai pengamat sekaligus menjadi bagian dari yang diamati, sedangkan dalam observasi norpartisipan observer hanya memerankan diri sebagai pengamat. Perhatian peneliti terfokus pada bagaimana mengamati, merekam, memotret, mempelajari, dan mencatat tingkah laku atau fenomena yang teliti. Observasi nonpartisipan dapat bersifat tertutup dalam arti tidak diketahui oleh subyek yang diteliti ataupun terbuka yakni diketahui oleh subyek yang diteliti.
2. Obsevasi Sistematik
Observasi sistematik biasa disebut juga observasi berkerangka atau structured observation. Ciri pokok dari observasi ini adalah kerangka yang memuat faktor-faktor yang telah diatur kategorisasinya lebih dulu, dan ciri-ciri khusus dari tiap-tiap faktor dalam kategori-kategori itu.
a. Materi Observasi
Isi dan luas situasi yang akan diobservasi dalam observasi sistematik umumnya lebih terbatas. Sebagai alat untuk penyelidikan deskriptif, dia berlandaskan pada perumusan-perumusan yang lebih khusus. Wilayah atau scope observasinya sendiri telah lebih dahulu dibatasi dengan tegas sesuai dengan tujuan dari penelitian, bukan situasi kehidupan masyarakat seperti pada observasi partisipan yang umumnya digunakan dalam penelitian eksploratif.
Parumusan-perumusan masalah yang hendak diselidiki pun sudah dikhususkan, misalnya hubungan antara pengikut, kerjasama dan persaingan prestasi belajar, dan sebagainya. Dengan begitu kebebasan untuk memilih apa yang diselidiki adalah sangat terbatas. Ini kadang-kadang dijadikan ciri yang membedakan observasi sistematik dari observasi partisipan.
b. Cara-cara Pencatatan
Persoalan-persoalan yang telah dirumuskan secara teliti memungkinkan jawaban-jawaban, respon, atau reaksi yang dapat dicatat secara teliti pula. Ketelitian yang tinggi pada prosedur observasi inilah yang memberikan kemungkinan pada penyelidik untuk mengadakan ‘kuantifikasi’ terhadap hasil-hasil penyelidikannya.Jenis-jenis gejala atau tingkah laku tertentu yang timbuk dapat dihitung dan ditabulasikan. Ini akan sangat memudahkan pekerjaan analisa hasilnya nanti.
c. Hubungan antara Observer dan Observee
Dalam observasi sistematik hubungan observer dan observee mengajukan suatu persoalan yang pelik. Jika tidak dilakukan dibelakang ‘one way screen’. Observasi jenis ini menimbulkan masalah yang sama dengan observasi partisipasi untuk mengusahakan rapport yang baik. Pertama-tama situasinya harus disiapkan sedemikian rupa sehingga para observee tidak berkeberatan menerima observer. Dengan kesibukannya mengadakan pencatatan, menggunakan alat-alat, dan kesibukan-kesibukan lainnya, seorang observer tidak akan dapat menyembunyikan kenyataan-kenyataan sedang mengadakan penyelidikan. Kerena itu, mendapatkan kerjasama yang sebaik-baiknya dengan observee adalah syarat mutlak dalam observasi sistematik.
Dalam pada itu pengalaman-pengalaman menunjukkan bahwa jika sebelum penyelidikan yang sebenarnya observer sudah pernah hadir dalam situasi sekali atau beberapa kali umumnya, kehadirannya di sudut kamar tidak banyak mempengaruhi kegiatan-kegiatan grup yang sedang berjalan.
3. Observasi Eksperimental
Observasi dapat dilakukan dalam lingkup alamiah/natural ataupun dalam lingkup eksperimental.
Dalam observasi alamiah observer mengamati kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa, dan perilaku-perilaku observee dalam lingkup natural, yaitu kejadian, peristiwa, atau perilaku apa adanya tanpa adanya usaha untuk mengontrolnya.
Observasi eksperimental dipandang sebagai cara penyelidikan yang relatif murni menyelidiki pengaruh kondisi-kondisi tertentu terhadap tingkah laku manusia. Sebab faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkah laku observee telah dikontrol secermat-cermatnya sehingga tinggal satu-dua faktor untuk diamati bagaimana pengaruhnya terhadap dimensi-dimensi tertentu terhadap tingkah laku.
Ciri-ciri penting bagi observasi eksperimental adalah sebagai berikut :
• Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seseragam mungkin untuk semua observee.
• Situasi dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laku yang akan diamati oleh observer.
• Situasi sedemikian rupa sehingga observee tidak tahu maksud yang sebenarnya dari observasi.
• Observer atau alat pencatat membuat catatan-catatan dengan teliti mengenai cara-cara observee mengadakan aksi reaksi, bukan hanya jumlah reaksi semata-mata.
PROSES OBSERVASI
A. ALAT OBSERVASI
Ada bebarapa alat observasi yang digunakan dalam situasi-situasi yang berbeda-beda, antara lain :
1. Anekdotal
Observer mencatat hal-hal yang penting. Pencatatan dilakukan sesegera mungkin pada tingkah laku yang istimewa. Observer harus mencatat secara teliti apa dan bagaimana kejadian, bukan bagaimana menurut pendapatnya. Akan tetapi, kerugian dari bentuk seperti ini adalah memakan waktu yang agak lama.
2. Catatan Berkala
Dalam catatan berkala penyelidik yang mencacat macam-macam kejadian khusus sebagimana pada observasi anecdotal, melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu. Apa yang dia lakukan adalah mengadakan observasi cara-cara orang bertindak dalam jangka waktu tertentu, kemudian menuliskan kesan-kesan umumnya. Setelah dia menghentikan penyelidikannya dan mengadakan penyelidikan lagi pada saat ini dengan cara yang sama seperti sebelumnya.
3. Check List
Check list adalah suatu daftar yang berisi nama-nama subyek dan faktor-faktor yang hendak diselidiki. Check list dimaksudkan untuk mensistematikan catatan observasi. Dengan check list ini lebih dapat dijamin bahwa penyelidik mencatat tiap-tiap kejadian yang telah ditetapkan hendak diselidiki.
Ada bermacam-macam aspek perbuatan yang biasanya dicantumkan dalam check list, dan observer tinggal memberi tanda check secara cepat tentang ada tidaknya aspek perbuatan yang tercantum dalam list.
4. Rating Scale
Rating scale adalah pencatatan gejala menurut tingkat-tingkatnya. Rating scale ini sangat populer karena pencatatanya sangat mudah, dan relatif menunjukkan keseragaman antara pencatat dan sangat mudah untuk dianalisis secara statistik.
Rating scale umumnya terdiri dari suatu daftar yang berisi ciri-ciri tingkah laku yang harus dicatat secara bertingkat observasi diminta mencatat pada tingkat yang bagaimana suatu gejala atau ciri tingkah laku timbul.
Rating scale mempunyai kesamaan dengan ckeck list. Observer tinggal member tanda-tanda tertentu dan mengecek pada tingkat-tingkat tingkah laku tertantu. Dengan cara ini deskripsi yang panjang lebar tidak diperlukan, dan waktu sangat dihemat oleh karenanya.
Namun, demikian ada beberapa sumber kesesatan yang perlu mendapat perhatian dari observer, yaitu:
a. Hallo Effects
Kesesatan ‘halo’ terjadi jika observer dalam pencatatan terpikat oleh kesan-kesan umum yang baik pada observe, sedang observer tidak menyelidiki kesan-kesan umum itu. Jadi, misalnya seorang observer mungkin terpikat oleh tingkah laku yang sopan dari orang yang diamati, dan memberikan penilaian yang tinggi pada observe tanpa memperhatikan pada aspek yang sebenarnya hendak diamati. Dan sebaliknya seorang observer dapat memberi nilai yang lebih rendah daripada semestinya tentang suatu hal yang oleh karena observe berpakaian yang kurang rapi, sedang observer sendiri adalah orang yang biasa berpakaian rapi.
b. Generosity Effects
Kesesatan dapat terjadi karena keinginan untuk berbuat baik. Dalam keadaan-keadaan yang meragukan seorang observer mempunyai kecenderungan seorang observer mempunyai kecenderungan untuk menilai yang menguntungkan (atau merugikan) observee.
c. Carry Over Effects
Carry over effects terjadi jika pencatat tidak dapat memisahkan satu gejala dari yang lain dan jika gejala yang satu kelihatan timbul dalam keadaan yang baik, gejala yang lainnya juga dicatat dalam keadaan baik, sungguhpun kenyataannya tidak begitu. Pencatatan gejala yang satu dan dibawa-bawa dalam pencatatan gejalan lainnya ini pasti tidak akan menghasilkan fakta-fakta yang sesuai dengan keadaannya. Sehingga hal ini perlu diperhatikan oleh seorang peneliti yang hendak meneliti suatu gejala.
5. Mechanical Devices
Perkembangan alat-alat optika yang maju memungkinkan seorang observer menggunakan alat pencatat mesin seperti kamera video untuk menyelidiki tingkah laku orang. Biaya untuk ini sangat mahal tetapi pada kesempatan-kesempatan tertentu diperlukan juga.
Keuntungan dari observasi yang menggunakan alat ini adalah:
• Dapat diputar kembali setiap dibutuhkan.
• Dapat diputar lambat-lambat untuk memungkinkan analisa yang diteliti tentang tingkah laku manusia, yang belum tentu dapat dilakukan dalam kegiatan normal.
• Untuk seorang perancang reseach memberikan bahan-bahan yang berharga untuk mengembangkan problema-problema penelitian.
• Sebagai alat untuk melatih observer untuk memperbaiki kecermatan dan ketelitian observasinya.
B. OBSERVER
Spradley (1980) menyebutkan bahwa peran observer dalam metode observasi adalah:
1. Observer tidak berperan sama sekali
Dalam Observasi observer tidak berperan, kehadiran dalam area penelitian hanya untuk melakukan observasi tetapi tidak diketahui oleh subyek yang diamati.
Observasi jenis ini bisa dilakukan, misalnya dengan menggunakan kaca “one way mirror“ seperti pengamatan pada sekelompok anak-anak dengan perilaku di dalam kelas dalam suatu ruangan atau kelas, atau menggunakan teropong jarak jauh untuk mengamati perilaku seorang atau sekelompok orang. Pengamatan semacam itu juga bisa dilakukan dengan cara menggunakan rekaman video sehingga peneliti benar-benar tidak melakukan peran sama sekali.
2. Observer berperan pasif
Dalam jenis ini observer mendatangi peristiwa, akan tetapi kehadirannya di lapangan menunjukkan peran yang peling pasif. Kehadirannya sebagai orang asing diketahui oleh orang yang diamati, dan bagaimanapun hal ini membawa pengaruh. Agar kehadiran peneliti tidak mempengaruhi sifat alamiah subjek, sebaiknya peneliti tidak membuat catatan selama penelitian, kecuali mungkin dengan menggunakan perekaman secara tersembunyi. Tetapi setelah selesai melakukan pengamatan, peneliti harus segera membuat catatannya secepatnya sebelum tertumpuk oleh informasi lainnya.
3. Observer berperan aktif
Dalam observasi ini peneliti dapat memainkan berbagai peran yang dimungkinkan dalam suatu situasi sesuai dengan kondisi subjek yang diamati. Cara ini dilakukan semata untuk dapat mengakses data yang diperlukan bagi penelitian. Keberadaan peneliti sebenarnya diketahui oleh subjek yang diteliti, tetapi peneliti telah dianggap sebagai bagian dari mereka dan kehadirannya tidak mengganggu atau mempengaruhi sifat naturalistik. Apa yang dilakukan tidak ubahnya sebagaimana yang dilakukan subjek yang diteliti.
4. Observer berperan penuh
Pada observasi ini peneliti bisa jadi sebagai anggota resmi dari kelompok yang diamati atau sebagai orang dalam atau orang luar tetapi telah dianggap sebagai orang dalam.
Peran peneliti dalam observasi terlibat penuh, bukan sekedar partisipasi aktif dalam kegiatan subjek yang diteliti, tetapi juga bisa lebih menjadi pengarah acara sebuah peristiwa terarah dengan skenario peneliti agar kedalaman dan keutuhan datanya tercapai.
Dalam melakukan observasi ada beberapa hal yang mempengaruhi kecermatan dalam observasi, yaitu:
• Prasangka-prasangka dan keinginan-keinginan dari observer.
• Keterbatasan panca indra, kemampuan pengamatan, dan ingatan manusia.
• Keterbatasan wilayah pandang.
• Ketangkasan menggunakan alat-alat pencatatan.
• Ketelitian pencatatan hasil-hasil observasi
• Ketepatan alat dalam observasi. Pengertian observer tentang gejala yang diobservasi.
• Kemampuan menangkap hubungan sebab akibat tergantung pada keadaan mental, indra pada suatu waktu.
Oleh karena itu untuk dapat menjadi seorang observer yang baik harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut :
1. Mengerti latar belakang tentang materi yang akan diobservasi
Untuk mengobservasi tentang perkembangan anak maka seorang observer harus mengusai teori tentang perkembangan yang harus dilalui oleh setiap anak.
2. Mampu memahami kode-kode / tanda-tanda tingkah laku untuk membedakan tingkah laku yang satu dengan yang lain.
Seorang observer hendaknya mempunyai kemampuan untuk membedakan tanda-tanda tingkah laku agar dapat membedakan tingkah laku yang satu dengan yang lainnya. Juga perlu mengetahui perbedaan mengekspresikan emosi ke dalam perilaku bagi masing-masing kelompok masyarakat.
3. Membagi perhatian
Seorang observer harus mampu membagi perhatiannya antara mengamati tindakan yang dilakukan oleh observee dan mencatat perilaku tersebut.
4. Dapat melihat hal-hal yang detail
Seorang observer harus mampu mengamati perilaku observee sampai pada perilaku yang sekecil-kecilnya, karena bisa saja perilaku yang dianggap tidak penting justru merupakan perilaku yang sangat penting.
5. Dapat mereaksi dengan cepat dan menerangkan contoh-contoh tingkah laku secara verbal/non verbal.
Seorang observer harus bisa memahami dengan cepat perilaku yang ditunjukkan oleh observee dan bagaimana respon yang harus diberikan.
6. Menjaga hubungan antara observer dan observee
Kemampuan menjalin hubungan baik dengan observe merupakan faktor yang sangat penting dalam observasi.
C. HAL-HAL YANG DIOBSERVASI
Banyak hal-hal, peristiwa-peristiwa, masalah-masalah, dan gejala-gejala yang dapat diobservasi.
Dalam melakukan observasi ada beberapa point yang biasanya perlu diperhatikan, yaitu:
A. Penampilan fisik : yang meliputi kondisi fisik observe, misalnya tinggi badan, berat badan, warna kulit, dan lain-lain.
B. Gerakan tubuh / penggunaan anggota tubuh. Misalnya: bagaimana postur tubuh observe, bagian tubuh mana yang sering digunakan dan bagian mana yang kurang banyak gerakan (misalnya observe selalu menggerak-gerakkan tengan ketika berbicara, dsb).
C. Ekspresi wajah : Bagaimana ekspresi wajah observe ketika sedang berbicara.
D. Pembicaraan : yaitu bagaimana isi pembicaraan yang dilakukan.
E. Rekasi emosi : yaitu bagaimana reaksi emosi observe. Dalam penelitian seorang observer perlu memperhatikan bagaimana reaksi emosi observe terhadap suatu masalah yang ingin diteliti.
F. Aktivitas yang dilakukan : Misalnya jenisnya, lamanya, dengan siapa, dimana dan sebagainya.
G. Dan beberapa hal yang perlu diobservasi. Hal ini sesuai dengan tujuan dari penelitian yang akan dilakukan.
D. LANGKAH-LANGKAH DALAM OBSERVASI
Rummel telah merumuskan petunjuk-petunjuk penting bagi mereka yang menggunakan metode observasi untuk mengumpulkan fakta-fakta seperti berikut:
1. Peroleh dahulu pengetahuan apa yang akan diobservasi. Penyelidik dapat mengobservasi dan mengingat-ingat lebih banyak sifat-sifat khusus dari sesuatu jika dia telah mempunyai pengetahuan lebih dahulu tentang apa yang akan diobservasi dan jenis fenomena-fenomena apa yang perlu dicatat. Sebab itu ketahui dan tentukan lebih dahulu apa-apa yang perlu diobservasi.
2. Selidiki tujuan-tujuan yang umum maupun khusus dari masalah-masalah reseach untuk menentukan apa yang harus diobservasi. Perumusan masalah dan aspek-aspek khusus dari penyelidikan akan menentukan apa yang harus diobservasi. Selidiki secara mendalam dan gunakan penyelidikan-peyelidikan yang terdahulu yang mempunyai hubungan dengan problematik reseach yang akan dilakukan untuk memperoleh petunjuk-petunjuk tentang apa yang diobservasi dan dicatat.
3. Buatlah suatu cara untuk mencatat hasil-hasil observasi. Adalah penting sekali untuk menetapkan lebih dahulu simbol-simbol statistik atau rumusan-rumusan deskriptif yang akan digunakan untuk mencatat hasil-hasil observasi. Cara ini akan menghemat waktu dan menyeragamkan tata kerja observasi yang dilakukan terhadap banyak peristiwa. Banyak orang merasa perlu mencatat-catat hasil observasi, tetapi tidak berhasil untuk melakukan itu karena ketiadaan cara pencatatn yang efisien.
Untuk melaksanakan itu umumnya digunakan check list. Check list akan menghemat pencatatan sampai minimal dan jika dibuat secara cermat akan memungkinkan penyelidik mencatat secara teliti unsur-unsur khusus dari gejala yang akan diselidiki.
4. Adakan dan batasai dengan tegas macam-macam tingkat kategori yang akan digunakan, kecuali mencatat jumlah frekuensi dari suatu jenis tingkah laku, kerapkali perlu sekali penyelidik mengetahui besar kecilnya jenis tingkah laku yang muncul.
5. Adakan observasi secermat-cermatnya.
6. Catatlah tiap-tiap gejala secara terpisah.
7. Ketahuilah beik-baik alat-alat pencatatan dan data caranya mencatat sebelum melakukan observasi.
Secara singkat berikut langkah-langkah yang harus dilakukan dalam observasi :
1. Mengetahui/memperoleh pengetahuan yang akan diobservasi.
2. Menentukan tujuan umum dan tujuan khusus.
3. Membuat tata cara observasi (metode apa, alatnya apa).
4. Membatasi dengan tegas hal-hal yang akan diobservasi.
5. Melakukan observasi dengan secermat-cermatnya.
6. Membuat hasil catatan-catatan/observasi.
7. Memahami pencatatan dan penggunaan alat.
E. PENCATATAN LAPANGAN
Catatan lapangan berisi tentang hal-hal yang diamati, apapun yang oleh peneliti dianggap penting. Penulisan catatan lapangan dapat dilakukan dalam cara yang berbeda-beda. Yang penting untuk diingat adalah catatan lapangan mutlak dibuat secara lengkap, dengan keterangan tanggal dan waktu yang lengkap.
Untuk mampu menulis catatan lapangan yang lengkap dan informatif, peneliti perlu melatih kedisiplinan untuk melakukan pencatatan secara kontinyu, dan menuliskannya langsung saat melakukan observasi di lapangan. Bila pencatatan tidak mungkin dilakukan langsung di lapangan, hal tersebut wajib dilakukan sesegera mungkin setelah peneliti meninggalkan lapangan. Peneliti harus menyadari ia tidak dapat mengandalkan ingatanya saja, dan bila ia tidak segera mencatat apa yang ia amati, sangat mungkin akan kehilangan nuansa yang diamati.
Catatan lapangan harus deskriptif, diberi tanggal dan waktu, dan dicatat dengan menyertakan informasi-informasi dasar seperti dimana observasi dilakukan, siapa yang hadir di sana, bagaimana setting fisik lingkungan, interaksi sosial dan aktifitas apa yang berlangsung dan sebagainya.
Yang sangat penting untuk selalu diingat adalah peneliti yang baik akan melaporkan hasil observasinya secara deskriptif, tidak interpratatif. Pengamat tidak mencatat kesimpulan atau interpretasi, melainkan data kongrit berkenaan dengan fenomena yang diamati.
Deskripsi yang memadai dalam detil, dan ditulis sedemikian rupa untuk memungkinkan pembaca menvisualisasikan setting yang diamati. Deskripsi interpretasi dengan menggunakan penyimpulan-penyimpulan dari peneliti harus dihadari interpretasi dengan memberikan lebel atau penjelasan sifat-sifat tidak ditunjukkan. Yang perlu dilakukan adalah menjabarkan situasi yang diamati segera mengambil kesimpulan tentang hal tersebut.
Hasil interpretasi :
Contoh : Ruangan sangat nyaman dan indah. Mereka sangat membenci satu sama lain.
Kongrit, apa adanya dan mendatai :
Contoh :
Ruangan berukuran…, terdengar suara musik dari alat perekam, dan tembok yang berwarna biru muda digantungi beberapa lukisan pemandangan……
Kedua tersebut saling memuku. Yang satu terjatuh dan lelaki yang lain kemudian menginjak sampai yang terjatuh tersebut berteriak-teriak…….
Dengan uraian deskriptif sekaligus informatif demikian, pengamat meminimalkan biasnya, sehingga dengan sendirinya dengan sendirinya juga dapat mengembangkan analisis yang lebih akurat saat menginterpretasi seluruh data yang ada.
Bila relevan yang memungkinkan, catatan lapangan perlu juga diisi kutipan-kutipan langsung apa yang dikatakan obyek yang diamati selama proses observasi. Hal itu akan membantu peneliti dalam mengungkap prespektif orang yang diamati mengenai realitas yang alami.
Guba dan Lincoln telah memberikan pedoman dalam pembuatan catatan :
1. Pembuatan catatan lapangan, yaitu gambaran umum peristiwa-peristiwa yang telah diamati oleh peneliti. Dalam hal ini pengamat bebas membuat catatan, dan biasanya dilakukan pada malam hari setelah melakukan observasi.
2. Buku harian, yang dibuat dalam bentuk yang teratur dan ditulis setiap hari, yang isinya diambil dari catatan lapangan.
3. Catatan tentang satuan-satuan sistematis, yaitu catatan rinci tentang tema yang muncul.
4. Catatan kronologis, yang merupakan catatan rinci tentang urutan peristiwa dari waktu ke waktu.
5. Peta konteks, yang dapat berbentuk peta, sketsa atau diagram. Dengan peta konteks ini dapat diperoleh gambaran umum tentang posisi subjek serta perkembangannya.
6. Taksonomi dan ketegori yang dikembangkan selama analisa di lapangan.
7. Jadwal observasi berisi dekripsi waktu secara rinci tentang apa yang dikerjakan, apa yang diamati, dimana, kapan dan lain-lain.
8. Siometik merupakan diagram hubungan antara subjek yang sedang diamati.
9. Panel yaitu pengamatan terhadap seseorang atau sekelompok orang secara periodik.
10. Kuesioner yang diisi oleh pengamat untuk memberikan balikan kepada pengamat sehingga dapat lebih mengarahkan dan memperbaiki teknik pengamatannya.
11. Balikan dari pengamat lainnya, juga dapat memperbaiki teknik pengamatan yang dipergunakannya.
12. Daftar cek, dibuat untuk mengecek apakah semua aspek informasi yang diperlukan telah direkam.
13. Piranti elektronik, misalnya kamera atau video yang disembunyikan.
14. “Topeng Steno“ yaitu alat perekam suara yang diletakkan secara tersembunyi di tubuh peneliti.
Banister (1994) mengemukakan hal-hal yang perlu diperhatikan pada waktu membuat catatan observasi, yaitu:
1. Deskripsi konteks.
2. Deskripsi mengenai karakteristik orang-orang yang diamati.
3. Deskripsi tentang siapa yang melakukan observasi.
4. Deskripsi mengenai perilaku yang ditampilkan orang-orang yang diamati.
5. Interpretasi sementara peneliti terhadap kejadian yang diamati.
6. Pertimbangan mengenai alternatif interpretasi lain.
7. Eksplorasi perasaan dan penghayatan peneliti terhadap kejadian yang diamati.
F. SUMBER-SUMBER KESALAHAN DALAM OBSERVASI
Dalam melakukan observasi, terutama bagi observer pemula yang belum mahir melakukan observasi kerap terjadi kesalahan dalam melakukannya oleh karena itu perlu diketahui masalah-masalah yang sering menjadi sumber kesalahan dalam melakukan observasi.
Ada beberapa sumber kesalahan yang sering ditemukan dalam observasi, yaitu:
1. Kesalahan yang bersumber pada kualitas personel observer. Hal ini berkaitan dengan penelitia, hello effect, usia, latar belakang pendidikan/budaya, personal value.
2. Kesalahan yang berhubungan dengan setting, skala, atau alat-alat yang digunakan.
3. Kesalahan yangbersumber pada subjek penelitian. Mungkin dikarenakan kesalahan atau manipulasi diri.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Observasi
Setiap metode pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, termasuk metode observasi. Seorang peneliti harus mengetahui kelebihan dan kekurangan metode yang digunkan sebagai alat untuk mengumpulkan data penelitian yang akan dilakukannya sehingga dapat membuat perencanaan yang matang tentang metode yang akan dipilih untuk kepentingan penelitiannya.
Kelebihan Metode Observasi, antara lain:
1. Pengamatan langsung atas perilaku memungkinkan peneliti untuk merekam perilaku sebagaimana adanya.
2. Peneliti memperoleh data dari tangan pertama.
3. Dapat melengkapi dan memferifikasi hasil wawancara.
4. Dapat memahami situasi yang rumit.
5. Dapat menghasilkan data yang tidak mungkin diperoleh dengan metode lainnya.
6. Dapat diterapkan secara luas dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial.
7. Informasi yang didapatkan lebih mendalam bila dibandingkan dengan metode penelitian lain.
8. Lebih sedikit tuntutan bagi subjek yang diteliti.
9. Memungkinkan pencatatan yang serempak dengan terjadinya suatu gejala.
10. Tidak tergantung pada self report.
Selain kelebihan-kelebihan diatas, metode observasi juga memiliki beberapa kekurangan.
Kekurangan Metode Observasi
1. Tidak sempurnanya organ-organ penginderaan manusia.
2. Persepsi selektif. Orang cenderung memilih satu hal sebagai pusat pengamatan sehingga hal lain luput dari pengamatan.
3. Indra kurang bisa membuat perbandingan karena indra cenderung menyesuaikan dengan kondisi-kondisi tertentu.
4. Indra tidak bekerja bebas dari pengalaman masa lalu.
5. Proses pengamatan dapat berpengaruh terhadap gejala-gejala yang diamati. Subjek memanupulasi diri dihadapan pengamat.
6. Dibutuhkan pengetahuan yang lebih tentang persoalan pokok yang diamati dan pengalaman yang memadai.
7. Banyak kejadian yang tidak dapat diungkap dengan observasi langsung, misalnya kehidupan pribadi yang sangat rahasia.
8. Timulnya kejadian tidak selalu dapar diramalkan sehingga observer dapat hadir untuk mengamati kejadian tersebut.
9. Tugas observasi dapat terganggu pada waktu ada peristiwa yang tidak terduga, misalnya cuaca.
10. Terbatasi oleh berlangsungnya kejadian yang diamati.
Untuk memaksimalkan metode observasi dan memaksimalkan kelebihan dan memimalkan kelemahan metode observasi perlu dipenuhi hal-hal seperti :
1. Peneliti harus memahami konteks dimana perilaku itu terjadi.
2. Dapat menangkap makna dari tindakan penuh arti yang dialami para subjek.
3. Dapat menangkap world view masyarakat yang diamati.
4. Dapat menangkap perilaku yang berpola dari subjek yang dimati.
Selain salah satu upaya untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan tersebut adalah dengan menggunkan metode triangulasi. Dengan prosedur tersebut, data pengamatan dilengakapi dengan data yang diperoleh dengan cara lain seperti kuesioner dan sumber data sekunder lain. ketepatan data dapat diperoleh dengan metode ganda.
Selain cara-cara tersebut, cara yang juga sering dilakukan oleh seorang peneliti yang menggunakan metode observasi dalam pengumpulan data adalah dengan cara memperbanyak jumlah orang yang melakukan observasi (observer).
VALIDITAS DAN RELIABILITAS
A. VALIDITAS
Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Bila seseorang ingin mengukur berat suatu benda, maka ia harus menggunakan timbangan. Timbangan adalah alat ukur yang valid bila dipakai untuk mengukur berat. Bila panjang benda yang ingin diukur, maka harus menggunakan meteran. Meteran adalah alat pengukur valid bila digunakan untuk mengukur panjang. Tetapi, tibangan bukanlah alat pengukur yang valid jika digunakan untuk mengukur panjang.
1. Jenis-Jenis Validitas
Validitas alat pengumpul data dapat digolongkan beberapa jenis, di bawah ini ada beberapa jenis validitas yang perlu diperhatikan.
a. Face Validity
Bagaimana kelihatannya suatu alat pengukur benar-benar mengukur apa yang akan diukur. Misalnya mengukur kemampuan sebagai seorang sopir, seorang observee harus disuruh mengendarai mobil. Tetapi bila pengukuran kemampuan mengendarai mobil dilakukan dengan ujian tertulis tentang teknik mengendarai mobil, maka lat pengukur tersebut kurang memiliki face validity.
b. Content Validity
Content validity atau bisa disebut sebagai validitas isi adalah sejauh mana isi alat ukur tersebut memiliki semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. data yang mencerminkan ciri-ciri yang telah ditentukan yaitu apa saja yang diungkap / diukur. Contohnya bila seorang peneliti ingin mengukur keikutsertaan dalam program KB dengan menyatakan metode kontrasepsi yang dipakai. Bila aspek yang diamati tidak mencakup semua metode kontrasepsi, maka alat ukut tersebut tidak memiliki validitas isi.
c. Predicty Validity
Alat pengukur yang dibuat oleh peneliti seringkali dimaksudkan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Contohnya adalah ujian seleksi masuk perguruan tinggi. Ujian tersebut adalah upaya untuk memperedisi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Peserta yang lulus ujian dengan nilai baik diprediksikan akan dapat mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan sukses.
Apakah soal ujian masuk tersebut memiliki validitas prediktif, sangat tergantung pada apakah ada korelasi yang tinggi antara nilai ujian masuk dengan prestasi belajar setelah menjadi mahasiswa. Bila ternyata ada korelasi yang tinggi antara nilai ujian seleksi dengan indeks prestasi belajar mahasiswa, maka soal ujian selaksi tersebut memiliki validitas prediktif.
Untuk mendapatkan validitas yang tinggi maka harus menyiapkan dengan sungguh-sungguh materi yang akan diukur.
d. Construct validity
Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep. Misalkan seorang peneliti ingin mengukur konsep religiusitas. Pertama-tama yang harus dilakukan oleh peneliti ialah mencari apa saja yang merupakan kerangka dari konsep tersebut. Dengan diketahuinya kerangka tersebut, seorang peneliti dapat menyusun tolak ukur operational konsep tersebut.
Misalnya ingin mengukur status ekonomi responden dengan menggunakan lima komponen status ekonomi, yakni 1. Penghasilan per bulan; 2. Pengeluaran per bulan; 3. Pemilikan barang; 4. Porsi penghasilan yang digunakan untuk rekreasi; dan 5. Kualitas rumah. Apabila ada konsosistensi antara komponen-komponen konstruk yang satu dengan yang lain, maka konstruk tersebut memiliki validitas.
e. Concurent validity
Mengobservasi perilaku dengan membandingkan perilaku lain. Contoh : perilaku di sekolah = perilaku di luar kelas (menunjukkan agresivitas).
2. Teknik Menguji Validitas
Pekerjaan untuk mencari validitas suatu alat ukur disebut validation. Prinsip dari validation adalah membandingkan hasil-hasil dari pengukuran faktor dengan suatu kriterium, suatu ukuran yang telah dipandang valid untuk menunjukkan faktor yang dimaksud. Jadi misalnya suatu alat pengukur handak menyelidiki faktor ketelitian kerja, maka harus diambil lebih dahulu suatu kriterium yang dapat dipandang mencerminkan ketelitian kerja. Dari kriterium itulah kemudian hasil dari pengukuran faktor ketelitian kerja disoroti. Jika hasil pengukuran menunjukkan besar ketelitian kerja yang sesuai dengan hasil pengukuran itu, maka alat pengukur itu dipandang valid.
Ada dua jenis kriterium yang digunakan untuk menguji kejituan alat pengukur, yaitu:
a. Kriterium luar atau eksternal criterion.
Yaitu suatu kriterium yang diambil dari luar alat pengukur itu sendiri. Misalnya : suatu tes tentang ketelitian kerja, diuji validitasnya dengan prestasi kerja yang sesungguhnya sebagaimana ditunjukkan oleh catatan-catatan hasil kerja atau penilaian pimpinan unit.
b. Kriterium dalam alat atau internal criterion
Yaitu suatu kriterium yang diambil dari dalam alat itu sendiri. Biasanya diambil hasil keseluruhan pengukuran atau total score sebagai kriteriumnya. Misalnya : ingin mengukur intelegensi yang terdiri dari faktor-faktor daya analisa, daya klasifikasi, daya ingatan, daya pemahaman, daya kritik dsb. Maka untuk menguji apakah sekelompok item benar-benar mengukur daya analisa, misalnya, jawaban-jawaban terhadap item daya analisa dicocokkan dengan hasil tes karena secara keseluruhan atau total score. Antara nilai total harus terdapat korelasi yang positif tinggi dan cukup meyakinkan.
Kecocokan antara hasil-hasil dari item yang disangka mengukur suatu faktor dengan suatu kriterium yang dipandang telah valid disebut factorial validity atau validitas faktor. Besar kecilnya validitas faktor tergantung kepada besar kecilnya kecocokan itu.
B. RELIBILITAS
Reliabilitas observasi adalah keajegan apa yang diobservasi. Suatu hasil observasi bila diuji kembali oleh orang lain baik di lain waktu maupun sekarang maka hasilnya relatif sama.
1. Sumber-Sumber Kesesatan
Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologik dan pspsikologik. Dua diantaranya yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Dalam masing-masing, proses ini tergantung sumber-sumber kesesatan yang perlu mendapat perhatian yang sekasama.
a. Pengamatan
Dua indra yang sangat vital dalam pengamatan adalah mata dan telinga. Baik dalam penyelidikan di laboratorium maupun dalam penyelidikan lapangan dua-duanya selalu terpakai, sungguhpun dalam banyak hal mata memegang peranan yang lebih dominan.
Terbatasnya penglihatan ditimbulkan terutama dari keadaan objek yang dihadapi. Kebanyakan objek-objek penyelidikan adalah objek-objek yang kompleks, mempunyai unsur-unsur yang banyak, segi-segi yang berliku-liku atau dimensi-dimensi yang majemuk. Pada suatu saat orang hanya mampu menangkap sebagian kecil saja dari objek yang kompleks itu. Karena itu jika objek yang kompleks tidak hanya akan dilihat salah satu seginya atau unsurnya, kelemahan atau keterbatasan itu perlu diatasi dengan cara-cara tertentu.
Ada tiga cara mengatasi sifat itu, yaitu:
1. Menyediakan waktu yang lebih banyak agar dapat melihat objek yang kompleks dari berbagai segi, dari berbagai jurusan secara berulang-ulang,
2. Menggunkan observer yang lebih banyak untuk melihat objeknya dan menginterpretasikan hasil-hasil penyelidikan itu.
3. Mengambil lebih banyak objek yang sejenis agar dalam jangka waktu yang terbatas dapat disoroti objek-objek itu dari segi-segi yang berbeda-beda oleh penyelidik yang terbatas jumlahnya.
b. Ingatan.
Tidak semua orang memiliki ingatan yang setia dan luas. Kedua dimensi ingatan ini membuat batasan-batasan dalam reliabilitas pengamatan. Karena itu ada cara-cara yang perlu diperhatikan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, yaitu antara lain :
1. Mengadakan pencatatan biasa dan atau dengan check list.
2. Menggunakan alat-alat mekanik (tape recorder, karema foto dll).
3. Menggunakan lebih banyak observer.
4. Memusatkan perhatian pada data yang relevan.
5. Mengklarifikasi gejala dalam golongan-golongan yang tepat.
6. Menambahkan bahan pengetahuan tentang objek yang akan diamati.
2. Teknik Untuk Menetapkan Reliabilitas
Prosedur yang lazim digunakan untuk menilai reliabilitas pengukuran adalah mencari petunjuk atau indeks hubungan antara hasil-hasil pengukuran yang pertama dengan hasil-hasil pengukuran ulangan. Indeks hubungan itu disebut koefisien korelasi.
Pada dasarnya ada dua pokok pikiran yang tersembunyi di balik penghitungan koefisien korelasi itu :
a. Bahwa gejala atau ciri gejala tetap bertahan dan tidak berubah dari pengukuran yang satu ke pengukuran yang lain.
b. Bahwa pengukuran berikutnya adalah ekuivalen dalam pengukuran yang mendahuluinya.
Ada tida jenis teknik reliabilitas, yaitu:
a. Teknik Ulangan
Dalam teknik ulangan alat pengukur yang sama diberikan kepada sejumlah subjek yang sama pada saat-saat yang berbeda, dalam kondisi-kondisi pengukuran yang relatif sama.
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Kenakan alat pengukur kepada sejumlah subjek.
2. Setelah beberapa waktu berselang, ulangi langkah yang pertama; alatnya sama, subjeknya juga sama, prosedur pengukurannya juga sama dan kondisi-kondisi pengukuran harus relatif sama.
3. Selidiki korelasi antar hasil pengukuran yang pertama dengan pengukuran yang kedua.
Dalam teknik ulangan ini diambil asumsi bahwa gejala yang diukur tidak berubah dalam tenggang waktu pengukuran pertama dan kedua. Jika jarak pengukurannya cukup lama asumsi itu menjadi sangat kabur tanpa suatu pengetahuan bahwa memang dalam tenggang waktu sekian lama itu gejalanya sama sekali tidak berubah.
b. Teknik Bentuk Pararel
Dalam teknik bentuk parerel ini sekelompok item disajikan kepada sejumlah subjek. Kelompok item ini disebut bentuk I. Kepada subjek-subjek itu juga dengan atau tanpa tenggang waktu diberikan sekelompok item lainnya yang dipandang seimbang dengan kelompok item yang pertama. Kelompok item yang kedua ini disebut bentuk II. Hasil dari kedua bentuk itu kemudian dikorelasikan untuk memperoleh koefisien korelasi.
Jadi langkah-langkah pokok dalam reliabilitas dengan teknik bentuk pararel adalah sebagai berikut :
1. Memberikan bentuk I kepada sejumlah subjek.
2. Memberikan bentuk II kepada subjek-subjek itu juga, dengan atau tanpa tenggang waktu.
3. Mencari korelasi antara hasil bantuk I dan hasil bentuk II.
c. Teknik Belah Dua
Dalam teknik belah dua suatu baterai alat pengukur diberikan kepada sejumlah subjek, kemudian item dari baterei dibagi dua, dan score dari separuh baterei dikorelasikan dengan score dari separuh item sisanya.
Jadi langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Berikan baterei kepada sejumlah subjek.
2. Bagi dua item dalam baterei .
3. Cari korelasi antar score dari separuh item yang pertama dengan score dari separuh item yang kedua.
Prosedur yang lazim untuk membelah baterei menjadi dua kelompok item adalah mengumpulkan item yang bernomor ganjil menjadi satu kelompok, dan item yang genap menjadi satu kelompok yang lain (ganjil-genap). Kecuali bisa dengan jalan random.

Contoh Check List
Kebiasaan Dalam Perkuliahan
Faktor Ahmad Husin Hani
Terlambat -  -
Mencatat - - 
Bertanya  - 
Menjawab Pertanyaan - - 
Partisipasi dalam Diskusi  - -
Berbicara dengan Teman di Dalam Kelas   -

Contoh Rating Scale
1. Kebiasaan Dalam Perkuliahan
Ahmad Sangat Sering Sering Kadang-Kadang Tidak Pernah
Terlambat 
Mencatat 
Bertanya 
Menjawab Pertanyaan 
Partisipasi dalam Diskusi 
Berbicara dengan Teman di Dalam Kelas 



2. Reaksi Terhadap Gangguan Kerja
Mudah Sekali Terganggu. Agak Mudah. Tetap Bekerja Walaupun Ada Gangguan.


Contoh Observasi
Observasi Yang Dilakukan Pada Anak Di Sekolah
A. Temperamen
No Temperamen Rating Karakter Perilaku
1. Aktivitas Rendah Gerakan tubuh amat sedikit
Tinggi Sangat aktif bergerak, jarang diam.
2. Ritmik Reguler Waktu tidur, makan, buang air besar pada saat yang relatif sama setiap harinya.
Tidak Reguler Waktu tidur, makan dan buang air besar tidak pasti.
3. Pendekatan / Penarikan Diri Positif Tersenyum, mau mendekati orang lain.
Negetif Menolak bila ada orang asing.
4. Adaptasi Adaptif Mula-mula kaku/pasif/takut tapi lama-lama merasa enak.
Tidak Adaptif Tidak suka bunyi-bunyi keras, sulit diberi baju, sulit makan makanan baru.
5. Intensitas Reaksi Memadai Tidak pernah menangis bila ngompol/pipis/dingin/takut.
Tegang Cengeng, mudah menolak pemberian, mudah sedih, kecewa dsb.
6. Kualitas “MOOD” Positif Mudah tersenyum, tertawa, bekerja sama dengan orang lain.
Negatif Mudah cemberut/marah, bila keinginannya tidak terkabul, sulit dihibur bila sedih/marah.



B. Fisik
No Kualitas Keterangan
1. Dibandingkan dengan anak / remaja lain seusianya Lebih besar/sama/lebih kecil.
2. • Impresi observer tentang posisi tubuh anak bila berdiri, duduk, berjalan, lari.
• Pandangan mata.
3. Di dalam kelas dibandingkan anak lain  Lebih banyak bicara.
 Lebih diam.
 Lebih banyak berjalan di kelas.
 Lebih banyak bertanya.
 Lebih banyak mengganggu orang lain.
4. Di luar kelas (Misalnya: saat istirahat/olahraga).  Aktif mengikuti
 Tidak seaktif temannya.
 Tidak mengikuti sama sekali.
 Sendirian.
 Bergerombol.
 Berjalan-jalan.
 Diam di kelas.
5. Kecepatan melakukan tugas  Lebih cepat dari temannya.
 Sama cepatnya.
 Kalah cepat.



C. Sosial-Emosional
Keterangan
1. Keinginan Memulai Kegiatan
 Hampir selalu berinisiatif melakukan sesuatu. Menolak ide orang lain.
 kadang memerlukan bantuan dalam mengerjakan sesuatu. Bisa menerima pendapat orang lain.
 Butuh waktu lama sebelum melakukan kegiatan.
 Hampir tidak punya inisiatif melakukan kegiatan.
2. Pemusatan Perhatian
 Bisa bertahan dalam waktu lama pada aktivitas pilihannya.
 Betah mengerjakan sesuatu untuk kegiatan yang sesuai dengan umurnya sampai selesai.
 Butuh banyak dorongan untuk menyelesaikan tugas.
 Jarang dapat menyelesaikan tugas, mudah pindah dari aktivitas satu ke yang lain.
3. Keingintahuan
 Tertarik dengan ide-ide baru.
 Aktif mengeksplorasi barang-barang yang baru dalam ruang.
 Mudah tertarik hal-hal baru, tapi kemudian surut.
 Tidak tertarik dengan hal-hal baru.
4. Toleransi terhadap frustasi
 Mau mencari pemecahan masalah-masalah praktis. Bila gagal diterima dengan perilaku yang masak.
 Berusaha keras untuk berhasil dan menerima kegagalan dengan baik, tapi bila sangat frustasi perilaku kekanak-kanakan muncul.
 Mudah putus asa, menangis atau agresif bila frustasi.
 Tidak dapat toleransi sama sekali terhadap frustasi.
5. Hubungan dengan guru
 Mandiri, bahkan bisa membantu tugas guru.
 Hangat, hanya minta perhatian dan bantuan dari guru bila perlu.
 kadang memerlukan banyak bantuan dan kontak fisik, atau perhatian dengan cara-cara tidak umum.
 Selalu minta perhatian dan bantuan, kadang agresif atau tidak mengindahkan guru sama sekali.
6. Kepatuhan terhadap aturan
 Faham dan patuh terhadap aturan kelas / sekolah meski guru tidak ada.
 Biasanya patuh terhadap aturan tapi mudah melanggar peraturan bila dalam keadaan terpaksa.
 Sering mencoba melanggar aturan atau disiplin.
 Sering sekali melanggar aturan, menolak terhadap kegiatan-kegiatan rutin kelas/sekolah.
7. Reaksi terhadap orang dewasa
 Tertarik mau menyapa dan berbicara tapi tidak memonopoli pembicaraan.
 Tidak memulai menyapa / berbicara tapi akan merespon dengan baik bila didahului.
 Tidak merespon orang lain sama sekali, menolak kehadiran orang lain di kelas / sekolah.
 Marah / menangis / cemberut / bersembunyi bila ada orang lain.
8. Hubungan dengan anak / remaja lain.
 Selalu memulai permainan.
 Kadang-kadang memulai permainan atau menerima permainan yang dimulai anak lain.
 Sering menolak ajakan anak lain, bermain sendiri / tinggal di kelas.
 Menghindari anak lain hampir setiap waktu.

Contoh Pedoman Observasi
Pedoman Observasi Tentang Persepsi Karyawan Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Aspek Kriteria
Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang
1. Lingkungan Kerja
 Di dalam gedung
• Suhu udara
• Penerangan.
• Kebersihan.
• Polusi udara.
• Kebisingan.
 Di luar gedung
• Suhu udara
• Penerangan
• Kebersihan
• Polusi udara
• Kebisingan
2. Keadaan mesin dan peralatan
 Pemasangan tanda-tanda bahaya pada peralatan dengan resiko kerja tinggi.
 Pengecekan berkala terhadap peralatan kerja.
 Penyediaan peralatan penanggulangan bahaya ditempat-tempat strategis.
 Kondisi mesin-mesin yang digunakan.
 Pemeliharaan dan perawatan mesin di perusahaan.
3. Keadaan dan kondisi kerja
 Kenyamanan pekerja ketika bekerja di lingkungan kerja.
 Konsentrasi pekerja dalam bekerja.
 Kesehatan pekerja.
• Telinga
• Hidung
• Tenggorokan
• Jantung
• Hati
• Dan lain-lain
4. Cara kerja
 Pemakaian penutup telinga oleh pekerja ketika bekerja.
 Pemakaian penutup kepala bagi pekerja katika bekerja.
 Pengawasan terhadap pemakaian alat pelindung kerja oleh pekerja.
 Ketaatan pekerja dalam mengikuti prosedur baku bagi kegiatan rutin.
5. Pelayanan kesehatan
 Pelayanan dokter disediakan oleh perusahaan terhadap kesehatan pekerja.
 Pelayanan dokter yang disediakan oleh perusahaan dalam mengatasi kecelakaan yang terjadi.
 Penyediaan peralatan P3K di perusahaan.
 Tanggapan pihak menejamen terhadap keluhan pusing, mual, dari pekerja.
 Pelayanan oleh dokter ketika terjadi kecelakaan akibat kerja di perusahaan.
6. Komunikasi pelatihan K3
 Pmasangan tanda-tanda peringatan bahaya.
 Pemasangan nomor-nomor telepon untuk keadaan darurat.
 Pelaksanaan kursus-kursus keselamatan dan keselamatan kerja untuk pekerja.
 Publikasi tentang keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan.
7. Manajemen
 Keterlibatan menajemen dalam pemasangan tanda-tanda peringatan di tempat berbahaya.
 Peran menajemen perusahaan dalam memberikan latihan peran kebakaran dan keadaan darurat.
 Peran menajemen dalam kampanye keselamatan dan kesehatan kerja.
 Sikap menajemen dalam menerima keluhan yang berkenaan dengan K3.
 Peran pihak menajemen dalam mencari sumbernya bila terjadi kecelakaan kerja.
 Dukungan fasilitas yang diberikan pihak menajemen dalam pelaksanaan K3

Contoh :
Pedoman Observasi Tentang Stress di Tempat Kerja
Aspek Kriteria
Sangat Sering Sering Jarang Tidak Pernah
1. Fisiologis
 Pekerja sering tegang saat menghadapi pekerjaan.
 Pekerja tenang pada saat menyelesaikan tugas.
 Pekerja berkeringat dingin saat bekerja.
 Pekerja dapat bernafas dengan nyaman di lingkungan tempat bekerja.
 Pekerja kelelahan saat menghadapi pekerjaan yang menuntut seluruh tenaga secara optimal
2. Kognitif
 Pekerja tidak berkonsentrasi saat menghadapi pekerjaan.
 Pekerja sulit menerima petunjuk-petunjuk penting dari atasan.
 Pekerja memperhatikan bagian-bagian penting dari pekerjaan.
 Pekerja tidak dapat menangkap informasi penting yang berkaitan dengan pekerjaan dari atasan.
 Pekerja tidak dapat memutuskan untuk bertindak sesuatu dalam menyelesaikan masalah pekerjaan.
 Pekerja melewatkan langkah-langkah penting dalam menyelesaikan pekerjaan.
 Pekerja tidak dapat menyelesaikan pekerjaan dengan konsentrasi penuh.
3. Perilaku
 Pekerja bekerja kurang semangat.
 Pekerja marah-marah ketika bekerja.
 Pekerja gelisah bila sedang bekerja.
 Pekerja melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas.
 Pekerja berselisih dengan teman sekerja.
 Pekerja mengalami cedera saat melakukan pekerjaan.
 Pekerja memperhatikan hasil kerja teman sekerja.





Contoh Format Observasi 1















Contoh Format Observasi 2

Tema Observasi :………………………………………………………………………….
Lokasi Observasi :…………………………………..Tgl/jam :…………………………...
Jenis Observasi :………………………………………………………………………….
Observer :………………………………………………………………………….
Catatan :………………………………………………………………………….




Koding Data/Hasil Observasi



Read More......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com