Thursday, May 27, 2010

PENTINGNYA PENDIDIKAN ANAK

Anak adalah amanah dari Allah. Maka tanggungjawab pendidikan mereka ada pada orangtuanya. Kak Seto, seorang pakar pendidikan anak di Indonesia pernah berkata, “Jika tidak mau mendidik dan mengurus anak, tidak usah punya anak,”. Ya, beliau mengatakan itu karena banyak melihat fenomena orangtua yang melalaikan kewajiban ini.
Banyak orangtua yang meninggalkan anaknya pagi hingga malam dengan alasan bekerja, dan menyerahkan mereka kepada pembantu atau baby sitter. Bagi mereka, asalkan kebutuhan materi mereka tercukupi, semuanya akan beres. Anak bisa mendapatkan pendidikannya dari guru mereka, atau berbagai les yang mereka ikuti.
Padahal, bukan itu intinya. Pendidikan yang pertama dan utama justru ada dalam lingkup keluarga, dan dalam hal ini, peranan orangtua adalah tonggak utama.
Yang patut kita ingat adalah bahwa tujuan pendidikan anak adalah usaha mencari keridhaan Allah dan usaha untuk mendapatkan surga-Nya, serta mencari keselamatan dari neraka, serta mengharap pahala dan balasan-Nya.
Faktor penentu keberhasilan atau kegagalan dalam mendidik anak:
1. Keistiqamahan dan kepedulian orangtua dalam mendidik anak-anaknya
2. Kesiapan anak dalam menerima pendidikan, kelebihan dan kekurangan mereka sebagai anak-anak
3. Materi pendidikan, kesesuaian dengan usia dan keadaan anak
4. Hambatan dan rintangan dalam proses pendidikan anak
Mendidik anak dapat meninggikan derajat orang tua, serta menjadikannya sebagai amalan yang terus mengalir pahalanya bahkan setelah mati sekalipun. Sebaliknya, orangtua yang lalai akan pendidikan anak-anaknya, akan terhalangi untuk masuk surga.

Read More......

SEKOLAH NEGERI VS SEKOLAH SWASTA

Sebentar lagi sudah akan dimulai tahun ajaran baru. Sudah saatnya si kecil untuk masuk sekolah. Berbagai spanduk promosi penerimaan siswa baru dari berbagai sekolah dipasang di jalan-jalan raya. Semua seakan berlomba menarik minat para orang tua untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah mereka. Bingung? Tentu saja. Banyak orangtua merasa bingung saat harus memilih sekolah untuk anak-anak mereka. Tentunya ingin sekolah yang terbaik, dan terjangkau dengan kondisi perekonomian mereka.
Sekolah negeri atau swasta?

Masing-masing sekolah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tinggal bagaimana kita saja, pintar-pintar memilih sekolah. Ada beberapa hal yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan Anda sebelum memasukkan si kecil ke sekolah:
1. Memilih sekolah dengan mutu dan kualitas yang bagus (bisa dilihat dari prestasi sekolah, mutu dan kualitas lulusannya)
2. Dana yang Anda miliki untuk menyekolahkan anak
3. Kondisi pribadi anak
4. Lokasi dan jarak tempuh dari rumah ke sekolah
5. Sekolah dengan lingkungan yang baik
6. Memilih sekolah yang dapat membantu berkembangnya karakter dan kreativitas anak, bukan mematikan karakter dan kreativitasnya
7. Memilih sekolah yang menanamkan nilai-nilai dan akhlak yang baik
Nah, setelah menimbang dan menganalisis segala sesuatunya, Anda bisa mulai hunting sekolah untuk si kecil. Pilihkan sekolah yang terbaik baginya!

Read More......

PENTINGNYA PENDIDIKAN PROBLEM SOLVING BAGI ANAK

Cara memecahkan masalah merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan individu dalam menghadapi dan mengatasi masalah.

Masalah merupakan satu hal yang selalu mengiringi setiap manusia, mulai dari anak sampai tua. Masalah tidak mungkin ditinggalkan begitu saja, tetapi dihadapi dengan cara-cara yang bersifat personal. Masalah juga tidak lupa menempel dalam kehidupan anak. Oleh karena itu hendaknya orang tua sejak dini telah memberikan pendidikan problem solving terhadap anaknya sehingga nantinya sang anak lebih mampu menghadapi permasalahan-permasalahan yang lebih beraneka ragam dengan baik.
“Sedapat mungkin seorang anak dihindarkan dari segala macam bentuk masalah”. Kalimat inilah yang terkadang tertanam kuat dalam benak orang tua. Padahal kenyataannya anak-anak akan memiliki kemampuan memecahkan masalah di dalam kehidupannya yang akan datang dikarenakan terlatih memecahkan masalah sejak kecil atau sejak usia dini. Terkadang orang tua juga tidak memberi kepercayaan pada anak-anaknya atas kemampuan mereka dalam memecahkan masalah, hingga mereka juga begitu sering membuatkan keputusan bagi anaknya, padahal bila diberi kesempatan dan dorongan anak-anak akan mampu memandang suatu masalah dari segala sisi dan memecahkan masalah yang begitu rumit, yang mana hal ini tentunya akan meningkatkan mutu kehidupan mereka serta orang-orang sekitarnya.
Yang juga sering tidak disadari oleh orang tua bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah bagian dari proses perkembangan seorang anak dalam hidupnya. Bahkan anak-anak telah menjadi pemecah masalah sejak bulan-bulan pertama dalam kehidupannya. Pertumbuhan intelektual dan emosional mereka juga didorong oleh proses pemecahan masalah. Namun, seperti kemampuan-kemampuan EQ lainnya, kemampuan seorang anak dalam memecahkan masalah umumnya sejalan dengan usianya.

Terdapat 7 (tujuh) langkah berikut untuk mengajari anak-anak yang sudah besar bagaimana caranya memecahkan masalah yang lebih pelik dalam kehidupan mereka, yaitu:

1. Mengajari anak tentang pentingnya berhenti memikirkan satu hal saja.
2. Mengajari anak cara mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah.
3. Mengajari anak menghimpun informasi dari sudut pandang mereka sendiri termasuk opini, fakta dan informasi yang belum dikenal.
4. Mengajari anak menghimpun informasi dari sudut pandang orang lain, termasuk yang dilihat, dipikirkan dan dirasakan orang lain.
5. Mengajari anak cara mempertimbangkan strategi-strategi alternatif, termasuk yang dapat diperbuat atau dikatakan dan kendala apa saja yang harus diatasi.
6. Mengajari anak cara mengevaluasi hasil-hasil dan akibat-akibat, termasuk cara memilih diantara berbagai pilihan yang mungkin dan mengantisipasi yang mungkin terjadi akibat kata-kata atau perbuatan tertentu.
7. Menyuruh anak mempraktekkan seluruh proses pemecahan masalah, menyempurnakan pelaksanaan tiap langkahnya dan mendorong mereka agar tetap ulet sampai mendapatkan solusi yang telah dipikirkan dengan matang.

Untuk membantu anak yang sudah besar dan remaja dalam memecahkan masalah nyata sehari-hari, bersiaplah untuk membangun suatu hubungan bersistem pendukung setiap kali masalah timbul. Dalam hal ini orang tua harus siap membagi waktunya dengan keluarga (anak). Duduk bersama mereka, mengetahui minat serta kepentingan mereka.

Read More......

PERANAN KELUARGA TERHADAP PENDIDIKAN ANAK

Keluarga merupakan lingkungan yang pertama kali memberikan pendidikan terhadap anak. Pada saat anak menginjak remaja, peranan keluarga sangat dibutuhkan khususnya saat anak berada di luar lingkungan sekolah.


Pendidikan bagi bangsa Indonesia harus dilakukan melalui tiga lingkungan yaitu keluarga, sekolah dan organisasi. Keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting, karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai sekarang keluarga selalu berpengaruh besar terhadap perkembangan anak manusia.
Sesuai UUSPN pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah sebagai pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga, sebab pendidikan yang pertama dan utama diperoleh anak ialah dalam keluarga. Peralihan bentuk pendidikan informal/keluarga ke formal/sekolah memerlukan kerjasama antara orang tua dan sekolah (pendidik). Sikap anak terhadap sekolah terutama akan dipengaruhi oleh sikap orang tua mereka. Sehingga diperlukan kepercayaan orang tua terhadap sekolah (pendidik) yang menggantikan tugasnya selama di sekolah.
Peranan orang tua bagi pendidikan anak adalah memberikan dasar pendidikan, sikap, dan ketrampilan dasar seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan-peraturan, dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan. Selain itu peranan keluarga adalah mengajarkan nilai-nilai dan tingkah laku yang sesuai dengan yang diajarkan di sekolah. Dengan kata lain, ada kontinuitas antara materi yang diajarkan di rumah dan materi yang diajarkan di sekolah.
Dinamika kehidupan yang terus berkembang membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap kehidupan keluarga. Banyaknya tuntutan kehidupan yang menerpa keluarga beserta dampak krisis yang ditandai dengan bergesernya nilai-nilai dan pandangan tentang fungsi dan peran keluarga menyebabkan terjadinya berbagai perubahan mendasar tentang kehidupan keluarga. Struktur, pola hubungan, dan gaya hidup keluarga banyak mengalami perubahan. Kalau dulu biasanya ayah berperan sebagai pencari nafkah tunggal dan ibu sebagai pengelola utama kehidupan di rumah, maka sekarang banyak di antara keluarga (khususnya di kota-kota) yang tidak lagi seperti itu.
Jika kita melihat di lapangan, banyak terdapat orang tua yang kurang ikut memantau pendidikan anaknya. Dengan kata lain, orang tua memasrahkan sepenuhnya terhadap sekolah. Akibatnya pihak sekolah kewalahan menghadapi hal ini sehingga seringkali terdapat siswa yang melanggar, seperti merokok, tawuran, narkoba dll.
Hal seperti diatas seharusnya tidak terjadi jika keluarga ikut berpartisipasi dalam memantau perkembangan anak. Artinya, keluarga memantau anak saat anak berada di luar lingkungan sekolah, sedangkan sekolah memantau saat anak berada di lingkungangan sekolah.
Jika sistem pemantauan dalam pendidikan anak meliputi dua hal diatas maka anak setiap saat akan tertata dengan baik, disiplin dan prestasi belajar meningkat. Tetapi jangan lupa, bahwa pemantauan tersebut bukan berarti mengikat anak untuk melakukan kreatifitas.

Read More......

KENAKALAN REMAJA

Upaya Memahami Sejak Dini Potensi Kenakalan Remaja ''Kenakalan yang tersembunyi" adalah salah satu bentuk dari kenakalan yang sebelumnya tidak terlihat. Baru diketahui ketika anak atau remaja mengalami kejadian yang tidak disangka sebelumnya menimpa diri remaja. Kecelakaan di jalan raya, dengan masih mengenakan seragam sekolah lantaran mabuk mengendarai kendaraan bermotor misalnya, menjadi contoh yang sering dialami orangtua. Atau remaja terjaring razia pihak sekolah lantaran dalam tas sekolah ditemukan senjata tajam. Kejadian pahit semacam ini menjadikan orangtua baru menyadari, ada yang salah dalam pergaulan anak yang lepas dari pemantauan. Ternyata, selama ini anak pandai berkamuflase, lihai menyembunyikan aktivitas negatif di luar rumah agar tidak diketahui oleh keluarga.
SALAH pergaulan, dipahami sebagai hubungan personal remaja dengan teman seusianya yang menyimpang dari pranata umum pergaulan. Tak sedikit memang, remaja yang terjerumus ke salah pergaulan berawal dari kegiatan kumpul-kumpul dengan sesama anak muda -- teman sekolah, teman di rumah, atau teman di lingkungan lain. Lantas, sebagai anak muda dengan karakteristik suka tantangan dan hasrat mencoba sesuatu yang baru, tak sedikit yang malah tercebur makin dalam dengan pergaulan yang lebih besar unsur negatifnya ketimbang unsur positifnya. Salah pergaulan bisa menimpa siapa saja. Tidak hanya pada anak dengan latar belakang keluarga broken home, dari keluarga baik-baik pun banyak. Sudah cukup banyak bukti, remaja yang terjerumus pakai obat-obatan terlarang justru dari keluarga baik-baik -- dari kalangan pendidik sendiri ataupun tokoh yang disegani masyarakat. Ini berarti terjerumus tidaknya remaja berpulang pada pribadi remaja itu sendiri. Semuanya dapat terjadi lebih dikarenakan dalam diri remaja belum terbangun resistensi atau daya tahan terhadap hal-hal baru yang datang menggoda kehidupan muda mereka. Ujian ketahanan diri anak memang banyak dari pergaulan ini.
Perlu Pemahaman
Membangun resistensi diri pada remaja memerlukan pemahaman orangtua terhadap aspek kejiwaan dan pola pendidikan anak. Resistensi diri dibentuk oleh banyak hal. Di antaranya faktor keturunan (genetis), pola pendidikan di rumah, pola pendidikan di sekolah, lingkungan di luar rumah dan sekolah serta faktor peradaban pergaulan remaja itu sendiri. Namun, banyak juga orangtua yang sudah bisa menilai kecenderungan perilaku anak, tapi tak berdaya memperbaiki. Gejala-gejala anak tumbuh menjadi anak yang biasa disebut "bajingan" sudah dapat diketahui sejak anak memasuki usia remaja. Kegelisahan orangtua terlihat tatkala anak mulai bertingkah laku dan menggunakan aksesoris yang aneh-aneh. Misalnya berawal dari memasang
anting-anting, men-tatto pada bagian tubuh yang tersembunyi, merokok di dalam kamar, bolos sekolah, sering keluar malam, pulang rumah dalam keadaan mabuk, sering berbohong hingga pada akhirnya berani melawan orangtua. Tak sedikit orangtua yang merasa kewalahan kemudian menyerah dengan kondisi ketidakmampuan mengasuh anak. Dalam keadaan seperti ini, kerap orangtua hanya pasrah dan menyimpan harapan kosong. Orangtua berharap bahwa waktu dan kedewasaan anak akan mampu menyadarkan sekaligus mengubah anak dengan sendirinya. Orangtua pun lantas makin surut untuk mendidik dan mengarahkan anak ke dalam pola pengasuhan seperti yang diharapkan umumnya orangtua. Dalam situasi ini, terlebih pada anak yang tervonis "nakal" sejak remaja, biasanya orangtua melakukan tindakan "terapi sosial". Jika dirasakan oleh orangtua bahwa anak terjerumus lantaran sekolah dan lingkungan sekolah, maka orangtua akan berusaha memindahkan anak dari sekolahnya semula. Setidaknya upaya ini mampu memotong anak dengan lingkungan yang telah membentuk perilaku negatifnya. Upaya semacam ini akan lebih efektif jika dibarengi dengan pendekatan yang lebih intens kepada sang anak dengan memberikan pemahaman tentang positif negatifnya pergaulan. Jika karena lingkungan pergaulan teman di luar rumah, maka orangtua makin selektif dan sering melarang anak keluar rumah. Dalam beberapa kondisi mungkin tindakan semacam itu berdampak positif. Jika dalam diri anak tumbuh jiwa pembangkangan atau pemberontakan, maka tindakan ini justru akan merupakan permulaan perlawanan panjang pada hegemoni orangtua. Memisahkan remaja dari interaksi sosialnya bukanlah merupakan jawaban final. Bukan pergaulan itu yang patut dikambinghitamkan, tapi kemampuan anak dalam meletakkan dirinya dalam pergaulan itu yang mesti dicermati. Di sinilah peran penguatan resistensi diri anak mesti dimunculkan.

Tipe Kenakalan
Orangtua hendaknya mampu membedakan tipe kenakalan remaja. Ini akan membantu dalam menentukan pola pendidikan atau pola pengasuhan yang diterapkan guna membangun resistensi diri anak. Secara umum ada dua tipe kenakalan pada remaja.

1. Nakal dalam Penampilan -- Nakal dalam penampilan kerap hanya nakal dalam sisi permukaan saja. Artinya, pada diri anak telah terbangun sebuah pemahaman tentang batas-batas mana sebuah sikap atau perilaku berdampak negatif pada diri dan keluarga. Kenakalan ini hanya merupakan aksesoris diri, bisa jadi merupakan salah satu bentuk ekspresi dan media eksistensi diri. Dalam bahasa remaja hal ini adalah bagian dari trend penampilan (eksistensi dan pencitraan diri). Remaja memang kerap
membutuhkan media untuk mengaktualisasikan kepemudaan/kerejamaan pada dirinya. Media itu salah satunya memang pada penampilan diri. Adakalanya mereka lebih comfort dengan penampilan dengan aksesoris yang sedikit "nakal" seperti mengenakan anting-anting (tindik) pada telinga, bibir, lidah, hidung dan bagian-bagian tubuh lainnya, serta mencat rambut. Untuk tipe semacam ini, tugas orangtua lebih ringan, tinggal mengawasi dan mengontrol saja, agar tidak terlalu larut menikmati kebebasan dalam berekspresi.

2. Nakal dalam Perilaku -- Kategori ini mengandung pengertian anak atau remaja memang telah berperilaku nakal yang sebenarnya. Di sini peran orangtua dituntut lebih besar, mesti ekstra dalam pengawasan dan memberikan perhatian pada remaja. Pada tipe ini, penggunaan atribut "nakal" tidak lagi sebagai sebuah sensasi nonpermanen, tapi lebih dari itu sudah merupakan bagian diri yang tidak terpisahkan. Keakraban remaja pada visualisasi diri akan berdampak lebih dari itu. Ketika anak mulai berulah dalam bersikap dan berbusana, orangtua harus segera melakukan pendekatan, tak boleh canggung lagi memasuki wilayah pribadi anak. Orangtua memang harus lebih rajin melihat kamar pribadi anak, melihat tas sekolah, lemari, meja, termasuk beberapa tempat tersembunyi. Kecurigaan harus selalu dimunculkan tapi tetap dalam bingkai pendidikan, bukan memvonis anak yang berakibat anak berontak berlebihan. Orangtua mesti menanyakan perkembangan sekolah anak pada teman sang anak atau guru sekolah. Usaha preventif lebih bagus ketimbang terlambat dan mendapati anak sudah terlanjur salah dalam melangkah.
Tumbuhkan Resistensi
Ada beberapa hal yang sering dilupakan orangtua, pada saat anak-anak bersosialisasi dengan teman ataukah kumpulannya. Karena, dirasakan hal ini terlalu berlebihan. Tetapi dalam upaya menumbuhkan resistensi tumbuh dalam diri remaja, ada baiknya orangtua juga memahaminya.

a. Menanamkan metode pengawasan diri. Ini terkait dengan cara membesarkan anak dan pola pengasuhan yang diterapkan orangtua sejak dini. Kehidupan keluarga yang agamais dengan menanamkan etika, budi pekerti dan ajaran agama sejak dini diyakini mampu meminimalisir kenakalan remaja. Yang terpenting adalah penguatan logika, sehingga remaja bisa menilai baik atau buruk, positif atau negatif sebuah pergaulan. Sehingga, remaja sendiri dapat memikirkan cara-cara untuk menghindari ajakan teman yang tidak baik.

b. Kemampuan menilai kualitas kumpulan. Menanamkan upaya yang mendorong anak dan remaja ke kumpulan yang berkualitas. Memberikan pertimbangan sejak dini kumpulan atau kelompok yang diminati anak. Selektif dalam memilih teman dan kelompok merupakan kata kuncinya. Seminimal mungkin orangtua bisa mengetahui apa yang dilakukan anak saat mereka kumpul dengan teman-teman mereka di luar.
Saat santai dengan teman pun diharapkan orangtua mampu menanamkan pada anak untuk menilai kualitas pertemuan itu. Bagaimana kualitas pembicaraan? Apakah pembicaraan atau ngobrol-ngobrol yang terjadi hanya gosip yang tak berisi apa-apa? Tujuannya, agar sang anak dapat merasakan dan membandingkan percakapan mana yang berisi dan perkumpulan mana yang berkualitas.

c. Mengarahkan anak sebagai pemimpin kelompok. Walau sulit dan tidak dapat dilakukan setiap individu, upaya ini harus tetap ditanamkan pada remaja. Karena hanya dengan menjadi pemimpin, remaja bisa membawa kumpulan menjadi komunitas yang memiliki nilai lebih. Menumbuhkan "wibawa" dalam komunitas kecil sekalipun akan menumbuhkan kesan disegani oleh anggota komunitas, sehingga keinginan mengajak yang bukan-bukan dapat tereduksi. Ketiadaan sifat-sifat kepemimpinan pada diri anak membuat anak lemah dalam bergaul, sehingga dengan mudah diperdaya dan diajak ke arah negatif, menurut saja tanpa perlawanan. Karena sifat takut yang lebih dominan, maka sang anak menurut saja diajak ke hal negatif, terlebih sang anak merasa takut disisihkan dalam sebuah pergaulan.

d. Memerankan orangtua sebagai bagian dari kelompok anak. Kedekatan orangtua dengan anak dan teman-teman mereka, diyakini efektif dalam pertumbuhan kedewasaan remaja. Ini bagus juga meningkatkan posisi sang anak dalam sebuah kelompok. Ini dapat dilakukan dengan cara sejak awal orangtua menjalin komunikasi familiar dengan teman-teman anak mereka. Memperpendek jurang pemisah hubungan anak-orangtua dan selalu memberikan ruang berdiskusi dan bersenda gurau bagi mereka, serta memberikan fasilitas.

Read More......

FORMAT LAPORAN STUDI KASUS

Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
A. Rasional
B. Konfidensialitas
C. Identifikasi Klien
BAB II GEJALA DAN ALASAN PEMILIHAN KASUS
A. Gejala Kasus
B. Alasan Pemilihan Kasus
C. Ancangan Studi Kasus
BAB III PROSEDUR DAN METODE PENYELIDIKAN KASUS
BAB IV TREATMENT
A. Usaha Bantuan Yang Direncanakan
B. Bantuan Yang Terlaksana
C. Bantuan Yang Tidak Terlaksana
D. Usaha Dan Tindak Lanjut
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis
B. Pembahasan
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Read More......

Pengaruh Sikap Orang Tua Terhadap Anak

Sikap orangtua mempengaruhi cara mereka memperlakukan anak-anaknya dan sebaliknya, cara perlakuan tersebut mempengaruhi sikap anak terhadap orangtua. Oleh karena itu, pada dasarnya hubungan orangtua dengan anaknya bergantung atas sikap orangtua. Apabila sikap orangtua positif, hubungan tersebut akan jauh lebih menyenangkan. Sedang sikap negative orangtua akan mengakibatkan kurang lancarnya hubungan tersebut. Dari banyak kasus mengenai anak yang kurang dapat menyesuaikan diri, penyebabnya dapat dilacak pada adanya hubuungan orangtua dan anak yang buruk akibat sikap orangtua.
Pentingnya sikap orangtua terhadap hubungan keluarga, terlihat dari kenyataan bahwa sekali terbentuk sikap tersebut cenderung menetap, tidak berubah. Seperti semua sikap lainnya, sikap orangtua terhadap anaknya merupakan hasil dari proses belajar. Banyak factor yang menentukan sikap apa yang akan dipelajari. Factor pertama ialah konsep tentang ‘anak impian’ yang terbentuk sebelum kelahiran seorang anak. Konsep tersebut seringkali amat diromantisir dan berdasarkan atas jenis anak yang diinginkan orangtua. Apabila anak gagal memenuhi keinginan orangtua (dan ini bukan salah anak, bukan sama sekali!), maka orang tua menjadi kecewa sehingga mendorong munculnya sikap orangtua yang menolak. Mislanya saja ketika orangtua mengharapkan bayi perempuan mungil yang pendiam, ternyata yang keluar bayi perempuan gemuk dan hiperaktif, maka orangtua cenderung bersikap negative.
Factor kedua, pengalaman masa kecil ketika masih anak-anak juga akan mewarnai sikap orangtua terhadap anaknya. Orangtua yang ketika kanak-kanak diberi tanggung jawab untuk merawat adik-adiknya, mungkin memiliki sikap yang kurang menyenangkan terhadap anak-anaknya.
Nilai-nilai budaya mengenai cara mendidik anak yang dianggap terbaik, merupakan faktor ketiga.

Read More......
Template by : kendhin x-template.blogspot.com