Saturday, July 17, 2010

AUTISME PADA ANAK

Autisme adalah suatu kecacatan perkembangan yang mempengaruhi bagaimana seseorang berkomunikasi, berperilaku dan berhubungan dengan orang-orang di sekitar mereka. Istilah ini baru muncul pada tahun 1940-an.
Kita tidak tahu persis apa penyebabnya. Ada banyak mitos dan kesalahpahaman dalam masalah autisme ini. Bahkan, para ahli sendiri tidak selalu sepakat dengan tepat apa autisme itu sebenarnya, dan bagaimana cara yang paling benar dalam menangani anak-anak dengan autisme ini. Apa yang kita sebut autisme sebenarnya adalah salah satu dari berbagai kondisi secara kolektif yang disebut gangguan spektrum autisme (Autism Spectrum Disorders/ASD). Varian ASD lainnya adalah sindrom Asperger, dan Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS).

Karakteristik
Anak-anak dengan autisme memiliki kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan imajinasi. Mereka mengalami kesulitan menjalin persahabatan, dan kesulitan untuk memahami orang lain. Mereka tidak sepenuhnya memahami arti dari gerakan umum, ekspresi wajah atau nada suara. Mereka sering terlihat menyendiri dan acuh tak acuh terhadap orang lain. Mereka mengalami kesulitan untuk memahami kalimat-kalimat yang panjang dan instruksi.
Tidak hanya keterampilan komunikasi mereka saja yang miskin, tetapi mereka mungkin memiliki kebiasaan aneh lainnya; perilaku repetitif dan ritualistik, tangan melambai-lambai, atau berjalan berputar-putar, goyang, atau berbaris-baris sendiri.
Realitas bagi mereka adalah campur aduk yang membingungkan antara peristiwa, orang, tempat, suara dan pemandangan; yang seringkali membuat mereka cemas dan tertekan.
Kebanyakan orang dengan autisme memiliki kecacatan intelektual juga, dengan IQ di bawah normal. Kadang-kadang meskipun, mereka memiliki kemampuan memori yang baik, khususnya untuk hal-hal yang mereka telah melihat atau mendengar berulang-ulang. Sebagai contoh, mereka kadang-kadang dapat mengingat semua dialog dari sebuah film atau buku favorit.
Anak-anak dengan Sindrom Asperger kadang-kadang tidak terdiagnosis sampai mereka mulai bersekolah. Mereka dengan Sindrom Asperger seringkali membutuhkan perjuangan dalam interaksi sosial, namun seringkali memiliki kosakata yang lebih baik dan dapat bercakap-cakap panjang lebar tentang ’subjek favorit’ mereka. Anak-anak ini biasanya memiliki kemampuan intelektual dalam rentang normal dan mungkin tampak cukup berbakat intelektual dalam beberapa hal, tapi membutuhkan perjuangan di subjek yang lain.
Sedangkan Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) adalah diagnosis yang diberikan kepada anak-anak yang memiliki beberapa sifat-sifat ASD tapi tidak cukup parah harus didiagnosis baik sebagai autisme atau Asperger syndrome.
Penyebab
Kita tidak tahu persis apa yang menyebabkan ASD, tetapi ini merupakan gangguan perkembangan otak. Studi tentang orang-orang dengan kelainan autisme telah menunjukkan bahwa hal itu mungkin disebabkan oleh gangguan awal perkembangan otak janin.
Ada juga kecenderungan genetik dengan autisme, yakni cenderung untuk terjadi dalam beberapa keluarga. Sebuah keluarga yang sudah memiliki satu anak dengan ASD, kemudian memiliki keturunan kembar, hampir bisa dipastikan salah satu kembar terkena ASD.

Diagnosis
Gangguan spektrum autisme mempengaruhi sekitar 1-2 anak di antara 1000 anak. Anak laki-laki lebih cenderung terkena daripada anak perempuan. Gejala pertama muncul dalam dua atau tiga tahun pertama dalam hidup mereka.
Diagnosis biasanya dibuat oleh tim – seorang dokter (biasanya seorang dokter anak atau psikiater), ditambah seorang psikolog, ahli terapi bicara, terapis okupasi dan pekerja sosial. Harus ada sedikitnya dua gejala gangguan interaksi sosial; satu gejala perilaku repetitif dan ritualistik, dan kelainan dalam perkembangan bahasa, untuk diagnosis autisme. Anak-anak dengan Sindrom Asperger memiliki perkembangan kognitif yang normal.
Karena gangguan spektrum autisme didiagnosis berdasarkan kelainan dan keterlambatan dalam perkembangan bahasa dan keterampilan sosial serta keberadaan berulang fungsional non-ritual dan perilaku yang tidak normal, maka ada perselisihan antara pekerja kesehatan untuk kriteria diagnostik yang tepat dan bagaimana gangguan yang berbeda dalam kelompok didefinisikan dan diklasifikasikan.
Perawatan
Intervensi dini. Tidak ada obat untuk kondisi ini, tetapi mereka dapat berhasil diarahkan. Saat ini sudah ada bukti yang pasti bahwa intervensi awal dan kombinasi terapi wicara, struktur pendidikan, pelatihan ketrampilan sosial, terapi perilaku dan orangtua mempromosikan pendidikan dan pelatihan maladaptive, dapat mengurangi perilaku anti sosial mereka, meningkatkan komunikasi, keterampilan sosial dan keterampilan berpikir pada anak-anak dengan autisme.
Sayangnya, sebagian besar anak-anak autis di negara kita belum menerima jam intervensi awal yang cukup karena kurangnya pendanaan dan perhatian pemerintah. Anak-anak dapat dirawat di rumah atau di sekolah, tetapi secara umum, mereka belum dapat mengambil manfaat dari pelajarn yang diberikan kepada mereka.
Program perawatan harus dirancang secara individual kepada anak. Semakin cepat dimulai, akan semakin cepat hasilnya.
Obat. Pengaruh obat sebenarnya tidak menjamin adanya perbaikan yang lebih besar, meskipun sampai sepertiga anak-anak dengan autisme mengidap epilepsi, yang harus dirawat dengan obat-obatan. Sebagian besar obat yang diberikan adalah antidepresan dan obat penenang agar tidak berperilaku di luar kontrol yang dapat merugikan diri sendiri.
Kehidupan sehari-hari. Anak-anak autis memerlukan layanan khusus. Perhatian orangtua, serta perawat khusus untuk mengontrol perkembangan mereka, juga terapis.
Sekitar 15 persen dari anak-anak autis dapat hidup normal pada akhirnya – terutama jika tingkat kecacatannya ringan dan penanganannya sejak awal.

Read More......

TEMPER TANTRUM PADA ANAK

Temper tantrum adalah ledakan kemarahan yang terjadi secara tiba-tiba, tanpa terencana. Pada anak-anak, ini bukan hanya untuk mencari perhatian dari orang dewasa saja. Ketika mengalami tantrum, anak-anak cenderung melampiaskan segala bentuk kemarahannya. Baik itu menangis keras-keras, berteriak, menjerit-jerit, memukul, menggigit, mencubit, dsb.
Normalnya, tantrum (baca: marah-marah) pada anak-anak hanya terjadi sekitar 30 detik sampai 2 menit saja. Tapi, jika kemarahan berlanjut sampai pada tingkat yang membahayakan dirinya atau orang lain, maka ini bisa menjadi hal yang sangat serius.

Temper tantrum biasanya terjadi pada anak usia 1-4 tahun. Meski tidak menutup kemungkinan anak-anak yang lebih tua, bahkan orang dewasa pun pernah mengalami ledakan kemarahan ini. Dan pada dasarnya, marah-marah pada anak-anak usia 1-4 tahun adalah hal yang wajar terjadi bagi usia mereka. Kebanyakan anak-anak mengalami hal ini.
Mengapa harus marah-marah?
Temper tantrum biasa terjadi karena beberapa hal pemicu. Diantaranya adalah:
1. Frustrasi. Jangan dikira hanya orang dewasa saja yang bisa frustrasi. Anak-anak pun mengalami hal ini. Misalnya, anak-anak akan menjadi cepat marah manakala mereka tidak bisa mencapai sesuatu yang sangat mereka inginkan. Dalam artian, mereka gagal. Kegagalan memicu rasa frustrasi, dan akhirnya kemarahan itupun meledak.
2. Lelah. Anak-anak yang kelelahan, akan menjadi mudah marah. Aktivitasnya yang padat dan sedikit waktu bermain akan membuat anak-anak cepat marah dan emosi.
3. Orangtua terlalu mengekang. Sikap orangtua yang terlalu banyak mendikte dan mengekang anak, juga dapat berpengaruh bagi emosinya. Anak-anak yang merasa jenuh dengan kekangan orangtuanya, suatu saat akan mencapai titik puncak kejenuhan. Dan marah-marah adalah salah satu bentuk ledakan tersebut.
4. Sifat dasar anak yang emosional. Beberapa anak mewarisi sifat dasar emosional dari orangtuanya. Mereka ini cenderung tidak sabaran, gampang marah meski karena hal-hal kecil.
5. Keinginan tak dipenuhi. Salah satu kesalahan yang sering kali dilakukan orangtua adalah mereka begitu mudahnya membujuk anak-anak dengan iming-iming. Menangis sedikit, anak dibujuk dengan es krim atau mainan. Nah, akhirnya ini akan menjadi kebiasaan, dan anak-anak mengenali pola ini. Suatu ketika, ia memiliki keinginan akan sesuatu, ia akan menangis dan mengamuk jika keinginan tersebut tidak segera dipenuhi oleh orangtuanya.
Bagaimana mengatasinya?
Mengatasi anak-anak yang sedang mengamuk itu gampang-gampang susah. Penuh dilemma. Tapi, ada beberapa kiat yang bisa kita gunakan untuk mengatasi masalah ini.
1. Cari tahu penyebabnya. Dengan mengetahui penyebab anak-anak mengamuk, kita akan mudah menentukan langkah yang harus kita ambil dalam menghadapi mereka.
2. Jangan ikut emosi. Biasanya, orangtua akan ikut-ikutan menjadi emosi manakala anak mereka mengamuk. Orangtua bisa memukul, mencubit, dsb. Apakah itu solusi? Tidak. Anak-anak bukannya akan belajar mengatasi kemarahan mereka, tapi malah semakin menganggap orangtuanya jahat.
3. Abaikan dan ajari anak mengatasi kemarahannya. Jangan turuti semua hal yang diinginkan pada saat itu juga. Bersikap cuek dan tidak memperdulikan kemarahannya, sebenarnya adalah cara yang sangat jitu untuk membuatnya tahu, bahwa kemarahannya tidak bisa membeli keinginannya. Katakan padanya, bahwa hanya anak-anak yang menyampaikan keinginan dengan cara yang baiklah yang akan mendapatkan keinginannya itu dari Anda. Bukan dengan amukan, tangisan, bahkan berguling-guling. Sikap tegas dan konsistensi Anda dengan sikap ini akan membuatnya berlatih lebih disiplin.
4. Sudut diam. Dalam artian, bukan mengurung anak di kamar mandi atau di gudang. Tidak perlu main kunci pintu atau rantai. Cukup sediakan sebuah kursi yang Anda sebut sebagai kursi diam. Saat mengamuk, dudukkan anak disana, dan ia tidak boleh kemana-mana sampai ia bisa menenangkan diri. Boleh juga meminta anak untuk masuk ke kamarnya sendiri dan menenangkan diri. Ia boleh keluar dan kembali menyapa Anda setelah ia tenang.
Normalnya, memasuki usia 5 tahun, saat anak-anak mulai bersekolah dan bergaul dengan teman sebayanya, mereka telah mulai dapat mengatasi gejolak emosi mereka. Sesekali mungkin marah, tapi, mereka lebih bisa menahan diri. Nah, jika dalam waktu bertahun-tahun di masa sekolah mereka belum juga bisa mengatasi permasalahan ini, ini kemungkinan besar menunjukkan bahwa anak-anak bermasalah dalam emosinya. Bisa jadi, karena kesulitan belajar atau kesulitan bergaul dengan lingkungannya. Dan Anda butuh untuk berkonsultasi pada ahlinya untuk mengatasi masalah ini.

Read More......

ANXIETY DISORDERS: GANGGUAN RASA CEMAS

Semua orang hampir bisa dipastikan pernah mengalami apa yang disebut rasa cemas, gelisah, khawatir, dan panik. Rasa cemas adalah bagian dari emosi normal manusia. Anak-anak cemas saat di hari pertama mereka harus pergi sekolah, di kemudian hari ia cemas karena harus menghadapi ujian, orang dewasa cemas saat menanti hari pernikahannya, atau cemas saat harus membuat sebuah keputusan penting, dsb.
Tapi, rasa cemas ternyata bisa menjadi gangguan yang sangat parah dan melelahkan dalam kondisi tertentu. Ini bukan lagi rasa cemas yang normal. Gangguan ini sering disebut Anxiety Disorders dalam istilah psikologinya.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan anxiety disorders itu? Bagaimana gejalanya? Dan bagaimana mengatasinya?

Anxiety disorders adalah sebuah penyakit mental yang serius. Orang dengan gangguan ini biasanya memiliki rasa cemas yang besar dan berlebihan, dan sering kali rasa cemas ini melumpuhkannya.
Beberapa jenis anxiety disorders yang bisa kita jumpai adalah:
Panic disorders. Orang-orang dengan gangguan kepanikan ini biasanya sering merasa diteror secara tiba-tiba dan terjadi berulang kali. Mereka sering kali mudah berkeringat, merasakan sakit di dada, palpitasi (detak jantung tidak teratur), dan perasaan tersedak, yang dapat membuat seseorang merasa seperti sedang mengalami serangan jantung.
Obsessive-Compulsive Disorders (OCD). Orang-orang yang mengalami OCD ini biasanya memiliki gangguan pikiran yang konstan dan ketakutan-ketakutan tertentu akan sesuatu secara berlebihan sehingga mendorongnya untuk melakukan ritual atau rutinitas tertentu. Misalnya, orang yang takut pada kuman secara berlebihan sering kali berpikiran bahwa ada banyak kuman di sekelilingnya, sehingga setiap kali ia menyentuh sesuatu, ia harus segera mencuci tangan atau menggunakan pembersih tangan.
Post-traumatic stress disorder (PTSD). Orang dengan gangguan PTSD ini biasanya pernah mengalami trauma atau peristiwa yang sangat mengerikan seperti pelecehan seksual atau fisik, kematian tak terduga orang yang dicintai, atau bencana alam. Orang dengan PTSD sering memiliki pikiran dan kenangan yang abadi dan cenderung menakutkan terhadap kejadian tersebut. Biasanya, mereka cenderung mati rasa secara emosional.
Social anxiety disorders. Sering disebut juga sebagai fobia sosial, yakni kecemasan berlebihan seseorang terhadap lingkungan sosialnya. Orang-orang dengan gangguan ini biasanya takut dengan penilaian orang lain, takut diejek, takut tidak diterima oleh teman-temannya, dsb.
Spesific phobias. Biasanya, orang-orang dengan gangguan ini memiliki ketakutan-ketakutan terhadap hal-hal tertentu. Seperti takut ketinggian, takut darah, takut ular, takut terbang, dsb.
Generalized anxiety disorder. Gangguan ini melibatkan rasa khawatir yang berlebihan, sering kali tidak realistis, meski tidak ada hal-hal yang memprovokasi ketakutan tersebut. Orang-orang demikian sering kali mengalami halusinasi.
Gejala umum anxiety disorders:
1. Kepanikan/kecemasan yang berlebihan
2. Tidak terkendali, cenderung obsesif terhadap sesuatu
3. Sering mengalami kilas balik dari pengalaman trauma
4. Sering dihantui mimpi buruk
5. Memiliki perilaku ritual yang aneh, misalnya sering mencuci tangan berkali-kali
6. Sering berkeringat dingin
7. Sesak napas
8. Palpitasi (detak jantung tidak teratur)
9. Tidak bisa tenang atau diam
10. Sering mengalami ketegangan otot
11. Mual, pusing, dan sering kesemutan
Apa penyebabnya??
Gangguan kecemasan ini merupakan salah satu bentuk dari penyakit mental. Penyebabnya bisa apa saja, seperti ketidakseimbangan kimia dalam tubuh, perubahan struktur otak, stres lingkungan, trauma dan phobia, dsb.
Diagnosa penyakit mental ini hanya bisa dilakukan oleh dokter ahli. Tidak setiap orang bisa langsung menilai bahwa orang dengan gejala-gejala yang telah disbeutkan tadi berarti mengalami anxiety disorders ini. Dokter membutuhkan riset dan observasi terhadap perilaku pasien.
Bagaimana cara mengatasinya?
Gangguan kecemasan ini bisa diatasi dengan pengobatan, seperti pemberian anti depresan. Atau juga dengan psikoterapi, terapi perilaku, terapi relaksasi, atau bahkan diet. Biasanya para ahli membantu pasiennya untuk berbicara dan menemukan cara-cara untuk menangani gangguan ini.

Read More......

MENGENAL DISLEKSIA

Banyak orang yang belum mengerti apa itu disleksia. Bahkan, di kalangan para pendidik di sekolah-sekolah formal pun tidak banyak yang mengerti dan memahami permasalahan ini.
Apa itu disleksia?
Disleksia adalah gangguan pada penglihatan dan pendengaran yang disebabkan oleh kelainan saraf pada otak, sehingga anak mengalami kesulitan membaca. Atau bisa juga diartikan sebagai ketidakmampuan belajar neurologis yang disebabkan ketidakmampuan atau penurunan kemampuan otak dalam menerjemahkan informasi (visual dan auditorial) yang diterima oleh mata dan telinga ke dalam bahasa yang dimengerti.

Anak-anak dengan disleksia bukan berarti buta atau tuli. Mereka mendengar, namun mereka tidak mampu menuliskannya di atas kertas. Mereka memahami kata-kata yang didengar, tapi mereka kesulitan untuk menulis ulang dan bingung dengan susunan huruf-huruf. Atau ketika mereka sedang membaca, mereka sering kali melewatkan beberapa huruf, suku kata, bahkan kata dan frasa. Mereka membaca seolah huruf-huruf itu berlompatan dan terbolak-balik.
Disleksia disebabkan oleh faktor genetis. Tidak harus langsung dari orangtua, namun bisa jadi dari kakek-nenek, atau buyut-buyut mereka. Hampir 5%-10% anak-anak di seluruh dunia mengalami gangguan ini.
Apakah anak-anak dengan disleksia adalah anak yang bodoh?
Oh, jangan pernah beranggapan demikian! Anda salah besar jika menganggap bahwa anak-anak disleksia adalah anak yang bodoh dan tertinggal. Karena kenyataannya, ada banyak kasus, anak-anak disleksia justru memiliki IQ yang lebih tinggi daripada anak-anak normal.
Pada dasarnya, penyandang disleksia adalah seorang yang tajam secara visual, berintuisi tinggi, dans eorang pemikir multidimensional. Apa yang mereka alami adalah kecacatan dalam sistem saraf mereka. Bukan cacat dalam kemampuan intelektual.
Kesalahpahaman yang terjadi sering kali menganggap bahwa anak-anak yang tidak bisa membaca dan menulis, bahkan mengeja dengan benar adalah anak-anak yang bodoh dan pemalas. Tunggu! Jangan cepat-cepat memvonis sebelum melakukan tes dan mendapatkan hasil yang akurat!
Bagaimana mengetahui seorang anak itu disleksia atau tidak?
Mudah mengetahui gejala awal anak-anak dengan gangguan disleksia, asalkan orangtua cermat memperhatikannya. Ambil sebuah buku cerita bergambar, lalu mintalah si kecil untuk menceritakan gambar yang ia lihat. Penyandang disleksia biasanya akan mengungkapkan dengan cerita yang tidak nyambung dengan gambarnya. Kemudian, bacakanlah buku cerita itu dengan suara yang keras dan berulang-ulang. Lalu minta si kecil untuk menceritakannya kembali. Jika ia masih juga menginterpretasikannya dengan gambar dan cerita yang tidak nyambung, maka kemungkinan besar anak tersebut mengalami disleksia.
Cara lain untuk mengenalinya bisa juga dengan memberikannya soal-soal secara lisan. Anak-anak disleksia mampu menjawab berbagai soal yang dibacakan atau diajukan secara lisan. Namun ketika menghadapi soal tertulis dengan soal yang sama, mereka mengalami kesulitan.
Indikator lain:
• lamban mengeja dan membaca, atau sering kali merasa ragu dan tidak yakin.
• melewatkan huruf, suku kata, kata, bahkan frasa saat membaca dan menulis. atau sering kali urutannya salah. tidak seperti kata atau kalimat yang diperintahkan atau ingin ia tulis sendiri.
• sering mengabaikan tanda baca
• mampu menghubungkan kata per kata, namun saat diulangi atau saat menemukan kata yang sama mereka tidak mengenalinya lagi.
• melihat huruf seolah-olah mundur dan terbalik. begitu juga saat menuliskannya.
• suka membuat kata-kata sendiri yang tidak memiliki arti.
• mengalami sakit kepala atau sakit perut setiap kali harus membaca dan mengeja dalam waktu yang lama.
Seorang anak dinyatakan disleksia apabila mereka telah menjalani serangkaian tes khusus untuk para penyandang disleksia. Jika Anda memiliki anak dengan beberapa ciri di atas, segera lakukan pengecekan di psikolog atau ahli anak agar Anda dapat segera melakukan penanganan sejak dini.

Read More......

free sex

A. Pengertian Seks Bebas
Dalam kultur masyarakat kita, kata 'seks" hampir selalu berkonotasi negatif. Begitu mendengar kata "seks" yang terbayang adalah aktivitas yang terkait dengan hubungan kelamin. Bagi sebagian orang, seks memang masih dianggap tabu. Sehingga, berbicara mengenai seks harus secara pribadi. Kondisi ini amat memprihatinkan, karena pengetahuan seks sangat penting. Bagaimanapun, seks berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Jika konsep mengenai seks yang diterima salah, maka banyak akibat dan risikonya. Serta, penanganan aktivitas seks juga bisa tidak tepat.

Banyak orang yang memandang seks sebagai konsumsi orang dewasa. Remaja apalagi anak-anak, tidak diperbolehkan mengetahui seks. Padahal justru pada masa remaja, pendidikan seks harus dimulai diberikan. Dan pada masa itu mereka sedang mengalami perubahan organ-organ seks, baik primer maupun sekunder. Jika tidak diberikan pengetahuan yang cukup, ditakutkan malah salah arah.
Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu definisi kata "seks" itu sendiri. Seks memang memiliki definisi yang luas. Namun, jika kita berbicara mengenai seks secara keseluruhan, maka yang dimaksudkan adalah pendidikan mengenai jenis kelamin. Definisi seks, dapat dikelompokkan menurut beberapa dimensi, diantaranya:
 Dimensi Biologis
Berkaitan dengan alat reproduksi. Di dalamnya termasuk pengetahuan mengenai hormon-hormon, menstruasi, masa subur, gairah seks, bagaimana menjaga kesehatan dan gangguan seperti PMS (penyakit menular seksual), dan bagaimana menfungsikannya secara optimal secara biologis.
 Dimensi Faal
Mencakup pengetahuan mengenai proses pembuahan, bagaimana ovum bertemu dengan sperma dan membentuk zigot dan seterusnya.



 Dimensi Psikologis
Seksualitas berkaitan dengan bagaimana kita menjalankan fungsi kita sebagai mahluk seksual dan identitas peran jenis. Serta mengapa pria dipandang lebih agresif daripada wanita.
 Dimensi Medis
Adalah pengetahuan mengenai penyakit yang di peroleh akibat hubungan seks, terjadinnya impotensi, nyeri, keputihan dan lain sebagainya.
 Dimensi Sosial
Seksualitas berkaitan dengan hubungan interpersonal (hubungan antar sesama manusia). Seringkali, hambatan interaksi ditimbulkan oleh kesenjangan peran jenis antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan pola asuh yang lebih memprioritaskan posisi laki-laki. Anggapan tersebut harus diluruskan. karena jenis kelamin tidak menentukan mana yang lebih baik atau berkualitas.
Yang penting bagaimana membentuk kualitas hubungan yang baik antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana menciptakan kesetaraan yang proporsional, dapat membedakan mana peran kodrati dan peran masyarakat?

B. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Seks Bebas di Kalangan Remaja

Diantara faktor-faktor yang melatar belakangi seks bebas dikalangan remaja adalah:
 Masalah sex dianggap immoral, tabu dan terlarang.
 Komunikasi anak kepada orang tua tentang seks cenderung tertutup meskipun seorang anak memiliki komunikasi yang bagus dengan kedua orang tuanya. Sehingga pendidikan seks dari orang tua kepada anak kurang. Dari situ anak-anak dapat mengetahui seks dari teman, film-film, bahan bacaan seperti novel atau bahkan komik.
 Pengaruh era globalisasi
 Pengaruh Napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya)
 Adanya short message system (SMS) di handphone
Misalnya: Joni lagi bugil, Umi tanya, "Jon, itu apa?" Joni: "BUNGA. Coba pegang. Tuh kan MEKAR!" Umi cerita pada Ani. Ani marah, "Sialan, kmrn dia blg ROKOK jd aku ISEP!". Mengingat banyak siswa sekarang memiliki dan membawa telpon genggam dan pengiriman SMS itu terhitung sangat murah maka peredarannya sangat cepat di kalangan siswa.
 Banyaknya anak-anak SLTP, khususnya putra, cenderung sudah menonton VCD porno (mereka menyebutnya sepep) paling lambat kelas 3 setelah ujian akhir selesai yang pada saat itu umumnya mereka memiliki waktu luang sebelum masuk SMU dan secara psikologis lelah selama sekian bulan didril soal-soal ujian dan mengikuti ujian itu sendiri.
 Anak-anak remaja sekarang cenderung sudah mengenal internet
Bisa dikatakan batas antara surga dan neraka di internet begitu tipisnya. Banyak sekali situs-situs positif yang bisa mencerdaskan dan mencerahkan jiwa, tetapi banyak pula yang berkaitan dengan seks atau situs terlarang, seperti halnya situs yang memperlihatkan banyak pose orang telanjang khususnya wanita atau (situs seks).
Data terakhir yang bisa diperoleh melalui fasilitas search di WWW.Yahoo.com, situs tentang seks ada 5.213 situs, tentang gay 4.515 situs, homosex ada 696 situs, lesbian 3.316 situs, porno 489 situs (dilakukan tanggal 25 Agustus 2002 pukul. 21.00). Jumlah itu lebih sedikit ketika saya menceknya pada tanggal 24 Mei 2002 pukul. 17.00). Padahal banyak pula situs yang namanya tidak berkaitan dengan seks tetapi berisi pornografi. Apabila kita mencoba mengakses setiap situs barang 5 menit saja, akan dibutuhkan waktu lebih dari 1.100 jam yang setara dengan hampir 50 hari tanpa henti. Tetapi masalahnya internet sudah menjadi kebutuhan mereka.
Dunia tidak surut ke belakang, dan internet adalah dunianya, lalu apa yang harus diperbuat untuk mengurangi ekses negatif dari internet tersebut? Mengenai kecepatan peredarannya jangankan SMS, VCD Bandung Lautan Asmara yang relatif mahal saja sangat cepat peredarannya di kalangan siswa.
 Di kalangan siswa sendiri berkembang idiom-idiom yang berhubungan dengan seks yang merupakan plesetan atau kepanjangan dari merek rokok. Misalnya merk rokok ARDATH mereka artikan Aku Rela Diperkosa Asal Tidak Hamil, atau Djisamsu yang mereka artikan Djion sampai subuh.
 Banyaknya bacaan, gambar-gambar, vcd yang menunjukkan pornografi
 Adanya kecenderungan perubahan pandangan masyarakat atas pernikahan.
Pernikahan tidak lagi dipandang sebagai institusi yang sakral atau sebagai fungsi prokreasi tetapi mulai mengarah ke fungsi rekreasi belaka. Keadaan ini juga dilihat oleh para siswa khususnya kehidupan masyarakat barat melalui film-film barat. Jika pernikahan dianggap hanya berfungsi rekreasi belaka, maka untuk apa menikah apabila tujuan rekreasi itu sudah bisa tercapai tanpa menikah.
Dari penjelasan diatas terlihas jelas bahwa dengan adanya teknologi tinggi dalam realita sekarang, kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan dengan mudah melalui bacaan, gambar-gambar, vcd, handphone dan internet. Sehingga remaja sekarang mencoba untuk mengenal/memahami inti dari seks tanpa adanya bimbingan baik dari orang tua maupun lainnya. Itulah mengapa mereka terjebak dalam seks bebas daripada pendidikan seks.

C. Dampak Seks Bebas di Kalangan Remaja
Dari sisi kesehatan, perilaku seks bebas bisa menimbulkan berbagai gangguan. Diantaranya, terjadi kehamilan yang tidak di inginkan. Selain tentunya kecenderungan untuk aborsi, juga menjadi salah satu penyebab munculnya anak-anak yang tidak di inginkan. Keadaan ini juga bisa dijadikan bahan pertanyaan tentang kualitas anak tersebut, apabila ibunya sudah tidak menghendaki.
Seks pranikah, juga bisa meningkatkan resiko kanker mulut rahim. Jika hubungan seks tersebut dilakukan sebelum usia 17 tahun, risiko terkena penyakit tersebut bisa mencapai empat hingga lima kali lipat. Selain itu, seks pranikah akan meningkatkan kasus penyakit menular seksual, seperti sipilis, GO (ghonorhoe), hingga HIV/AIDS. Androlog Anita Gunawan mengatakan, kasus GO paling banyak terjadi. Penderita bisa saja tidak mengalami keluhan. Tapi, hal itu justru semakin meningkatkan penyebaran penyakit tersebut.
Anita menggolongkan penyakit GO tersebut ke dalam subklinis, kronis dan akut. Subklinis dan kronis, kata anita, tidak menimbulkan gejala serta keluhan pada penderita. Sedangkan GO akut akan menampakan gejala, seperti sulit buang air kecil atau sakit pada ujung kemaluan. "Pada pria biasanya menampakan gejala. Berbeda dengan wanita, seringkali tidak menampakan gejala yang jelas. Paling-paling hanya timbul keputihan atau anyang-anyang," ujarnya.
Bagaimana dengan GO yang sudah parah? Dr Boyke Dian Nugraha menjelaskan, untuk GO yang sudah parah dapat menyebabkan hilangnya kesuburan, baik pada pria maupun wanita. Saluran sperma atau indung telur menjadi tersumbat oleh kuman GOAktifitas seks bebas mungkin sesuatu yang biasa di negara lain khususnya dalam kehidupan barat, tetapi tidak di negara kita Indonesia. Itu sesuatu yang dilarang dalam masyarakat kita. Seks bebas mungkin membuat setiap orang senang untuk melakukannya, akan tetapi akibatnya bisa fatal.
Gangguan lainya diantaranya, terjadi kehamilan yang tidak di inginkan. Selain tentunya kecenderungan untuk aborsi, juga menjadi salah satu penyebab munculnya anak-anak yang tidak di inginkan. Keadaan ini juga bisa dijadikan bahan pertanyaan tentang kualitas anak tersebut, apabila ibunya sudah tidak menghendaki.
Seks bebas bisa merusak kesehatan karena bisa menyebabkan AIDS. AIDS bisa membuat kehidupan kita tak berguna, dan merusak hidup kita meskipun kita menghindarinya dengan kondom ketika kita berhubungan seks, ia masih tidak bisa dihindari. Setiap orang bisa terkena jika kita tidak mencoba untuk menghindarinya.
Adanya pernikahan dini akibat 'kecelakaan' atau hamil sebelum menikah. Padahal, menurut mereka, pernikahan dini cenderung mengakibatkan bayi yang terlahir berIQ rendah atau tumbuh secara tidak normal/lambat. Si ibu sendiri akan merasa malu.

D. Penanggulangan Seks Bebas di Kalangan Remaja
Diantara langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menanggulangi seks bebas dikalangan remaja yaitu:
 Orang tua harus memberikan pendidikan seks yang cukup.
Pendidikan seks itu penting untuk kita. Tetapi, sebagian orang tua masih berpikir bahwa jika anak-anak belajar tentang seks, ada keinginan dalam pikiran mereka untuk melakukannya. Tidak selalu seperti itu! Sungguh! Kita bisa belajar tentang fungsi alat-alat genital kita seperti untuk apa penis itu? Bagaimana anak laki-laki membersihkannya? Dan untuk wanita: sel telur, uterus, vagina dan lain-lain. Kita juga bisa belajar tentang alat kontrasepsi.
 Para orang tua sangat perlu untuk meningkatkan pengawasan terhadap putra-putri mereka khususnya apabila mereka mengakses internet. Patut dihindari pula sikap permisif yang serba membolehkan keinginan anak misalnya dalam penyediaan handphone. Fungsinya sebagai alat untuk mempermudah komunikasi, apabila sejak awal tidak diberikan pengertian tersebut kepada mereka, salah-salah malah digunakan untuk saling berkirim SMS dan gambar porno, apalagi jika kita melihat perkembangan teknologi terakhir pembuatannya yang sudah dapat dipakai untuk mengirimkan gambar. Orang tua juga seyogyanya terbuka untuk membicarakan masalah seks dengan anaknya sejak dini. Jangan malah anak-anak mendapatkan informasi seks dari teman-temannya yang sama-sama tidak mengerti tentang hal tersebut.
 Diberikannya pendidikan seks di sekolah-sekolah di Indonesia untuk menghindari kasus 'seks sebelum menikah'.
Diantara langkah-langkah yang bisa dilakukan seorang guru untuk menanggulangi seks bebas dikalangan pelajar diantaranya adalah:
o Disiplin sekolah
Sistem sekolah, aturan sekolah, kebiasaan sekolah merupakan wadah pengikat yang akan mengatur seluruh keluarga besar sekolah baik guru, murid atau unsure lainnya. Dari segi pergaulan antara guru dan murid, bisa kita lihat ada sekolah yang menganggap biasa kalau guru laki-laki memegang tangan siswi, bersalaman, merangkul bahunya, atau memeluknya. Contoh yang lebih ekstrem lagi kalau guru dan murid sudah biasa pergi bersama-sama, dengan alasan demi pelajaran.
Dalam hal ini, di sekolah sangat penting dibiasakan ada batasan pergaulan/komunikasi antara guru dengan murid, apapun alasannya, dalam hal ini guru laki-laki dengan siswi. Karena aturan sekolah yang ketat akan menjadi pembatas prilaku bagi semua pihak untuk bertingkah laku sebaik mungkin.
o Aturan berpakaian
Kalau ingin melihat aturan sekolah dilaksanakan, lihatlah dari cara berpakaian murid. Bagaimana mungkin aturan sekolah benar-benar dilaksanakan kalau ada siswi memakai rok mini yang memperlihatkan pahanya. Untuk hal ini jadi ingat dengan tayangna-tayangan TV yang tiap hari menayangkan kehidupan sekolah dengan gaya berpakaian siswi yang minta ampun, dimana kemeja siswi dipendekkan sehingga pusar atau perutnya kelihatan.
Dalam upaya menertibkan pakaian murid, sekolah bisa memulai ketika murid masuk pintu gerbang sekolah. Mereka dilihat dan kemudian ditegur dengan berbagai cara berkaitan dengan aturan berpakaian. Kegiatan ini bisa melibatkan satpam sekolah, guru piket, wakil kepala sekolah, dan terutama kepala sekolah. Siswa/siswi yang berprilaku aneh/menyimpang bisa diketahui selintas dari cara berpakaian ynag berani, rmbut dicat, sepatu warna-warni, tidak memakai tanda lokasi sekolah, nama, dan sebagainya. Dari cara berkedaraa, atu sikap murid ketika berpapasan dengan guru
o Digugu dan ditiru
Salah besar kalau merasa sudah bisa mengajar di depan kelas, serlesailah tugas seorang guru. Bagi murid seorang guru dilihat tidak saja di depan kelas mengajar, tetapi di kantor, ketika sedang berbincang-bincang santai dengan guru-guru yang lain, atau di luar sekolah. Ada hal-hal kecil di mata guru yang bisa menjadi besar bagi murid. Ketika murid dilarang merokok di sekolah/di kelas, hal ini bisa dilakukan dengan bebas oleh guru. Murid dilarang berkata kasar, tetapi berapa banyak guru yang perkataannya selain kasar juga tidak pernah mau mengalah kepada murid.
Jika murid dilarang menggunakan HP ketika Kegiatan Belajar mengajar (KBM) berlangsung, mengapa Guru bebas mengobrol di telefon ketika sedang mengajar. Ini adalah diskriminasi peraturan, buatlah peraturan yang disepakati bersama. Dalam hal komunikasi, guru mempunyai kesempatan yang sangat luas dan terbuka untuk berkomunkasi dengan murid. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk kepentinganyang tidak baik. Karena itu, jadilah guru panutan yang setiap tutur katanya, setiap gerak langkahnya jadi contoh bagi murid.
o Kebiasaan buruk
Upaya menciptakan sekolah yang tidak sekedar berprestasi tetapi juga berakhlaq baik, bukan pekerjaan yang mudah, butuh perjuangan tanpa henti. Karena itu, sekolah harus menciptakan suatu kebiasaan, menciptakan pola prilaku, menumbuhkan satu system yang akan mampu menjadikan seluruh anggota keluarga sekolah sejak datang asampai pulang atau selesai sekolah akn tetap menjaga dirinya.
Sangat perlu diciptakan kondisi belajar yang kondusif, edukatif tetapi menarik, bikin murid patuh tetapi betah, serta kegiatan eskull yang sesuai denan minat murid. Ciptakan kegiatn konseling yang menentramkan murid bukan malah menakutkan murid. Ada anggapan kalau murid dipanggil ke ruang BK dengan guru-gurunya yang siap dengan solusi. Hidupkanlah kegiatan keagamaan di sekolah secara luwes, menarik serta tidak mendoktrin. Hilangkanlah anggapan kegiatan agama hanya untuk orang "baik" sehingga banyak siswa takut, segan atau malas mendekati tempat ibadah.
o Sumber nilai/norma
Alangkah baiknya jika sekolah berfungsi sebgai media informasi yang meneydiakan berbagai informasi yang bernilai baik maupun informasi yang buruk. Dengan catatan, untuk nilai-nilai yang baik sebagi nilai yang patut dijadikan contoh dan ditiru. Sedangkan nilai-nilai yang buruk disampaikan sebagai cermin untuk dijauhi atau tidak dilakukan. Bisa jadi, perbuatan menyimpang ynag dilakukan murid karena ketidaktahuan mereka.
o Para guru, khususnya guru SMU, perlu merespon persepsi para siswa tentang seks bebas dengan memasukkan tema seks bebas dalam proses KBM, misalnya untuk kelas 1 semester 1 ke dalam tema Family Life (Marriage), kelas 2 semester 1 ke dalam tema Culture and Art dan mengaitkannya dengan nilai-nilai imtaq.
o Guru perlu memandu para siswa dalam menuliskan, menyajikan dan mendiskusikan tema seks bebas dan pendidikan kesehatan reproduksi supaya proses pembelajaran dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.
Pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan remaja khususnya disekolah bukan hanya memberikan pengetahuan tentang organ reproduksi, tetapi juga bahaya akibat pergaulan bebas, seperti penyakit menular seksual dan sebagainya. Dengan demikian, anak-anak remaja ini bisa terhindar dari percobaan melakukan seks bebas,
 Pemerintah khususnya Depdiknas perlu mengkaji ulang muatan kurikulum supaya lebih berorientasi kepada kondisi perkembangan psikologis siswa dan perlu memasukkan pendidikan seks sebagai bagian dari kurikulum.
 Sekolah sudah saatnya untuk membuka warung internet sendiri sehingga dapat membimbing para siswa untuk mengakses situs-situs yang positif.
 Pemerintah dan aparat penegak hukum harus menerapkan hukum yang ketat untuk menghilangkan atau memberantas tunta peredaran bahan-bahan pornografi (VCD porno), paling tidak membatasi. Walaupun begitu pornografi tidak bisa langsung dihilangkan dari kehidupan kita karena hampir sebagian besar dari kita sangat menyukainya.
 Kesadaran akan pentingnya bimbingan dari luar diri remaja misalnya orang tua yaitu pada masa-masa mereka pacaran. Dalam masa ini langkah-langkah yang perlu dilakukan remaja yaitu . Mereka harus mengatakan kepada orang tuanya tentang hubugannya, karena mereka butuh bimbingan dari orang yang lebih tua dan juga untuk melindungi mereka dari melakukan hal-hal yang buruk .
 Untuk para perempuan jangan diperbodoh oleh lelaki. Pikirkan sebelum kamu buat keputusan dan pedulilah pada diri sendiri pada masa ini. Kamu harus berfikir sebelum melakukan sesuatu dengan pacarmu. Jagalah keperawananmu sampai hari pernikahanmu. Jangan mudah mencium laki-laki. Jaga keparawanan dan ciuman pertamamu hanya untuk suamimu. Pilihlah laki-laki yang terbaik untuk menjadi suamimu, partner abadimu. Jangan lihat pada muka atau hal-hal fisik, lihatlah kepribadian mereka. Dan kau akan temukan yang terbaik
 Untuk para laki-laki, kamu harus menghormati perempuan. Jangan mempermainkan hati mereka, mereka bukanlah boneka. Persiapkan sebelum kamu melangkah jauh dalam suatu hubungan. Jadilah pria yang bertanggung jawab, dan kau dapat membangun suatu hubungan setelah kamu memiliki tanggungjawab. Hormati wanita karena mereka adalah sesuatu yang berharga di dunia ini. Cobalah memahami perasaan wanita. Dan kau akan menjalani hubunganmu untuk waktu yang lama.
 Para remaja harus menjaga hubungan dengan lawan jenis, hindari kehamilan sebelum menikah. Karena pernikahan dini akan membuat masa depan mereka hancur.
 Ingatlah Tuhan, aturan-aturan-Nya bagi hidupmu. Dan lihatlah perilakumu apakah cocok atau tidak dengan budayamu.
 Untuk menekankan jumlah pelaku seks bebas terutama di kalangan remaja bukan hanya membentengi diri mereka dengan unsur agama yang kuat, juga dibentengi dengan pendampingan orang tua Dan selektivitas dalam memilih teman-teman. Karena ada kecenderungan remaja lebih terbuka kepada teman dekatnya ketimbang dengan orang tua sendiri.
 Untuk penghuni kos, selain perlu dilakukan pengawasan yang ketat dan intensif dari pemilik kos secara proporsional, juga meningkatkan kesadaran dari orang tua untuk memilihkan tempat kos bagi anak-anaknya yang layak dan aman.
Memang pendidikan seks sangat penting bagi anak remaja khususnya anak sekolah. Oleh karena itu, pentingnya penyadaran bahaya seks bebas untuk siswa SMU. Proses penyadaran tersebut tidak kita lakukan, maka akan terjadi konflik moral yaitu konflik antara beberapa kecenderungan prilaku manusia dan sistem tatanan yang otoritasnya dikenali betul (Thouless, 1992:71). Ada hukum moral yang mereka anggap baik, tetapi di sisi lain mereka sadar bahwa mereka tidak bisa lepas dari hal itu. Inilah yang menyebabkan konflik moral. Memang konflik yang umum terjadi di kalangan remaja adalah konflik seks. Mereka ingin bergaul erat dengan lawan jenis, berbuat sesuai dengan dorongan yang timbul dari dalam dirinya, akan tetapi hal itu bertentangan dengan larangan-larangan atau pantangan-pantangan agama dan nilai-nilai sosial (Daradjat, 1970:79-80).
Apabila seorang siswa nampak menjadi pemalas, tak acuh, sakit-sakitan, prestasi menurun, nakal dan sebagainya bisa jadi itu adalah tampakan luar dari konflik moral yang dihadapi. Dalam bukunya yang lain, kondisi demikian oleh Daradjat disebutnya sebagai kondisi stress, dan stress ini adalah sumber ketidakbahagiaan. Untuk menghindarinya diperlukan media untuk menumpahkan ganjalan-ganjalan hati yang mereka punyai, mungkin psikolog, atau guru tertentu jika di sekolah (Daradjat, 1990:30-31). Konflik moral tersebut memang bisa pula terjadi akibat proses pendidikan yang memberikan pe
Konflik moral menurut A. Malik Fajar ternyata telah melahirkan manusia Indonesia dengan kepribadian pecah (split personality). Hal itu bisa dilihat dari kehidupan sehari-hari masyarakat yang di satu sisi betapa kehidupan beragama secara fisik berkembang pesat namun di lain sisi betapa banyaknya perilaku masyarakat itu sendiri yang bertentangan dengan ajaran agama yang dipeluknya (Fajar, Pendidikan Sebagai Praksis Humanisasi, Majalah GERBANG, Edisi 2 TH. II, Agustus 2002, hal. 45).
Sehingga stakeholder harus memberi ruang siswa untuk mengungkapkan apa sebenarnya pandangan mereka tentang seks bebas melalui media-media yang berfungsi sebagai media pengendalian diri, berupa penyadaran diri seperti yang dianjurkan Daradjat. Tentu saja ada metode lain yang lebih personal. Daradjat mengatakan bahwa media taubat dalam Islam merupakan cara terbaik untuk mengembalikan keseimbangan jiwa mereka (Daradjat, 1970: 80).
Memang media-media diatas merupakan salah satu alat penunjang bagi kita, akan tetapi perlu kita ketahui bahwa fenomena seperti diatas merupakan tanda kemunduran prilaku, dekadensi moral, dampak buruk globalisasi yang akan semakin menerpurukkan kita. Tetapi disisi lain, ada secercah harapan bahwa masalah seberat apapun selalu ada jalan keluarnya. Apalagi yang menguatkan kita kalau bukan optimisme, harapan baik atau keinginan kita untuk terus berikhtiar. Biarlah kita terus berupaya bukankah kita punya Allah.

Read More......

problem solving

1.Pengertian Problem Solving
Masalah adalah kesenjangan antara apa yang terjadi dengan segala hal dan apa yang seharusnya terjadi dengan hal-hal tersebut .Pemecahan masalah sering melibatkan hal-hal yang sudah terjadi .

Pemecahan masalah oleh Evans (1991) didenifikasikan sebagai suatu aktivitas yang berhubungan dengan pemilihan jalan keluar atau cara yang cocok bagi tindakan dan pengubahan kondisi sekarang (presen state) menuju kepada situasi yang diharapkan (future state / desire goal) (Makalah psikologi kognitif, 2003).
Penelitian problem solving banyak dilakukan oleh Psikolog Gestalt di Jerman .Gestalt memiliki pengertian “konvigurasi” atau pengorganisasian secara keseluruhan . Psikologi Gestalt memandang bahwa prilaku merupakan sistem organisasi . Persepsi tentang peristiwa tidak dilihat sebagai suatu seri elemen-elemen individual (tunggal), tetapi suatu konfigurasi keseluruhan yang membentuk peristiwa-peristiwa . Menurut paham ini , masalah-masalah perceptual akan eksis bila stress dan katagangan terjadi sebagai hasil interaksi antara persepsi dan memori . Oleh karena itu ,waktu memikirkan suatu masalah lalu diuji dengan beberapa sudut pandang yang berbeda akan membawa pandangan yang benar melalui moment insight.
Karl Duncker (1945) mengungkapkan konsep functional fixed ,dimana terdapat kecendrungan untuk melihat suatu objek dari seringnya benda tersebut digunakan .Akibatnya tinbul kasulitan bila benda tersebut digunakan pada kondisi atau cara yang tidak lazim .Suatu nobjek atau ide hanya menjadi set fungsi .Biasanya istilah set diasosiasikan dengan pernyatan pikiran (kebiasaan / sikap)seseorang yang digunakan untuk memecahkan masalah . Tegasnya , set marupakan persiapan aktivis kognitif yang mendahului proses berpikir dan persepsi , sehingga dalam konteks tersebut , set kemungkinan dapat meningkatkan kualitas persepsi atau pemikiran seseorang daiam memaknai suatu stimulus (Slamet, 1999 : 1).
Dari penjelasan di atasd dapat disimpulkan bahwa Problem Solving adalah berpikir secara langsung yang berhubungan dengan sikap / kebiasaan kearah penyelesaian masalah yang dihadapi , yang meliputi pembentukandan pemilihan respon-respon yang tepat
.
2. Faktor-faktor Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional dan personal. Faktor-faktor situasional terjadi , misalnya pada stimulus yang menimbulkan masalah , pada sifat-sifat masalah, sulit-muda, baru-lama, penting-kurang penting, melibatkan sedikit atau banyak masalah lain .
Faktor-faktor pemecahan masalah menurut Wolgaf Kohler antara lain :
1. Motivasi
Motivasi yang rendah mengalihkan prehatian, sedangkan motivasi yang tinggi membatasi fleksibilitas .
2. Kepercayaan dan sikap yang salah
Anggapan / asumsi yang salah dapat menyesatkan kita . Bila kita percaya bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dengan kekayaan materiil, kita akan mengalami kersulitan atau sikap yang defensif (kurang percaya diri) akan cenderung menolak informasi baru , merasionalisasikan kekeliruan dan mempersukar penyelesaian .
3. Kebiasan
Kecendrungan mempertahankan pola piker tertentu atau melihat masalah dari satu sisi saja atau kepercayaan yang berlebihan dan tanpa kritis pada pendapat otoritas, sehingga pemecahan masalah efisien .
4. Emosi
Dalam menghadapi berbagai situasi kita tanpa sadar serimg terlibat secara emosional . Emosi mewarnai cara berpikir kita. Sebagai manusia yang utuh, kita tidak dapat mengesampingkan emosi . Resah, marah, dan cemassangat membatasi kemampuan kita dalam melihat masalah dengan jelas atau merumuskan kemungkinan pemecahan (Rahmat, 2001 : 73).

Read More......

Monday, July 12, 2010

IDENTIFIKASI MULTIPLE INTELLIGENCE WITH FINGER PRINT TEST (FPT)

FINGER PRINT TEST (FPT)
FPT adalah suatu sistem analisa sidk jari yang bertujuan untuk mengungkapkan potensi genetik (bawaan sejak lahir) seseorang dalam kaitannya dengan bakat, kecerdasan, kecenderungan karakter , dan motivasi. FPT merupakan suatu metode ilmiah yang didasari berbagai disiplin ilmu , antara lain : Ilmu / Science & Research of Dermatoglyphics, Ilmu kedokteran dan anatomi tubuh, khususnya mengenai fungsi-fungsi bagiain otak, Ilmu psikologi modern, dan Teknologi komputer biometric.

FPT bukanlah ramalan dan sama sekali tidak mengandung ilmu mistik / supranatural, tidak bertentangan dengan agama dan keyakinan. FPT adalah hasil aplikasi dari teori-teori ilmiah terkini dengan menggunakan sistem teknologi dan perhitungan komputer serta telah diuji cobakan selama lebih kurang 2 tahun. Beberapa negara seperti Taiwan, Singapura, Thailand, Amerika sedang mencoba menerapkan aplikasi ini dalam bidang pendidikan dan personalia. Negara Rusia bahkan menerapkan aplikasi ilmu ini dalam mencari/menyeleksi atlet berbakat.

LAPORAN HASIL ANALISA POTENSI & KARAKTER BERDASARKAN FPT
1. Diagram Distribusi Potensi Individu – Diagram Batang 10 Kecerdasan
Data ini merupakan urutan/ peringkat dari masing – masing kecerdasan, peringkat kecerdasan terdiri dari 1 sampai 10. Kita jangan terlalu merisaukan kecerdasan terendah, tetap fokus untuk menstimulasi 3 – 4 kecerdasan yang tertinggi, karena potensi tertinggi paling mudah dikembangkan, dengan berkembangnya potensi tersebut kecerdasan yang lain juga akan berkembang.

2. Sistim Distribusi Otak Individu
Sistim Distribusi Otak Individu ini mengungkapkan bagian otak sebelah Kanan, Kiri atau Middle yang lebih Dominan. Dominasi ini menentukan kecenderungan otak bekerja dalam keteraturan, ketidak teraturan atau cenderung ragu terutama terhadap hal-hal baru.

3. Kenali & Pahami Basic Charakter
Setiap individu memiliki Basic Character masing-masing yang bersifat bawahan, kenalilah Basic Character Anda sehingga Anda dapat mengoptimalkan potensi yang ada. Dalam karakter perlu di temukan kelebihan dan kelemahannya, sehingga dapat di jadikan alat bantu untuk peningkatan diri.

4. Learning Style, Suggested Ways of Learning & Learning Type
Cara dan kondisi belajar serta lingkungan belajar dimana individu akan lebih mudah dalam menyerap/memahami suatu hal/instruksi.

5. Working Attibutes & Leadership Style
 Kondisi/perilaku yang mempengaruhi individu dalam mengerjakan sesuatu.
 Tipikal individu sebagai seorang pemimpin.

6. Spending Style & Pressure Endurance Level
 Spending Style menggambarkan gaya individu dalam berinvestasi atau berbelanja
 Pressure Endurance Level menggambarkan faktor yang mempengaruhi individu dalam menghadapi tekanan.

7. Diagram Distribusi ( Level Indikator )
 Kemampuan individu dalam melakukan analisa, mengambil keputusan (eksekusi), fleksibilitas dan lain-lain.
 Range bintang adalah 3-10.
 Bintang 10, sangat jarang dijumpai hanya dimiliki oleh orang – orang dengan tipe finger tertentu.

8. Bahan Pertimbangan Sesuai dengan Potensi & Karakter Individu
 Urutan tipe pembelajaran, penjurusan akademik saat SMA, kegiatan tambahan atau kursus yang diikuti.
 Diungkapkan tabel pilihan profesi yang sudah disesuaikan dengan potensi & karakter individu.

9. Memperoleh hasil Optimal dari Laporan
 Baca kembali laporan ini setiap 1 bulan sekali atau minimal 3 bulan sekali.
 Kemudian tentukan action plan pengembangan diri Anda.


SEPULUH KECERDASAN POTENSIAL DALAM FPT
Dalam FPT ini, akan dapat dianalisa 10 kecerdasan potensial yang dimiliki oleh manusia, yaitu :

1. Interpersonal Potential
Menggambarkan kemampuan dalam membangun dan mengembangkan hubungan serta berinteraksi dengan orang lain ( Eksternal Karakter).
2. Personal Management Potential
Menggambarkan self manajemen individu, kemampuan memahami diri sendiri ( seperti disiplin diri, rasa harga diri, leadership dan lain-lain ) – Karakter Internal.
3. Holistic Imagery Potential
Kekuatan Imajinasi dan kemampuan berpikir strategis.
4. Reasoning Potential
Pola pikir, logika matematika dan kemampuan mempertimbangkan masalah melalui hubungan sebab akibat.
5. Physical Expression Potential
Kemampuan mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan bahasa tubuh dan kemampuan mengkoordinasikan gerak tubuh ( seperti olahraga, menari, jelajah alam dan lain-lain).
6. Dexterity Potential
Kreatifitas tangan dengan pekerjaan – pekerjaan yang melibatkan jari jemari seperti bermain piano, mengetik, memasak, memahat, menganyam, melukis dan lain-lain.
7. Musical Potential
Menggambarkan kemampuan dalam sensitifitas dalam mengenali ritme, nada, melodi atau pola titi nada ( pitch control ), menyanyi atau bermain alat musik.
8. Verbal Expression Potential
Menggambarkan kemampuan dalam menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksudnya seperti dalam hal public speaking, dongeng, mengajar, dan lain-lain.
9. Visualization Potential
Menggambarkan kemampuan dalam menuangkan ide secara visual (garis, bentuk, warna, diagram dan lain-lain).
10. Classification Potential
Menggambarkan kemampuan dalam mengenali, mengorganisasikan, dan mengklasifikasikan lingkungan sekitarnya.

MANFAAT FPT BAGI ANAK, ORANGTUA, DAN SEKOLAH
1. Manfaat FPT bagi anak
a. Efisien dalam memilihkan bacaan, alat mainan dan kursus yang sesuai dengan
bakatnya.
b. Fokus dan lebih detail terhadap kebutuhan utama anaknya.
c. Yakin dan lebih percaya diri terhadap bakat unggulnya sekaligus tidak minder
tehadap bakat lemahnya.
d. Lebih pasti mencari lingkungan yang sesuai dengan bakat unggulnya.
e. Karir terencana sejak dini.

2. Manfaat FPT bagi orangtua
a. Semakin yakin terhadap potensi unggulan putra-putrinya.
b. Menjadi lebih fokus dalam menyiapkan prestasi dan karir bagi putra-putrinya.
c. Lebih objektif, positif, dan realistis dalam menyikapi perbedaan potensi antar
putra-putrinya (tidak pilih kasih).
d. Tetap menyayangi dengan sepenuh hati walau menjumpai anaknya punya suatu kelemahan karena yakin ada keunggulan lainnya (tetap bangga apapun potensinya).
e. Dapat membangun komunikasi sehari-hari yang lebih efektif (dekat dan
bersahabat) kepada putra-putrinya.
f. Lebih hemat dalam belanja kebutuhan sarana belajar dan pendidikan bagi putra-
putrinya.
g. Lebih cepat dalam mengantarkan peningkatan prestasi putra-putrinya.
h. Tidak perlu gonta-ganti kursus, bidang pekerjaan, dan jurusan kuliah (tidak
rugi waktu, tenaga, dan biaya).

3. Manfaat FPT bagi sekolah
a. Mengelompokkan siswa pada "kelas" berbasis kepekaan belajar (rendah, sedang,
atau tinggi).
b. Mengelompokkan siswa pada "kegiatan belajar" berbasis gaya belajar (praktis/
kinestetik, membaca/visual, diskusi/auditorial).
c. Mengelompokkan siswa pada "kegiatan ekstrakurikuler" berbasis 8 kecerdasan
(linguistik, logic-matematika, intrapersonal, interpersonal, visual ruang, body
kinestetik, musik, naturalis).
d. Melakukan pendekatan kepada siswa berbasis "sifat kepribadian" (afektif,
kognitif, reflektif, kritikal).
e. Menerima dengan baik adanya beda potensi secara proporsional (multiple
intelligence bukan mono intelligence).
f. Lebih fokus dan efektif dalam proses pembelajaran dan komunikasi.
g. Mengimbangi ketidakpastian kurikulum.
h. Mendekatkan proses pembelajaran dalam kehidupan di alam nyata (realistis-
objektif).
i. Berkeadilan dan keberagaman.

INVESTASI 1x SEUMUR HIDUP
Tes ini cukup dilakukan sekali seumur hidup dan Anda dapat :
 Membimbing anak anda sesuai potensi kecerdasan dan basic karakternya.
 Mengajarkan pada anak - anak untuk selalu melakukan evaluasi diri dengan menyerahkan hasil tes ini ketika mereka dewasa.
 Meminta bantuan guru dan konselor di sekolah untuk bisa memahami potensi anak dengan memberikan copy tes ini kepada Guru/ Konselor.
 Memberikan tes ini pada rekruiter/ interviewer pada saat seleksi kerja untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan.
 Membina hubungan harmonis dengan pasangan hidup adalah dengan memahami satu sama lain, maka berikan hasil tes ini pada calon pasangan hidup anak kelak mereka akan menikah.

Investasi untuk mengikuti FPT (tes sidik jari) adalah sebagai berikut :
 Investasi normal Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah).
 Penawaran khusus bagi bapak / ibu, investasi hanya sebesar Rp. 1.250.000,- (memperoleh discount sebesar Rp. 250.000,-).
 Memperoleh laporan hasil analisa FPT dalam bahasa Indonesia +/- 14 halaman.
 Gratis konsultasi untuk memahami potensi diri dan mengembangkannya.
 Mendapatkan tips latihan-latihan yang dibutuhkan untuk mengembangkan diri.

KELEBIHAN FPT DIBANDINGKAN TEST PSIKOLOGI LAINNYA
 Identifikasi cepat, hanya memerlukan waktu +/- 10 menit.
 Tidak perlu belajar.
 Tidak terpengaruh keadaan emosi dan lingkungan.
 Dapat mengidentifkasi inteligensi dan karakter anak, mulai usia 15 bulan.
 Tingkat akurasi hingga mencapai 90%.

Read More......

Peranan tes psikologi dan wawancara dalam proses seleksi

Di Indonesia proses penerimaan tenaga kerja berlangsung dalam dua tahapan ;

Tahap pencarian calon tenaga kerja
Mengusahakan agar jumlah kandidat terkumpul cukup banyak sehingga proses seleksi dapat dilakukan dengan baik. Dengan cara : iklan di media cetak/elektronik, pendekatan langsung, melalui rekomendasi, pencari kerja melamar sendiri ke perusahaan-perusahaan.

Tahap seleksi tenaga kerja
1. seleksi lamaran : mempertimbangkan suatu lamaran untuk bisa mengikuti tahap seleksi

berikutnya atau tidak. Biasanya dengan melihat syarat tertentu ; pendidikan, pengalaman, karakterfisik, atau cukup banyak juga dengan di dasarkan IPK
2. wawancara awal : berisi mengenai kesediaan kandidat ketika dihadapkan pad kondisi kerjanya, dan evaluasi persayaratan kerja yang ada pada kandidat.
3. ujian, psikotes tertulis dan psikotes wawancara : kandidat menjalani tes tentang pengetahuan dan keterampilan, mengikuti tes yang menggali aspek psikologis kandidat baik secara tertulis atau secara lisan.
4. penilaian akhir : melakukan evaluasi terhadap hasil serangkaian tes dan wawancara untuk menentukan apakah kandidat diterima atau ditolak. Yang juga ditindak lanjuti dengan memperhatikan hasil tes kesehatan.
5. Pemberitahuan dan wawancara akhir : kandidat yang diterima dipanggil untuk mengikuti wawancara akhir untuk diterangkan mengenai berbagai kebijakan perusahaan, seperti misalnya masalah gaji.
6. penerimaan : kandidat menerima surat keputusan tentang diterimanya kandidat untuk menjadi bagian dari perusahaan.


Model keabsahan metode seleksi

Tradisional terdiri dari beberapa langkah yaitu pertama analisis pekerjaan yang meliputi data-data tentang sasaran pekerjaan, tugas-tugas yang harus dijalankan, cara-cara yang digunakan dalam bekerja, bahan-bahan dan alat yang digunakan dalam bekerja.Yang kedua adalah penentuan alat prediksi beserta alat ukurnya ; meliputi tindak lanjut atas data-data analisis pekerjaan dengan menentukan ciri-ciri yang diperlukan agar karyawan berhasil dalam bekerja (prediktor) dan menentukan alat ukur yang akurat untuk menggali aspek kemampuan yang dimiliki karyawan (kriterion). Ketiga menentukan kriteria keberhasilan dan alat ukurnya yang meliputi mentapkan seperangkat kriteria yang menandakan bahwa karyawan tersebut berhasil menjalani pekerjaannya yang dilihat dari segi perilaku yang diharapkan dan juga hasil kerjanya. Keempat keabsahan peramalan yang meliputi tentang keakuratan dari prediktor yang ditentukan dengan melihat arah hubungan antara prediktor dengan kriterionnya. Kelima adalah keabsahan silang yang meliputi meyakinkan keakuratan prediksi dari alat ukur. Keenam adalah rekomendasi untuk seleksi yang meliputi penentuan skor minimum atau kombinasi skor minimum untuk dijadikan sebagai pedoman untuk menyeleksi.

Analisi Pekerjaan

Pengertian
Analisis pekerjaan adalah suatu proses kajian sistematis tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam suatu pekerjaan, yang melingkupi tugas-tugas, tanggung jawab dan akuntabilitas untuk menentukan pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan ciri-ciri kepribadian yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tersebut dengan baik.

Tujuan Penggunaan
1. Manusia sebagai tenaga kerja : membuat rencana strategis SDM; seleksi dan penerimaan; pelatihan dan pengembangan; peningkatan karir; evaluasi kinerja ; sistem pemberian imbalan; kesehatan dan keselamatan kerja; hubungan industrial.
2. Pekerjaan dan organisasi : untuk uraian pekerjaan; klasifikasi pekerjaa; desain kerja dan alat; rekayasa kerja dan perencanaan organisasi

Metode Analisis pekerjaan
1. kuesioner ; on-line, mailing, check list, buku harian.
2. wawancara & observasi ; wawancar perorangan, kelompok atau teknik partisipasi kerja


Alat ukur psikologis sebagai prediktor

Jika suatu analisa pekerjaan sudag menentukan kualifikasi suatu pekerjaan maka yang perlu dilakukan adalah menentukan alat tes yang dapat mengukur kualifikasi yang ada yang dalam hal dijadikan sebagai prediktor. Peramalan ini bisa didasarkan pada skor hasil ujian dan tes, hasil wawancara dan hasil observasi. Biasanya prediktor tersebut berisi tentang kecakapan intelektual, keterampilan merencanakan pekerjaan dan keterampilan untuk mengkomunikasikan ide dan pengalaman.

Alat psikotes dapat digolongkan dalam :
1. tes kecakapan : intelektual (IQ), pemahaman ruang dan mekanik, ketepatan persepsi (TKD, IST, CFIT, SPM, FRT)
2. tes kepribadian objektif : mengungkap kepribadian melalui stimulus yang terstrukutur, yang terdapat dalam tes ciri kepribadian dan kejujuran minat (EPPS, Papikostik, DISC, RMIB, KUDER)
3. tes kepribadian proyektif : mengungkap kepribadian melalui stimulus yang ambigu misalnya Wartegg tes, DAP, BAUM atau HTP.
4. tes situasional : mengungkap perilaku yang khas jika dihubungkan dengan variabel lingkungan. Misal FGD, LGD, In-Basket test, Business Game.
5. tes sikap kerja : mengungkap sikap kerja dalam kondisi kerja buatan (tes Kraepelin dan tes Pauli)

Read More......

5.3. Penyebab Dan Upaya Pemecahan Kekerasan terhadap Anak dalam Perspektif Teori Masalah Sosial

Dalam studi masalah sosial dikenal dua pendekatan untuk mendiagnosis penyebab terjadinya masalah sosial (kekerasan terhadap anak) yaitu person blame approach dan system blame approach. Pendekatan pertama beranggapan bahwa sumber masalah sosial terdapat pada penyandang masalah (aktor pelaku tindak kekerasan). Diagnosis masalah sosial difokuskan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi kehidupan penyandang masalah tersebut. Pendekatan kedua mempunyai anggapan bahwa sumber masalah sosial terletak pada level sistem. Diagnosa dan upaya pemecahan masalah difokuskan pada penanganan sistemnya

(Sutomo, 2008:209). Kedua pendekatan tersebut dituangkan dalam berbagai perspektif teori yang berkembang dalam studi masalah sosial. Terdapat tiga perspektif teori yang dapat digunakan untuk memahami masalah sosial yaitu teori struktural fungsional, teori konflik dan teori interaksi simbolik.
Penelitian ini akan menggunakan teori struktural fungsional dan interaksi simbolik untuk memahami kekerasan terhadap anak. Berdasarkan asumsi-asumsi teori struktural fungsional masalah sosial difahami sebagai patologi sosial, disorganisasi sosial, dan perilaku menyimpang. Dalam penelitian ini untuk memahami kekerasan terhadap anak lebih tepat digunakan perspektif teori patologi sosial dan perilaku menyimpang.
Menurut Soetomo (1995) perspektif pathologi sosial menggunakan “medical model” dalam memecahkan masalah sosial artinya memecahkan masalah sosial beserta segala implikasinya sama halnya dengan mengobati masyarakat yang sakit. Pada mulanya social pathologist cenderung membuat diagnosa bahwa individu merupakan sumber masalah dalam masyarakat. Tetapi dalam perkembangannya, perspektif ini juga menganalisis masyarakat sebagai sumber masalah sosial.
Dalam perspektif teori pathologi sosial, tindakan aktor yang melakukan kekerasan terhadap anak dianggap sebagai penyakit masyarakat yang akan dapat merusak sistem sosial (masyarakat). Aktor yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak akan diangap sebagai penyakit masyarakat. Dengan demikian pendekatan untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak bersifat medical model, dimana memandang aktor sebagai sumber masalah. Tindakan kekerasan anak akan muncul ketika aktor gagal dalam proses sosialisasi. Aktor gagal dalam memahami nilai-nilai dan aturan-aturan sosial yang mengatur proses pendidikan yang berlaku di sekolah, keluarga atau lingkungan sosial lainya. Aktor karena cacat yang dimiliki dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan aturan sosial yang berlaku tersebut. Kondisi tersebut akan mengganggu atau menghancurkan bekerjanya sistem sosial.
Untuk mencegah pewarisan cacat individual (tingkah laku kekerasan terhadap anak) dari generasi ke generasi, aktor pelaku tindak kekerasan perlu diisolasi agar penyakitnya tidak menular. Bentuk isolasi misalnya dimasukan ke penjara. Disamping itu juga dilakukan proses resosialisasi yang mencakup aspek moral dan kondisi tubuh melalui pendidikan. Dengan demikian asumsi pendekatan ini sebenarnya adalah bahwa sistemlah yang paling benar, masalah kekerasan anak muncul karena kesalahan individu (orangtua, anggota keluarga (adik, kakak, tante, om, nenek, kakek), teman atau guru).
Dalam perkembangan yang terbaru teori pathologi sosial tidak hanya menyalahkan aktor sebagai sumber penyakit masyarakat akan tetapi juga dapat bersumber dari masyarakat itu sendiri. Masalah kekerasan terhadap anak dilihat melalui cacat yang ada di masyarakat atau institusi. Masyarakat yang immoral akan menghasilkan individu yang immoral yang mengakibatkan munculnya masalah sosial. Dengan demikian aktor yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak merupakan konsekuensi dari kondisi masyarakat yang sedang sakit atau cacat. Akan tetapi perlu dipahami bahwa aktor potensial untuk mengalami patologi dalam dimensi waktu dan tempat yang berebda. Oleh karena itu diagnosa terhadap perilaku kekerasan terhadap anak sebagai perilaku patologis sebaiknya berdasarkan pertanyaan: Mengapa individu-individu melakukan tindakan kekerasan terhadap anak? Bagaimana prosesnya mereka mengadopsi suatu kondisi yang dianggap gaya hidup menyimpang (kekerasan terhadap anak)? Mengapa peraturan yang melarang tindakan kekerasan anak lebih banyak dilanggar dibandingkan peraturan yang lain? Mengapa orang-orang tertentu lebih banyak melanggar peraturan mengenai kekerasan anak? Apa dan bagaimana lingkungan sosial banyak menumbuhkan perilaku kekerasan terhadap anak?
Pandangan berbeda diperlihatkan oleh perspektif teori perilaku menyimpang dalam memahami tindakan kekerasan terhadap anak sebagai masalah sosial. Meskipun demikian asumsi-asumsi yang digunakan dalam perspektif teori ini masih dalam satu payung teori struktural fungsional. Menurut teori struktural fungsional, kajian sosiologi adalah fakta sosial, dimana fakta sosial itu terdiri dari dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.
Perilaku kekerasan terhadap anak dalam perspektif perilaku menyimpang dianggap sebagai perilaku yang menyimpang dari aturan-aturan atau pranata sosial yang berlaku dalam sistem sosial. Pranata sosial berperan sebagai penegak keteraturan dan keseimbangan sistem sosial dengan cara membatasi sikap tindakan anggota masyarakat sebagai pedoman tingkah laku atau aturan main. Penyimpangan terjadi apabila individu menyimpang dari aturan yang ada sehingga dianggap sebagai sumber masalah.
Sementara itu menurut Parsons (dikutip Ritzer, 1985), pranata sosial adalah kompleks peranan yang telah melembaga dalam sistem sosial. Pranata harus dianggap sebagai satu tatanan yang lebih tinggi dari struktur sosial. Setiap unit sosial selalu bersesuaian dengan status dari struktur sosial yang ada tersebut. Konsep pranata sosial (social institution) tidak bisa dipisahkan dari konsep struktur sosial (social structure). Struktur sosial merupakan jaringan hubungan-hubungan sosial yang interkasi sosial berproses dan menjadi terorganisasi, serta melalui mana posisi sosial dari individu dan sub-kelompok dapat dibedakan. (Ritzer, 1985: 22)
Perilaku menyimpang mempunyai dua tipe yaitu penyimpangan murni dan penyimpangan tersembunyi. Penyimpangan murni terjadi apabila individu berperilaku tidak taat aturan dan orang lain juga menganggap demikian. Sedangkan penyimpangan tersembunyi adalah perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh individu tetapi tidak ada reaksi atau melihatnya sehingga oleh masyarakat seolah-olah tidak ada. Dalam konteks perilaku menyimpang, tindakan kekerasan terhadap anak dapat berupa penyimpangan tersembunyi atau menyimpangan murni.
Latar belakang terjadi penyimpangan bersumber dari banyak faktor. Tingkah laku seseorang merupakan hasil interaksi antara empat faktor yaitu: warisan organik, warisan sosial, pengalaman unik, human nature. Oleh karena itu untuk melakukan pelacakan terhadap tindak kekerasan terhadap anak perlu membedakan menjadi dua. Pertama, tindak kekerasan terhadap anak yang tidak disengaja. Tindak kekerasan terhadap anak dalam kategori ini terjadi karena aktor tidak tahu atau kurang faham terhadap aturan yang ada. Selain itu setiap kelompok mempunyai aturan yang berbeda-berbeda sehingga aktor bisa saja tidak memahami peraturan tersebut sehingga tindakanya dianggap sebagai perilaku menyimpang yang ia sendiri tidak menyadarinya. Kedua, tindak kekerasan terhadap anak yang disengaja. Dalam konteks ini, aktor sengaja melakukan tindakan menyimpang terhadap aturan yang ada. Oleh karena itu perlu dipahami mengapa melakukan tindakan menyimpang? apa motivasinya? Dalam hubunganya dengan tindakan kekerasan terhadap anak perlu difahami apakah tindakan tersebut merupakan tindakan yang disengaja atau tidak sengaja, mengapa mereka melakukan tindakan kekerasan terhadap anak, apa motivasi yang mendasari tindakan tersebut, apakah aturan-aturan yang ada tidak bersifat ambivalen, apakah kelompok-kelompok mempunyai aturan-aturan yang berbeda dalam mengatur masalah kekerasan terhadap anak tersebut?
Berdasarkan teori pathologi sosial dan perilaku menyimpang tersebut pada dasarnya penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap anak dapat bersumber pada person/aktor maupun sistem. Kesimpulan ini nampaknya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Susilowati (2008) bahwa kombinasi antara faktor person/aktor dan sistem pendidikan yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap siswa. Faktor-faktor tersebut yaitu: 1). Kurangnya pengetahuan bahwa kekerasan baik fisik maupun psikis tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku, malah beresiko menimbulkan trauma psikologis dan melukai harga diri siswa. 2). Persepsi yang parsial dalam menilai siswa. Bagaimana pun juga, setiap anak punya konteks kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap kata dan tindakan yang terlihat saat ini, termasuk tindakan siswa yang dianggap “melanggar” batas. Apa yang terlihat di permukaan, merupakan sebuah tanda/sign dari masalah yang tersembunyi di baliknya. Yang terpenting bukan sebatas “menangani” tindakan siswa yang terlihat, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan/sikap siswa. 3). Adanya masalah psikologis yang menyebabkan hambatan dalam mengelola emosi hingga guru yang bersangkutan menjadi lebih sensitif dan reaktif. 4). Adanya tekanan kerja, target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, materi maupun prestasi yang harus dicapai siswa didiknya sementara kendala yang dirasakan untuk mencapai hasil yang ideal dan maksimal cukup besar. 5). Pola authoritarian masih umum digunakan dalam pola pengajaran di Indonesia. Pola authoritarian mengedepankan faktor kepatuhan dan ketaatan pada figure otoritas sehingga pola belajar mengajar bersifat satu arah (dari guru ke murid). Implikasinya, murid kurang punya kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Pola ini bisa berdampak negatif jika dalam diri sang guru terdapat insecurity yang berusaha di kompensasi lewat penerapan kekuasaan. 6). Muatan kurikulum yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan afektif (Rini, 2008). Tidak menutup kemungkinan suasana belajar jadi “kering” dan stressful, dan pihak guru pun kesulitan dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi.
Sistem pendidikan nasional yang berubah-ubah dengan ditandai oleh silih bergantinya kurikulum dalam waktu singkat, merupakan salah satu aspek kegagalan sistem pendidikan. Belum terimplementasikannya suatu kurikulum hingga kegagalan perbaikan kurikulum merupakan beban baru bagi siswa. Termasuk ketika sistem ujian nasional diberlakukan, yang menjadikan ketidakjujuran sebagai sebuah bagian dari proses belajar mengajar. Kekerasan menjadi sebuah pilihan beberapa guru, dikarenakan tingginya beban pengetahuan yang harus dipindahkan ke siswa. Keterbatasan ruang kreasi pun terkadang menjadi sebuah hambatan tersendiri dalam proses belajar mengajar. Pemahaman substansi pendidikan telah sangat jauh ditinggalkan oleh guru sebagai pendidik.
Sementara menurut Mashar (2008), ada dua faktor penyebab bullying, yakni kepribadian dan situasional. Faktor kepribadian terjadi karena pengaruh dari pola asuh orang tua terhadap anak. Pola asuh yang otoriter terbukti mengakibatkan anak memiliki peluang menjadi pelaku bullying. Tayangan sinetron juga membentuk skema kognitif pada anak yang mengakibatkan mereka cenderung menjadi pelaku bullying. Cirinya anak memiliki kecendrungan motif dasar agresivitas, rasa rendah diri yang berlebihan, dan kecemasan. Sedang faktor situasional, sebagai anak remaja mereka berkecenderungan untuk mengikuti perilaku kelompok di lingkungannya. Apalagi jika di sekolah nyata-nyata memiliki tradisi bullying, maka tradisi tersebut akan menurun terus kepada yuniornya.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan menurut teori perilaku menyimpang untuk mengembalikan tindakan kekerasan terhadap anak tersebut adalah dengan meresosialisasi aktor yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak. Pencegahan terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan cara penyadaran kepada anggota masyarakat bahwa kebiasaan (budaya) perlakuan kekerasan terhadap anak akan berakibat buruk bagi masa depan anak. Untuk menghilangkan tindak kekerasan dalam proses pendidikan di pondok pesantren, perlu sebuah penyadaran paradigma pikir dan aksi para ustadz dan seluruh santri yang ada di pesantren tentang dampak jangka pendek dan panjang yang mungkin akan ditimbulkan dari tindak kekerasan.Untuk itu, diperlukan kontrol berjenjang yang cukup ketat dari seluruh elemen Pondok Pesantren dalam proses pembelajaran santri terutama oleh pimpinan dan pengasuh pondok. Kontrol ini dilakukan untuk menghindari terjadinya tindak kekerasan pada lapisan ustadz dan santri senior yang setiap hari berhadapan langsung dengan kondisi riil di lapangan (Nurhilaliati, 2005).
Disamping itu juga melakukan peningkatan kontak individu terhadap lingkungan sosial yang cenderung konformiti terhadap nilai-nilai sosial yang diakui oleh sistem sosial. Berdasarkan temuan yang diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Adi dkk (2006), direkomendasikan agar dilakukan usaha-usaha untuk menghapuskan kekerasan melalui Sosialisasi KHA di berbagai lapisan masyarakat. Sosialisasi KHA bagi anak, guru dan orangtua dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Misalnya dengan memasukkan materi KHA dalam kurikulum sekolah. Sekolah dalam hal ini berperan mendidik dan memberikan contoh pendidikan tanpa kekerasan kepada anak didiknya. Sedangkan sosialisasi KHA pada aparat pemerintah khususnya mereka yang melakukan pelayanan terpadu bagi anak agar pelayanan yang dilakukan membantu proses recovery korban kekerasan.
Sedangkan untuk meningkatkan lingkungan sosial yang konformiti terhadap nilai-nilai anti kekerasan terhadap anak diperlukan penyuluhan terutama terhadap orang tua dan guru mengenai ketidakbenaran anggapan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan hukuman dalam rangka mendidik anak. Penyadaran pada orang tua dan guru untuk sebisa mungkin meminimalisir pemberian hukuman dan menggantinya dengan pendekatan negative reinforcement. Cara ini dianggap dapat membantu proses pendidikan tanpa berdampak pada terjadinya kekerasan terhadap anak.
Menurut Saifullah (2008) penyebab terjadinya kekerasan seksual dan fisik di pesantren dapat dicari dari salah satu faktor berikut: Pertama, pesantren pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan lain seperti sekolah. Keterbatasan sarana dan fasilitas pendukung penginapan seringkali membuat para santri harus tidur berdesakan dan mandi bersama-sama, tidak ada wilayah privat di pesantren. Interaksi fisik antar santri terjadi dalam interaksi tinggi. Pada waktu bersamaan, mayoritas santri sedang mengalami masa-masa pubertas. Mereka sedang asyik mencari tahu tentang fungsi dan perkembangan alat-alat reproduksinya. Dengan demikian tidak heran jika mereka saling memperhatikan atau membandingkan antara organ vital miliknya dengan teman-temannya. Bahkan ketika bergurau topik pembahasan pun mengarah pada seksualita. Keterbatasan sarana dan fasilitas ini juga memicu terjadinya kekerasan fisik karena perebutan wilayah kekuasaan' oleh raja-raja kecil.
Kedua, peraturan di pesantren dalam hal pergaulan antara santri dengan santriwati atau antara santri dengan dunia luar cukup ketat. Pembatasan secara fisik untuk berinteraksi dengan lawan jenis berpotensi memicu santri tidak menemukan penyaluran dan membuat orientasi seksualnya sedikit menyimpang. Hal ini didukung dengan interaksi intens dengan sesama jenis. Ibarat kata pepatah, tak ada tali akar pun jadi. Ketiga, kekerasan seksual seringkali dipicu karena seorang whistle blower. Sangat mungkin dari ratusan santri, satu atau dua orang memang memiliki kelainan orientasi seksual. Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua orang bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Para pelajar dari keluarga broken home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf. Keempat, di pesantren juga terdapat materi pelajaran seksualita dengan merujuk pada literatur dari kitab-kitab kuning. Pelajaran ini sejatinya khusus untuk santri dan santriwati senior. Namun, santri-santri junior juga sering menyamar untuk mengikuti pengajian yang digelar tengah malam ini. Tidak menutup kemungkinan kekerasan fisik dan seksual juga dilakukan oleh para staf pengajar. Pasalnya, di pesantren dituntut adanya ketaatan penuh.
Berbeda dengan perspektif pathologi sosial, teori interaksi simbolik melihat perilaku sebagai hasil dari proses interaksi sosial dengan orang lain. Dalam proses interaksi tersebut individu mendapatkan makna dari setiap tindakan dan menggunakanya sebagai alat untuk melakukan tindakan selanjutnya. Makna tersebut akan terus berubah sepanjang individu melakukan interaksi sosial. Oleh karena itu dalam memahami masalah tindakan kekerasan terhadap anak bersifat relatif tergantung pada interpretasi masyarakat tertentu atau tergantung pada bagaimana masyarakat memberi makna terhadap situasi kekerasan anak tersebut.
Dalam lingkungan atau masyarakat tertentu bisa jadi perilaku tertentu tidak diangap sebagai tindak kekerasan, tetapi di masyarakat yang lain perilaku tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Oleh karena itu persoalan kekerasan anak seringkali muncul karena perbedaan interpretasi antara individu dengan masyarakat. Individu memberikan makna bahwa apa yang dilakukan sebagai sesuatu yang wajar bukan merupakan tindakan kekerasan, sedangkan masyarakat memberi makna dan memberikan label sebagai tindakan kekerasan. Perbedaan interpretasi dan pemberian label tersebut karena adanya perbedaan referensi atau kerangka pengalaman yang dijadikan referensi dalam menginterpretasikan tindakan tersebut.
Perbedaan interpretasi dan referensi dapat terjadi misalnya pada para tokoh agama Islam dalam menginterpretasikan pasal-pasal yang ada dalam UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Islam “membolehkan” melakukan tindakan fisik sebagai ta’dîb (tindakan mendidik) terhadap anak. Ibnu Amr bin al-’Ash menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat. (HR Abu dawud dan al-Hakim).
Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman. Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud pukulan/tindakan fisik disini adalah tindakan tegas “bersyarat”, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka ta’dîb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya) (http://pa-lubukbasung.pta-padang.go.id/ diakses tgl 3-2-2009).
Dunia pendidikan Islam juga telah memiliki kitab “wasiat” tersendiri yang berisi doktrin tentang kepatuhan atau etika terhadap guru seperti yang termaktub dalam kitab ta’lîm wa al-muta’allim. Berdasarkan hasil beberapa penelitian, ada yang menganggap bahwa kitab ini adalah salah satu sumber munculnya kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan, yang belakangan ini sudah banyak dikritisi oleh para pakar pendidikan modern (Nurhilaliati, 2005).
Perbedaan persepsi dan interpretasi tidak hanya antara agama, tetapi juga dapat terjadi dalam lingkup budaya, mendidik anak dengan memberikan hukuman fisik merupakan bagian dari budaya. Hasil kajian yang dilakukan oleh Adi dkk. (2008) menemukan kekerasan yang dialami anak dari orang tuanya atau guru dianggap hukuman dalam rangka mendidik anak, hal tersebut masih merupakan kebiasaan (budaya) mereka. Sedangkan perlindungan anak terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga dalam prakteknya belum tersentuh karena masih dianggap sebagai urusan (hak) keluarga.
Pemberian label terhadap tindakan individu sebagai tindakan kekerasan dapat memberikan rangsangan untuk mendorong individu berpikir dalam memberikan makna terhadap tindakanya. Melalui proses interaksi sosial, makna tersebut dapat berubah sehingga individu dapat mempunyai makna yang sama dengan masyarakat dengan demikian dapat merubah tindakannya. Tindakan kekerasan yang tadinya dianggap wajar oleh individu kemudian diinterpretasikan sebagai tindakan penyimpangan sehingga individu kemudian merubah tindakanya.

Read More......

Kekerasan terhadap Anak dan Dampaknya

Terdapat dua konsep yang perlu dijelaskan dalam kontek kekerasan terhadap anak yaitu konsep kekerasan dan anak. Anak dalam undang-undang tentang Pelrindungan Anak didefinisikan dengan menggunakan batasan usia. Batasan usia anak dalam undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat pada pasal 1 bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Definisi tersebut sejalan dengan pengertian anak menurut Konvensi Hak Anak (KHA) yang menyatakan anak berarti setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.

Sedangkan konsep kekerasan terhadap anak dalam undang-undang tersebut tidak diberi pengertian yang jelas. Konsep kekerasan lebih jelas didefinisikan dalam UU no 23 tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Menurut undang-undang tersebut kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Bentuk-bentuk KDRT yang dimaksudkan dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 adalah: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sedangkan kekerasan seksual meliputi : (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam ling¬kup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Dengan meminjam definisi kekerasan dan bentuk kekerasan dalam undang-undang PKDRT tersebut penelitian ini memberi definisi kekerasan dan bentuk kekerasan terhadap anak dengan merubah obyek dan lingkupnya. Dengan demikian kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap seorang anak, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran anak termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut maka bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dapat berupa fisik, seksual, psikologis/verbal.
Kekerasan terhadap anak menurut Keppres RI no 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan Anak berbentuk perdagangan manusia. Perdagangan (trafiking) manusia adalah rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memberi kendali atas orang lain tersebut, untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ tubuh (Sagala dan Rozana, 2007:19-20)
Berdasarkan hasil penelitian Adi dkk. (2008) bentuk-bentuk kekerasan yang secara prosentase banyak diterima anak baik di rumah maupun di sekolah adalah: dipukul/disabet dan dicubit (kekerasan fisik); dicolek dan disingkap roknya (kekerasan seksual); dimarahi, diejek dan dimaki (kekerasan verbal/psikis). Diantara tiga kelompok bentuk kekerasan tersebut yang paling sering dialami anak adalah kekerasan verbal. Anak laki-laki pada umumnya lebih besar prosentasenya mendapat kekerasan fisik dibandingkan anak perempuan. Sedangkan hasil penelitian Putri (2008) menemukan dua bentuk kekerasan terhadap anak dengan dalih memberi hukuman yang mendidik yaitu hukuman fisik, seperti: dicubit/dijewer, push up, lari keliling lapangan, dilempar menggunakan alat tulis, dijemur, ditampar/dipukul, ditendang dan hukuman non-fisik, seperti: mencemooh/diejek dan mengancam.
Sementara hasil penelitian di pondok pesantren Pesantren Nurul Hakim Kediri menunjukkan bahwa tindakan yang menyertai penanaman kedisiplinan dan dikategorikan sebagai tindak kekerasan dalam proses pembelajaran dapat disaksikan dalam proses pembelajaran formal maupun non formal. Tindak kekerasan pada proses pembelajaran non-formal ketika berada di lingkungan pondok atau asrama lebih banyak terjadi dibanding pada proses pembelajaran formal. Bentuk hukuman yang diberikan beragam mulai dari bentakan, cubitan sampai pukulan dan bahkan digunduli rambutnya bagi yang laki-laki. Sedangkan pelaksana hukuman adalah ustad, santri-santri senior dari berbagai departemen yang ditempatkan dalam setiap ruangan (Nurhilaliati, 2005).
Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah tetapi juga terjadi di lingkungan sosial terutama bagi anak-anak jalanan atau anak-anak yang bekerja. Hasil penelitian Hanandini (2004) menunjukan bahwa berbagai bentuk tindak kekerasan dan pelecehan seksual dialami oleh anak jalanan oleh para preman. Sementara hasil penelitian lain memperlihatkan anak-anak jalanan kurang mendapatkan perlindungan dari pemerintah dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh para preman tersebut (Hanandini, 2005). Hasil penelitian Hanandini tersebut nampak sejalan dengan temuan Adi (2006) yang melakukan penelitian kekerasan yang dialami anak di rumah dan sekolah di tiga kota Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Hasil dari kajian ini menemukan: (1) bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di rumah dan sekolah berbeda dengan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di masyarakat; (2) kekerasan yang dialami anak dari orang tuanya atau guru dianggap hukuman dalam rangka mendidik anak, hal tersebut masih merupakan kebiasaan (budaya) mereka; (3) perlindungan anak terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga dalam prakteknya belum tersentuh karena masih dianggap sebagai urusan (hak) keluarga.
Kekerasan terhadap anak akan berdampak secara fisik, psikologis, dan sosial. Kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka. Siswa yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Dampak secara psikologis akan menimbulkan trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif, serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress, depresi. Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang menetap. Secara sosial siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut, merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara temantemannya. Mereka juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru maupun dengan sesama teman. Bisa jadi mereka jadi sulit mempercayai orang lain, dan semakin menutup diri dari pergaulan.
Hasil penelitian Suyanto dan Sanituti (2002:32), bahwa dampak fisik adalah semua kerusakan yang diakibatkan oleh adanya tindakan kekerasan yang dilakukan pada bagian fisik-biologis anak. Biasanya, kekerasan fisik yang seperti ini langsung terlihat nyata oleh panca indra. Adapun dampak psiskis adalah dampak yang ditimbulkan dari tindakan kekerasan terhadap anak yang berakibat pada gangguan jiwa; rasa takut, minder, malu, over acting dan lain sebagainya. Sedangkan secara jangka panjang, akan berakibat lahirnya pelaku-pelaku baru tindak kekerasan. Diperkirakan para ustadz yang juga jebolan pesantren, belajar tindak kekerasan dari pengalaman masa lalu mereka. Dampak lain dari tindak kekerasan atau hukuman kepada para peserta didik adalah tertanamnya jiwa yang keras dan ingin menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan kekerasan.

Read More......

Kekerasan terhadap Anak sebagai Masalah Sosial

Dalam kajian sosiologi, mendefinisikan masalah sosial merupakan bagian yang tersulit karena masalah sosial merupakan fenomena multidimensional. Dengan demikian ketika mencoba untuk mendefinisikan masalah sosial berbagai hambatan dihadapi. Subyektifitas dalam menentukan standard ukuran yang digunakan dalam menetapkan sebagai masalah sosial, distribusi penguasaan power yang tidak merata dalam masyarakat, darimana masalah

mulai dirumuskan dari pendapat umum atau individu, dan luasnya cakupan ruang lingkup, dan banyaknya dimensi dan aspek yang terkait dengan gejala merupakan kendala-kendala yang harus dipecahkan terlebih dahulu ketika masalah tersebut akan ditetapkan sebagai masalah sosial. Menurut Parrilo (1987) terdapat 4 komponen yang perlu diperhatikan dalam mendefinisikan masalah sosial yaitu: bertahan untuk suatu periode tertentu, dirasakan dapat merugikan fisik, mental individu atau masyarakat, merupakan pelangaran terhadap nilai-nilai atau standard sosial, dan menimbulkan kebutuhan untuk pemecahan.
Sedangkan Weinberg (1981) mengatakan bahwa masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh sejumlah orang yang cukup signifikan dimana mereka sepakat dibutuhkan tindakan untuk merubah situasi tersebut. Orang yang dianggap signifikan adalah orang-orang yang mempunyai pengaruh kuat dalam masyarakat, misalnya ulama, pejabat pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat. Mengikuti batasan-batasan yang diberikan oleh para ahli tersebut maka kekerasan terhadap anak merupakan gejala sosial yang sudah dapat dikategorikan sebagai masalah sosial.
Kekerasan terhadap anak merupakan fenomena yang sudah sejak lama ada yang dikhawatirkan akan dapat merusak mental individu. Menurut Riana Ketua KPAI, bullying (tindak kekerasan) nyaris sudah terjadi di banyak sekolah selama bertahun-tahun. Kasus bunuh diri yang dialami beberapa siswa sekolah sebagian diakibatkan adanya bullying yang dialami anak. Fakta ini jelas memperihatinkan karena dampaknya sangat luar biasa terutama bagi korban (http://www.suaramerdeka.com). Disamping itu perilaku kekerasan terhadap anak merupakan perilaku yang melanggar standar nilai-nilai umum yang berlaku di masyarakat yaitu undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang no 23 tahun 2004 tentang PKDRT, Undang-Undang no 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Konvensi tentang Hak-Hak Anak sehingga memerlukan pemecahan. Para pakar pendidikan, tokoh masyarakat, dan pemerintah telah menyatakan bahwa tindakan kekerasan terhadap anak merupakan penyakit masyarakat yang harus diberantas karena akan dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hasil penelitian Adi dkk (2006) menunjukkan bahwa perlakuan kekerasan yang diterima anak dapat memberikan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak. Anak yang mengalami kekerasan akan mendapat gangguan psikologis seperti anak merasa takut dan cemas, menjadi kurang percaya diri, rendah diri maupun merasa tidak berarti dalam lingkungannya sehingga tidak termotivasi untuk mewujudkan potensi-potensi yang dimilikinya.
Meskipun kekerasan terhadap anak dapat dikategorikan sebagai masalah sosial akan tetapi dalam menelaah masalah sosial, perlu dilakukan secara hati-hati, perlu memperhatikan empat asumsi yang harus dijadikan sebagai dasar dalam mendefinisikan masalah sosial. Keempat asumsi tersebut adalah: a) Masalah sosial dalam kadar yang berbeda-beda merupakan hasil efek tidak langsung dan tidak diharapkan dari pola tingkah laku yang ada; b). Struktur sosial budaya dapat menyebabkan masyarakat menyesuaikan diri atau menyimpang. c). Perbedaan strata akan menyebabkan pengalaman dan pemahaman yang berbeda terhadap masalah sosial. c). Perbedaan strata juga mempunyai aspirasi yang berbeda sehingga akan menyulitkan pemecahan masalah (Julian dalam Soetomo, 1995:9).
Berdasarkan asumsi tersebut maka mendefiniskan dan mencari penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak harus memperhatikan perbedaan strata yang ada di masyarakat. Adanya perbedaan strata yang ada tersebut menyebabkan perbedaan dalam pengalaman dan pemahaman sehingga menghasilkan perbedaan aspirasi, persepsi yang berbeda terhadap kekerasan anak. Disamping itu perlu disadari bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya disebabkan oleh pengaruh dari budaya luar akan tetapi juga merupakan hasil efek tidak langsung dan tidak diharapkan dari pola tingkah laku masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mencari penyebab maraknya kekerasan anak tidak hanya terfokus pada faktor eksternal tetapi juga faktor internal masyarakat itu sendiri.

Read More......

PSIKOLOGI EVOLUSIONER

Dalam psikologi terdapat model-model atau pendekatan yang dilakukan untuk penelitian. Cara pendekatan yang baru mulai dipraktekkan dan pendekatan yang lama mulai ditinggalkan. Model pendekatan lama adalah standar ilmu sosial (social science) yang menganggap otak manusia sebagai “pundi kosong” yang memiliki kemampuan fleksibel untuk mempelajari beragam budaya tanpa pengaruh gen dan biologi. Anggapan ini keliru karena otak kita memiliki kemampuan mengenal obyek, mengidentifikasi perilaku, membedakan seks, memiliki sistem persepsi warna dan komponen bahasa. Kemampuan ini lah yang membuat manusia bisa tetap bereproduksi dan mengupayakan keturunan serta agar keturunannya mampu bertahan hidup.

Anggapan lain yang juga keliru adalah asumsi beberapa ahli psikologi yang menganggap bahwa perilaku manusia dapat diturunkan dan dipelajari. Padahal, perilaku manusia banyak yang didasarkan pada insting, bukan dari proses belajar. Contohnya adalah bayi yang dapat membuat mimik wajah tertentu ketika ia masih terlalu kecil untuk dapat memcoba berbagai ekspresi didepan cermin. Steven Pingker, mengatakan bahwa manusia belajar karena ia memiliki kompleksitas pikiran. Ketika kita melihat perilaku manusia, kita tidak bisa mengukurnya jika yang dilihat hanya dari keuntungan biologis saja. Perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi oleh seleksi gen, namun juga dipengaruhi oleh seleksi meme.

Untuk dapat terus bertahan dan melakukan replikasi, meme membutuhkan proses imitasi. Dalam proses imitasi, terdapat 3 tahap; yakni (1) tahap seleksi meme, banyak meme yang disebarkan dan hanya beberapa meme yang mampu bertahan. Tahap (2), seleksi gen dalam kemampuan untuk mengimitasi. Kelompok masyarakat yang mengimitasi meme dengan baik akan mendapat penerus-penerus yang juga dapat mengimitasi meme dengan baik. Tahap (3), seleksi gen untuk bekerja sama dengan imitator terbaik. Pada tahap ini, meme yang bertahan sudah mendominasi kelompok masyarakat yang mengimitasinya. Konsekuensi dari proses ini adalah evolusi meme akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil oleh gen. inilah yang dinamakan kendali meme (meme driving gene).

Proses kendali meme terhadap gen dapat dilihat dari teori Dennet tentang “Tower of Generate and Test”. Teori ini mendiskripsikan sebuah menara imajiner yang setiap lantainya terdapat makhluk-makhluk yang mempunyai kemampuan untuk mencari tindakan yang efisien dan cepat supaya mampu mengubah perilakunya. Dalam teori ini terdapat 4 lantai pemikiran: Darwinian, Skinnerian, Popperian, dan Gregorian. Pada lantai 1, terdapat makhluk-makhluk Darwinian (diambil dari nama Charles Darwin). Makhluk terseutb harus melewati seleksi alam dan perilakunya sangat dipengaruhi oleh Gen. Makhluk yang tidak mampu bertahan akan mati dan setiap saat muncul variasi makhluk-makhluk hidup baru—akibat harus beradaptasi terhadap lingkungan.

Pada Lantai 2, terdapat makhluk-makhluk Skinnerian (diambil dari nama psikolog B.F. Skinner): yang melihat modus belajar dari percobaan dan kesalahan sebagai cara melewati seleksi alam. Jadi perilaku-perilaku yang mampu bertahan adalah perilaku yang terus diwariskan. Contohnya, sekelompok orang mencuri dan mendapat hasil dimusuhi makhluk lain. Mereka mencoba mencuri lagi dan ketika hasilnya merugikan, mereka tidak mewariskan perilaku itu lagi.

Pada Lantai 3, terdapat makhluk-makhluk Popperian (diambil dari nama filsuf Karl Popper). Makhluk Popperian ini punya kemampuan untuk membayangkan dampak dan solusi dari suatu perilaku. Misalnya, sekelompok orang tidak perlu mencuri terlebih dahulu, untuk mengetahui efek buruknya, karena mereka dapat membayangkan dampak negatifnya. Dan di lantai 4, terdapat makhluk-makhluk Gregorian (diambil dari nama psikolog Richard Gregory): yang tidak hanya mempunyai kecerdasan untuk menghasilkan teknologi dan artefak budaya, namun mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kecerdasan.

Meme merupakan pengembang kecerdasan dan meme berfungsi sebagai alat pikiran. Alat pikiran contohnya adalah kata-kata (bahasa). Dengan khazanah bahasa yang kaya dan ekspresif, manusia lebih mudah untuk mengubah perilakunya. Otak manusia adalah contoh kendali meme atas gen. Meme mempengaruhi gen untuk membuat otak yang lebih baik, agar otak tersebut bisa membantu manusia menyebarkan meme. Jadi otak tidak hanya berevolusi dari segi ukurannya saja (400 cc menjadi 1350 cc), namun juga berevolusi dalam kemampuannya. Manusia sekarang ini berada di lantai teratas “Tower of Generate and Test”

Read More......

Seputar anak kita

6 Manfaat Membaca Bagi Bayi
Membacakan buku pada bayi adalah langkah pertama mengenalkannya pada buku untuk membangun kecintaan membaca kelak. Membaca buku pun memiliki banyak manfaat untuk perkembangan bayi Anda.
Membaca tidak hanya sebagai pengisi aktivitas dengan bayi. Berikut beberapa manfaat membaca yang perlu Anda ketahui, dan menjadikannya alasan mengapa Anda perlu memperkenalkan buku pada bayi sedini mungkin.

• Untuk perkembangan bahasa. Saat Anda membacakan buku pada bayi, dia belajar suara dasar, pola dan ritme suara untuk berbicara, perbendaharaan kata, arti kata dan konteks penggunaannya.
• Melatih memusatkan perhatian khususnya mendengar dan mengingat. Dengan menggunakan macam-macam suara untuk berbagai karakter, Anda membantu bayi belajar aturan dasar komunikasi percakapan, yaitu, bila ada orang berbicara, orang lain mendengarkan. Begitu sebaliknya.
• Perkembangan informasi. Meski awalnya bayi belum bisa mengikuti cerita atau dialog, secara bertahap bayi akan belajar menghubungkan antara gambar, peristiwa, tindakan dan obyek dengan kata-kata yang digunakan untuk mendeskripsikannya. Bayi juga akan belajar obyek, warna, angka, bentuk dan penjelasan yang membantunya memetakan lingkungan, misalnya, bagaimana cara menggunakan obyek tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
• Perkembangan sosial. Kebersamaan yang tercipta saat Anda membacakan cerita pada bayi memberinya rasa aman, dicintai dan diperhatikan. Selain itu, ekspresi dan intonasi suara Anda mengajarkannya rupa-rupa emosi manusia.
• Perkembangan kognitif yang membuat bayi memahami lingkungan dan perannya dalam lingkungan itu.
• Membiasakan bayi pada buku sehingga kelak mencintai aktivitas membaca.


Jika Anak diasuh Orang tua/Mertua Anda
Ketika Anda dan pasangan bekerja, salah satu tenaga yang bisa membantu menjaga bayi/balita Anda adalah orang tua atau mertua Anda. Ada keuntungannya, ada tantangannya, dan temukan solusi yang terbaik untuk semua pihak.

Keuntungan :
• Lebih peka terhadap kebutuhan anak, mengingat pengalamannya mengasuh Anda dulu.
• Anak diasuh penuh kasih sayang oleh kakek-neneknya.
• Anda tak perlu keluar biaya, gratis.

Tantangan :
• Ada aturan-aturan dari orang tua atau mertua yang turun temurun dalam membesarkan anak, yang kemungkinan bertentangan dengan aturan Anda.
• Bayi/balita Anda kemungkinan dimanja oleh kakek atau neneknya.
• Sungkan menegur orang tua atau mertua.

Solusi :
• Komunikasikan terlebih dahulu dengan orang tua atau mertua mengenai pola asuh yang Anda dan pasangan inginkan, agar mereka memahami.
• Tunjukkan perhatian dengan memberi hadiah untuk orang tua atau mertua sebagai ungkapan terima kasih Anda karena mereka membantu mengasuh dan merawat anak Anda dengan baik.

Tentunya bayi/balita Anda lebih terjamin jika orang tua/mertua Anda yang mengasuhnya. Dan dengan komunikasi yang baik, maka semua pihak pun akan merasa senang.



Kakek-Nenek Ikut Mengasuh
Konflik pola asuh yang seringkali terjadi antara orangtua muda dengan kakek-nenek bisa dicegah melalui kompromi dalam suasana komunikasi yang efektif.

Dalam keluarga di Indonesia, figur kakek dan nenek punya ’tempat’ khusus. Itu sebabnya para orangtua muda merasa aman mempercayakan perawatan dan pengasuhan anak di tangan mereka. Tapi, ada sesuatu yang tersembunyi dan bisa muncul menjadi masalah antara kakek-nenek di satu pihak dan orangtua di sisi lain.
1. Membuat aturan sendiri. Meski sudah dewasa dan berkeluarga, di mata kakek dan nenek, umumnya anak tetap dianggap anak. Keluarga muda ini dipandang belum berpengalaman merawat dan mengasuh anak. Akibatnya orangtua kerap kali tidak bertanya lebih dulu apa saja aturan yang dibuat oleh putra-putri mereka terhadap cucu-cucu yang masih kecil itu. Kakek dan nenek lalu membuat aturan sendiri. Atau, ada juga yang menanyakan aturan yang dibuat oleh anak, namun tidak diterapkan pada sang cucu karena dirasa terlalu rumit dan sulit. Inisiatif membuat aturan sendiri inilah yang rentan memercikkan api konflik antara kakek-nenek dengan anak.
2. Konflik nilai. Setiap generasi punya pandangan dan cara pengasuhan yang berbeda. Perbedaan nilai-nilai yang diyakini, menjadi latar belakang timbilnya konflik. Anda yakin dan ingin disiplin dimulai sejak dini. Bagi nenek, disiplin bisa diajarkan kelak bila anak sudah betul-betul paham. Bagi Anda, makan sambil nonton TV itu tidak mengajarkan disiplin. Sedangkan bagi nenek dan kakek, yang penting cucu makan dengan gembira dan kenyang. Soal disiplin untuk tertib makan di meja makan bisa diajarkan kelak, karena kesadaran itu akan tumbuh dengan sendirinya.
3. Toleransi tanpa batas. Di mata sebagian kakek-nenek, mengasuh cucu merupakan kesempatan menebus kesalahan yang dulu pernah mereka lakukan selama mengasuh putra putri mereka. Ada juga perasaan lebih bebas dalam mengasuh cucu-cucunya, karena tak lagi dibebani tanggung jawab. Sehingga mereka lebih permisif dan memanjakan para cucu yang lucu-lucu dan pintar itu
Konflik bisa dicegah jangan sampai merebak lewat kompromi dalam suasana komunikasi yang efektif.
• Santun membicarakan secara terbuka, harapan Anda terhadap kakek-nenek dalam merawat dan menerapkan pola asuh. Jelaskan Anda dan pasangan sudah sepakat tentang cara pengasuhan anak.
• Hargai pendapat kakek nenek bila ia punya cara pandang yang berbeda dengan Anda. Tapi tegaskan, bahwa Anda punya tujuan mulia dari cara Anda mengasuh anak.
• Ajak kakek-nenek untuk menambah pengetahuan tentang cara mengasuh anak, misalnya dengan mengajaknya mengikuti seminar perawatan dan pengasuhan anak, atau membaca majalah dan buku-buku serupa.
• Ajak kakek dan nenek berbagi peran dalam merawat dan mengasuh anak. Misalnya Anda yang membuat aturan dalam merawat dan mendisiplin balita, sedangkan kakek dan nenek ikut mengawasi penerapannya.
• Jelaskan pada orangtua bahwa perbedaan pola asuh akan menimbulkan kebingungan pada anak. Penerapan disiplin akan sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
• Jalin keakraban dengan kakek dan nenek agar tidak terjadi perselisihan. Misalnya dengan mengajaknya makan di luar atau rekreasi.
• Hindari perselisihan secara terbuka di depan anak.

Read More......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com