Wednesday, June 16, 2010

Psikologi versus Agama

Psikologi memandang agama sebagai perilaku manusiawi yang melibatkan siapa saja dan dimana saja. Psikologi agama sebagai suatu aliran baru dalam psikologi masih belum mempunyai suatu kriteria yang paten tentang bagaimana interaksi antara keduanya. Agama sebagai gejala psikologi rupanya cukup memberikan pengertian kepada kita tentang perlu atau tidaknya manusia beragama. Bahkan lebih dari itu, ketika agama benar-benar tidak sanggup memberikan pegangan bagi masa depan kehidupan manusia, kita pun bisa saja terinspirasi untuk menciptakan agama baru, atau setidaknya melakukan berbagai eksperimen baru sebagai jalan keluar dari berbagai problem kehidupan.

Teori-teori yang rumit dari beberapa tokoh, dikemas dengan bahasa yang mudah dimengerti, sederhana dan segar. Kita pun ditantang untuk mengukur sejauh manakah keberagamaan kita: sehatkah atau matangkah? Selain itu wawasan keagamaan kita bertambah dengan membaca buku Psikologi Agama ini. Kita akan mengerti betapa pentingnya Psikologi dalam agama, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Jalaluddin, “tanpa bantuan Psikologi, para tokoh agama akan salah melakukan diagnosis, dan karena itu juga tidak membantu umatnya”.

PSIKOLOGI VERSUS AGAMA

PSIKOLOGI ATEISME (Friedrich Nietzsche)
Nietzsche adalah seorang ateis dunia yang paling terkenal. Ia secara dramatis menolak agama Kristen dan Tuhan Kristiani. Ucapan Nietzsche yang paling terkenal adalah “Tuhan sudah mati”. Ia sangat sibuk memikirkan agama sepanjang hidupnya dan secara terus-menerus melecehkan gagasan Kristen dan orang-orang yang mempercayainya. Nietzsche pernah mengatakan bahwa, “Perlahan-lahan menjadi jelas bagiku apa yang terjadi pada setiap filsafat besar: ia adalah pengakuan pribadi dari filosofnya dan sejenis kenang-kenangan yang lahir tidak sengaja dan tidak sadar. Sebaliknya, pada diri filosof, tidak ada apapun yang bersifat impersonal, dan lebih dari itu, semua moralitasnya menjadi saksi yang tidak terbantahkan tentang siapa dia”. Nietzsche juga mengaku bahwa dia mengetahui ateisme bukan sebagai akibat pemikiran, atau sebagai peristiwa, baginya, ateisme menjadi jelas karena naluri. Oleh sebab itu, kita punya alasan yang baik untuk meyakini bahwa psokologi Nietzsche (naluri tak sadarnya) berpengaruh pada filsafatnya. Tentu saja pernyataan psikolog yang lahir di Saxoni, Prusia (Jerman) pada 15 Oktober 1844 itu membuat geger semua orang, juga sebagai bukti kelemahan dia sebagai manusia biasa. Nietzshce menunjukkan bahwa akal manusia serba terbatas untuk memahami sang pencipta. Itu sebabnya butuh bimbingan dan aturan yang bisa menghantarkannya kepada penyembahan yang jelas.
Waktu umur Nietzsche kurang dari 5 tahun, ayahnya yang bernama Friedrich meninggal dunia karena penyakit otak. Ia sering membicarakan secara positif ayahnya dan kematiannya sebagai kehilangan besar yang tak pernah ia lupakan. Ia juga menunjukkan perasaan agama yang kuat dan mengidentifikasikan Tuhan dengan ayahnya. Ia mengatakan bahwa, “Dalam segala hal, Tuhan telah membimbingku dengan selamat seperti seorang ayah yang menuntun anak kecilnya yang lemah. Seperti seorang anak, aku bergantung pada berkatnya”. Kelemahan dan sakit ayahnya bagi Nietzsche berhubungan dengan agama Kristen ayahnya. Tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa penolakan Nietzsche kepada Tuhan dan Kristianitas adalah penolakan terhadap kelemahan ayahnya.

Filsafat Nietzsche sendiri menitikbertkan pada Superman, pada keinginan untuk berkuasa, yang semua itu tidak ia dapati dari seorang sosok ayah yang dapat mewakili Tuhan itu sendiri. Filasafatnya itu dapat ditafsirkan sebagai perjuangan intelektual untuk mengatasi kelemahan ayahnya yang Kristen. Dalam diri Nietzsche kita melihat reaksi yang kuat untuk secara intelektual melawan ayah yang mati dan sangat Kristiani, yang dicintai dan dikaguminya, ayah yang mewakili apa yang disebut sebagai “daya kematian”, lawan sesungguhnya dari konsep Manusia Unggul yang diidealkan Nietzsche (Vitz, 1999:20-24).
Nietzsche tidak sendirian, masih ada Sigmund Freud yang menawarkan theory of unbelief alias teori kekafiran. Freud menulis dalam The Future of an Illusion : “Gagasan-gagasan agama muncul dari kebutuhan yang sama seperti memunculkan pencapaian peradaban lainnya, yaitu dari desakan untuk mempertahankan diri melawan kekuatan alam yang lebih perkasa dan menaklukkan (kepercayaan agama hanyalah) ilusi, pemuasan dari keinginan manusia yang paling tua, dan paling penting. kesan tak berdaya yang menakutkan pada masa kanak-kanak membangkitkan kebutuhan akan perlindungan—perlindungan melalui cinta yang diberikan oleh sang bapak. Jadi, peraturan Tuhan yang Mahakuasa dan Mahapengasih menentramkan ketakutan kita akan bahaya kehidupan” (Freud, 1961: 30)
Toeri agama Freud itu dirumuskan dari pandangan pribadinya, lalu Paul Vitz merumuskan teori ateisme dari pandangan psikoanalisisnya Freud yaitu dari Oedipus Complex. Ia menggabungkannya dengan pandangan pribadi Freud tentang proyeksi pemuasan keinginan. Maka pandangan Freud yang menganggap Tuhan diciptakan dengan citra Bapak, dan agama lahir sebagai cara memuaskan keinginan untuk mendapat perlindungan Bapak, keinginan untuk membunuh ayah dan menggantikan posisi ayah dengan dirinya, menjadi dasar Psikologi Ateisme. Sehingga membunuh ayah “disublimasikan” dengan membunuh Tuhan. Pada saat ilmuwan menyingkirkan Tuhan dari laboratorium alam semesta, saat Freud menganggap Tuhan sebagai ilusi, dan saat psikologi mengabaikan agama sama sekali, maka mereka itu adalah para Oedipus yang sedang membunuh ayahnya.
Paul Vitz menunjukkan bahwa para ateis itu adalah orang-orang yang ditinggalkan ayah pada usia dini atau karena sesuatu hal membenci ayahnya itu. Akhirnya psikoanalisis membuang Tuhan sebagai sekedar ilusi kekanak-kanakan.

PSIKOLOGI VERSUS AGAMA
Seperti yang kita ketahui bahwa psikologi lahir dari agama dan tumbuh besar bersama agama. Tapi, karena pengaruh sains modern, psikologi memisahkan diri dan kemudian memusuhi agama. Meskipun perkembangan terakhir menunjukkan gerakan kearah integrasi, yang di dunia akademis pandangan yang dominan setidak-tidaknya menganggap agama tidak penting. Bahkan psikologi menuduh agama sebagai sumber penyakit mental, dogmatisme, prasangka rasial, dan tindakan rasial (Ellis,1986). Sebaliknya kaum agamawan atau psikolog yang beragama mendakwa psikologi sebagai arogan, elitis, amoral dan memberhalakan diri, the self (Vitz, 1977).
Mengapa antara psikologi dan agama itu bisa bermusuhan? Menurut Peter Berger (1967), agama itu memberikan makna baku kepada manusia ketika memandang alam dan kehidupan. Agama menjawab masalah kematian, penderitaan, dan bencana. Tapi akhir-akhir ini, posisi agama disisihkan oleh ilmu pengetahuan. Apa yang dulu dijawab oleh agama sekarang dijawab oleh ilmu pengetahuan. Akhirnya agama kehilangan otoritasnya, yaitu dalam menjelaskan alam, juga dalam memberikan petunjuk kehidupan. Agama digantikan oleh ilmu pengetahuan alam untuk memahami dunia, dan digantikan psikologi untuk menghayati pengalaman subjektif manusia. Selain hal diatas yang membuat keduanya bermusuhan yaitu, adanya paham dominan di kalangan psikolog yang melecehkan agama. Menurut Freud, agama merupakan ilusi, delusi, pengekspresian dari harapan masa kanak-kanak terhadap ketakutan dari bahaya-bahaya kehidupan. Tokoh ateisme ini dalam praktek menghadapi kliennya menemukan bahwa terdapat kesamaan antara tingkah laku orang yang beragama dengan tingkah laku orang yang menderita obsesif neurotis, salah satu abnormalitas dalam tingkah laku. Dengan pemikirannya yang seperti itu, Freud menanggalkan agama “Yahudi” dan menyatakan “psikoanalisis” sebagai panutannya. Bukan Freud namanya kalau tak bisa mempengaruhi orang lain, pemikiran Freud mengilhami dunia di sekitarnya. Sehingga beredarlah label dalam masyarakat saat itu bahwa seseorang yang meninggalkan agama adalah seorang intelektual dan ilmiah sedangkan yang menyandang agama dicap memiliki patologi (penyakit).
Sejalan dengan perkembangan sains dan tehnologi ini, maka para psikolog berpandangan lain terhadap agama, sehingga muncullah Sekularisasi agama, yang perlahan-lahan menyeret agama ke pinggiran kehidupan. Para psikolog berpendapat bahwa sebenarnya agama adalah sesuatu yang untuk dikhotbahkan, bukan untuk diteliti. Selain itu, psikologi dan agama terlihat sebagai paradigma-paradigma yang memberikan makna, dan masing-masing bersaing sebagai intstitusi-institusi yang berpengaruh dalam lingkup masyarakatnya (Shafranske,1996). Jadi, walaupun psikologi telah makin mendekati agama, secara teoritis para psikolog masih juga enggan untuk mempertimbangkan agama secara praktis.

AGAMA DARI SUDUT PANDANG PARA PSIKOLOG SEKULER
JAMES LEUBA (Agama sebagai Irasioanalitas dan patologi)
Leuba adalah seorang psikolog yang sangat memusuhi agama tradisional, tapi ia paling informatif dan persuasif. Ia menentang agama teistik tradisional dengan berbagai cara. Ia menyimpulkan bahwa pengalaman mistikal dalam agama dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip pokok psikologi dan fisiologi dan hal ini merupakan reaksi yang sama terjadi seperti pengalaman sehari-hari ketika saat kita merasakan kehadiran orang lain. Ia juga menjelaskan fenomena mistikal yang lebih dramatis melalui penjelasan tentang proses patologis. Ia menunjukkan bahwa pandangan keagamaan yang konservatif itu menghambat perkembangan pengetahuan ilmiah. Leuba sebenarnya bermaksud untuk memperbaharui dan bukan menghancurkan agama. Untuk mengembangkan daya spiritual yang alamiah ini, ia menyarankan dibentuknya kelompok keagamaan yang menggunakan bentuk-bentuk ritual keagamaan dan dikembangkan dengan bantuan pengetahuan ilmiah dan pengalaman bersama. Meskipun mereka tidak lagi menyembah Tuhan, anggota masyarakat ini dapat mengambil faedah dari nilai-nilai hakiki termasuk wawasan batiniah, kedamaian, dan energi moral dari tradisi teistiknya.
B.F. SKINNER (Agama sebagai Perilaku yang Diperteguh)
Menurut pandangan Skinner yang juga termasuk kaum behavioris, untuk mereduksi agama seluruhnya menjadi perilaku yang ditentukan secara mekanis. Menurut Skinner bahwa, keragaman pengalaman agama terjadi karena diikuti oleh stimuli yang memperteguh. Peneguhan ini secara aktif dilakukan oleh tokoh agama dan pengendali lain yang berkuasa. Proses memperteguh respons yang baru dengan mengasosiasikannya dengan stimuli tertentu berkali-kali disebut dengan peneguhan (reinforcement). Dan respons yang menjadikan adanya suatu stimuli tersebut disebut sebagai peneguh (reinforcer). Sehingga tindakan-tindakan yang diulangi lagi karena diperteguh itu disebut dengan Tensionreducing behavior.
Skinner sangat kritis kepada bentuk agama tradisional, bukan karena “dongengan”, tapi karena bentuk ajaran agama tradisional itu secara historis didasarkan pada peneguhan negatif atau ancaman hukuman. Menurut pengamatan Skinner, bahwa agen-agen agama saat ini berpindah dari teknik yang menyebalkan kepada teknik yang positif. Jadi, bahwa agama masih dibutuhkan oleh orang-orang yang awam, terutama untuk memacu mereka menangguhkan pemuasan kebutuhan masa kini untuk mencapai masa depan yang lebih baik
GEORGE VETTER (Agama sebagai Respons pada Situasi Tak Terduga)
Menurut Vetter, agama tidak punya nilai untuk memberikan keselamatan. Ia menjelaskan berbagai alasan untuk penilaiannya yang negatif terhadap agama. Jika agama hanya memperbaiki kehidupan para penguasa agama, lalu bagaimana para peneliti menjelaskan kebangkitan dan bertahannya kepercayaan serta praktik keagamaan ditengah-tengah masyarakat? Dari situ, Vetter berpendapat bahwa perilaku agama adalah respons manusia untuk menghadapi situasi yang tidak terduga dan tidak terkendali. Hal tersebut disebabkan oleh perilaku yang bermanfaat pada situasi terdahulu akan diulangi lagi dalam bentuk-bentuk ritual pada situasi yang sama dikemudian hari. Dengan begitu, dalam situasi yang terdesak, Tuhan sering disapa sebagai orang tua. Jadi perilaku cenderung dijalankan jika perilaku itu mengubah kompleks asosiasi stimulus yang mendorongnya atau jika perilaku itu setidak-tidaknya sedang berlangsung ketika sesuatu yang lain mengubah situasi.
SIGMUND FREUD (Agama sebagai Pemuasan Keinginan Kekanak-kanakan)
Banyak psikolog yang tertarik tidak hanya pada penyampaian agama, tapi pada asal-usul dan dinamikanya juga. Teori-teorinya sangat produktif dibanding dengan teori yang lainnya. Menurut Freud, penafsiran psikoanalisis terhadap agama telah berkembang hingga mencapai tingkat yang luar biasa. Jika Freud dan para pengikutnya berpandangan negatif terhadap agama dengan memandang agama tidak lebih dari sekedar kumpulan kecenderungan kekanak-kanakkan atau neurotis, maka para pendukung psikoanalisis yang direvisi melihat agama lebih positif. Menurut Freud, agama ada 2 ciri: kepercayaan yang kuat pada Tuhan dalam sosok bapak dan ritus-ritus wajib dijalankan secara membingungkan. Ia memperhatikan adanya sifat-sifat ritual yang tampak kompulsif, yang merasa berdosa dan takut akan hukuman Tuhan. Ia membandingkan unsur-unsur agama dengan gejala obsesif neurosis yang ia pandang sebagai mekanisme pertahanan dalam menghadapi impuls yang tidak bisa diterima. Kepercayaan dan praktik keagamaan ini, disimpulkan oleh Freud, berakar pada pengalaman universal kanak-kanak. Pada usia dini anak-anak menganggap orangtua, terutama bapak, sebagai orang yang Mahatau dan Mahakuasa.
Kata Freud (1927/1961) agama adalah ilusi, maksudnya bahwa agama adalah hasil pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan dan pemikiran. Agama adalah ilusi yang berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat. Seseorang yang diajari dogma agama pada usia dini, kemudian dihambat untuk berpikir kritis terhadapnya, biasanya didominasi oleh hambatan berpikir dan akan mengendalikan impulsnya melalui represi yang ditimbulkan oleh ketakutan. Hanya dengan meninggalkan agama dan ajaran yang dogmatis, dan bertumpu pada sains dan akal, individu dan masyarakat akan berkembang melewati tahap kekanak-kanakkanya. Begitu kedewasaan ini dicapai secara meluas, kata Freud, peradaban takkan lagi menindas dan kehidupan pada akhirnya diterima dengan ikhlas.

SARIPATI TEORI FREUD TENTANG AGAMA
Freud menegaskan agama sebagai ilusi dan menandai agama sebagaimana yang kita lihat sebagai delusi psikotis dan kompulsif neurotis. Delusi bertentangan dengan realitas, ilusi boleh jadi sesuai atau bertentangan dengan realitas dan boleh jadi diwujudkan. Ciri khusus ilusi yakni berasal dari keinginan. Kepercayaan disebut ilusi bila pemuasan keinginan menjadi “faktor penting dalam motivasinya”. Freud menyatakan bahwa pemuasan keinginan dinamai dengan “berpikir proses primer”, sedangkan “berpikir proses sekunder” adalah cara ego menghadapi lingkungan dengan berorientasi pada realitas. Dengan menerapkan konsep berpikir proses primer, Freud menyatakan bahwa gagasan agama adalah “pemuasan keinginan manusia yang paling tua, paling kuat, dan paling penting”. Ajaran agama yang tidak berasal dari pengalaman maupun dari pemikiran tentang hal-hal tersebut, adalah Ilusi.
Kebutuhan akan perlindungan adalah dasar dari hakikat keinginan, hal tersebut menjadi dasar dari semua upaya untuk mengubah kekuatan alam menjadi Tuhan, mengikut citra bapak. Freud mengatakan bahwa kita tidak pernah meninggalkan bapak, sosok Ilahi yang memberikan kepuasan dan perlindungan. Kita menggambarkan bapak sama besarnya, sama kuatnya, dengan Tuhan. Freud berkata bahwa agama, melalui ajaran, “kamu dilarang membunuh”, telah berjasa besar bagi peradaban. Tapi agama belum cukup melakukannya. Secara keseluruhan, menurut Freud agama telah gagal menciptakan kebahagiaan, menghibur manusia, atau mengadabkan mereka. Ia menemukan bukti untuk pandangan ini pada sejumlah besar orang di zamannya yang kecewa dengan peradaban. Dalam perkembangan sejarah, agama lebih banyak mendukung tindakan tak bermoral dibanding dengan tindakan bermoral.
Freud menganggap fenomena agama sebagai sisa-sisa kehidupan (survival) dan kehidupan kembali (revival) masa lalu, kembalinya yang terlupakan setelah gejala-gejala neurotis dan juga sebagai gejala psikopatologis yang merupakan “kembalinya represi”. Jadi, menurut Freud, itulah asal usul kualitas kompulsif dalam doktrin ritus dan moralitas agama. Doktrin agama adalah delusi, yaitu gagasan yang bertentangan dengan realitas, kepercayaan yang tetap dipegang teguh walaupun bertentangan dengan semua bukti yang ada. Freud memandang sifat kompulsif dari kepercayaan delusi muncul dari dasar kebenaran tak sadar. Freud memandang agama tidak hanya sebagai “mass compulsive neurosis”, tetapi juga “mass delusional psychosis”. Harapan Freud pada masa depan agama adalah bahwa akal yang sudah tercerahkan akan menggantikan agama ilusi. Menurut Freud, bahwa agama yang didasari oleh represi dan kompulsi telah berjasa pada kemanusiaan dalam mengendalikan naluri dan khususnya tindakan kekerasan. Pengendalian naluri, adalah batu penyangga peradaban.



KESIMPULAN

Disadari atau tidak, agama telah menimbulkan makna yang berbeda-beda pada diri setiap orang. Bagi sebagian orang agama adalah aktivitas ritual. Bagi sebagian lainnya, agama adalah berkhidmat kepada sesama manusia. Menurut sebagian lainnya lagi, agama adalah perilaku yang baik. Tapi dalam sejarah hubungan antara sains dan agama, psikologi pernah berperang melawan agama, sehingga agama menyambutnya dengan perlawanan yang gencar pula. Kadang mereka seperti sahabat karib, tapi sering juga perseteruan mereka seperti vis a vis dan bersifat oposisi biner dimana yang satu –biasanya yang disebut awal- lebih utama dari yang satunya . Salah satu gemuruh kritik dilontarkan oleh Bapak Psikoterapi, Sigmund Frued. Ia berpendapat bahwa manusia harus membebaskan diri dari agama karena ia adalah ilusi belaka, dan psikoanalisislah obat mujarab untuk membasmi agama dan takhayul lainnya.
Menurut William James, ternyata agama mempunyai efek kepada kehidupan individual. Ia mengaktifkan “energi spiritual” dan menggerakan “karya spiritual”. Agama memberikan semangat hidup, meluaskan kepribadian, memperbaharui daya hidup, memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang biasa dalam kehidupan. Orang yang beragama akan merasa tentram dan damai. Cinta mendasari seluruh hubungan interpersonalnya, tanpa mengabaikan rasa takut atau rasa sedih dalam kehidupan beragama. James lebih banyak melihat agama sebagai sumber kebahagiaan.
Ada indikasi kuat bahwa di dalam agama terdapat banyak nilai yang bisa dimanfaatkan manusia ketimbang sains. Ini disebabkan karena sains, hanya membuka diri pada hal-hal yang sifatnya rasional. Dan itu justru membatasi berbagai kepentingan manusia. Sementara agama dengan keleluasaannya memberi banyak ruang. Orang bisa beragama dengan memasukkan banyak rasionalitas, sebagaimana pengalaman para pemikir-pemikir keagamaan yang hidup dalam dunia akademik. Sebaliknya, orang juga bisa dengan bebas memeluk agama dan merasakan nilai-nilai positifnya tanpa harus capek-capek menggunakan potensi akalnya untuk berpikir.
Agama adalah juga fenomena sosial. Agama juga tak hanya ritual, menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya belaka, tapi juga fenomena di luar kategori pengetahuan akademis. Sebagian manusia mempercayai agama, namun tidak pernah melakukan ritual. Ada yang mengaku tidak beragama, namun percaya sepenuhnya terhadap Tuhannya. Di luar itu semua, kita sering menyaksikan, dalam kondisi tertentu -semisal kesulitan hidup atau tertimpa musibah- manusia cenderung berlari kepada agama. Sebaliknya, pada saat dirinya hidup dalam kondisi normal, mereka seringkali tidak peduli terhadap agama, bahkan mengingkari eksistensi Tuhannya. Jadi semakin rasional seseorang, semakin menjauh dia dari ritual agama. Sebaliknya, manusia yang kurang tersentuh rasionalitas, dengan sendirinya akan kuat menyakini ajaran agama. Situasi inilah yang membuat mereka tergerak untuk menemukan alternatif atau pegangan, karena modernitas bukan lagi rumah yang damai untuk kehidupan. Agama sebagai salah satu ajaran yang memberi tuntunan hidup ternyata banyak dijadikan pilihan. Hanya saja, mengapa agama menjadi pilihan sebagian orang dalam zaman yang serba canggih ini? Kenapa mereka tidak memilih ideologi yang nota bene lahir dari rahim modernitas?
Jika tujuan pokok beragama adalah pencapaian perkembangan rohani dalam diri manusia dan jika Freud menggambarkan suau keadaan "neurosis obsesional" dalam diri orang beragama, maka sebenarnya ia sedang menggambarkan suatu fenomena orang-orang gagal mencapai perkembangan rohani itu. Dengan kata lain, apa yang tidak dikatakan dalam teorinya tentang agama, secara implisit sebenarnya sedang dicari bentuk-bentuk beragama yang sehat dan matang secara psikologis. Bisa dikatakan, Freud sebenarnya sedang berbicara mengenai hakikat agama sebagai penyembuhan rohani (cure of the soul).


Tugas review Psikologi Agama

PSIKOLOGI VERSUS AGAMA

Untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Psikologi Agama

Dosen Pembimbing
Mohammad Mahpur, M.Si

Oleh
Salis Ulinuha Ahmad
01410100











UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG
FAKULTAS PSIKOLOGI
MALANG 2006
































Charles Darwin dan Sigmund Freud merupakan dua tokoh besar Eropa. Tahun 1859, ketika buku Charles Darwin Origin of Spesies terbit. Sigmund Freud berumur 3 Tahun. Mereka berdua mempunyai pengaruh yang besar dalam hidup dan pemikiran Barat serta ikut menentukan gerak dan arahnya. Karya-karya mereka membawa pengaruh begitu luas sehingga status manusia dalam kaitan dengan semangat ilmiah yang baru tumbuh itu berubah dan budaya Barat sezaman merekamengalami baik manfaat dan resiko drai perubahan status manusia itu. Munculnya psikoanalisis sebagai metode untuk menangani beberapa jenis penyakit tertentu dan sebagai teori tentanga hakikat kepribadian manusia merupakan bagian yang erat dengan perubahan status manusia berhadapan dengan ilmu. Mereka yang bergumul dengan psikoanalisis banyak menulis tentang agama.
Seorang ilmuwan Belanda, Heije Faber membedakan dua periode dalam sejarah psikoanalisis dalam bukunya Psychology of Religion. Periode pertama masa dua tokoh psikoanalisis Sigmund Freud dan Carl Gustave Jung dan berakhir dengan kematian mereka. Kedua orang tersebut merupakan perintis yang membuka pintu untuk meneliti agama dalam konteks pertumbuhan kepribadian manusia dan meletakkan dasar yang kemudian diteruskan dengan yang lainnya. Periode kedua sudah mulai ketika para pendiri masih hidup, tokohnya adalah Erich Fromm dan Erik Erikson.
Sigmund Freud: Agama Sebagai Ilusi
Freud menegaskan agama sebagai ilusi dan menandai agama sebagaimana yang kita lihat sebagai delusi psikotis dan kompulsif neurotis. Delusi bertentangan dengan realitas, ilusi boleh jadi sesuai atau bertentangan dengan realitas dan boleh jadi diwujudkan. Ciri khusus ilusi yakni berasal dari keinginan. Kepercayaan disebut ilusi bila pemuasan keinginan menjadi “faktor penting dalam motivasinya”. Freud menyatakan bahwa pemuasan keinginan dinamai dengan “berpikir proses primer”, sedangkan “berpikir proses sekunder” adalah cara ego menghadapi lingkungan dengan berorientasi pada realitas. Dengan menerapkan konsep berpikir proses primer, Freud menyatakan bahwa gagasan agama adalah “pemuasan keinginan manusia yang paling tua, paling kuat, dan paling penting”. Ajaran agama yang tidak berasal dari pengalaman maupun dari pemikiran tentang hal-hal tersebut, adalah Ilusi.
Kebutuhan akan perlindungan adalah dasar dari hakikat keinginan, hal tersebut menjadi dasar dari semua upaya untuk mengubah kekuatan alam menjadi Tuhan, mengikut citra bapak. Freud mengatakan bahwa kita tidak pernah meninggalkan bapak, sosok Ilahi yang memberikan kepuasan dan perlindungan. Kita menggambarkan bapak sama besarnya, sama kuatnya, dengan Tuhan. Freud berkata bahwa agama, melalui ajaran, “kamu dilarang membunuh”, telah berjasa besar bagi peradaban. Tapi agama belum cukup melakukannya. Secara keseluruhan, menurut Freud agama telah gagal menciptakan kebahagiaan, menghibur manusia, atau mengadabkan mereka. Ia menemukan bukti untuk pandangan ini pada sejumlah besar orang di zamannya yang kecewa dengan peradaban. Dalam perkembangan sejarah, agama lebih banyak mendukung tindakan tak bermoral dibanding dengan tindakan bermoral.
Freud menganggap fenomena agama sebagai sisa-sisa kehidupan (survival) dan kehidupan kembali (revival) masa lalu, kembalinya yang terlupakan setelah gejala-gejala neurotis dan juga sebagai gejala psikopatologis yang merupakan “kembalinya represi”. Jadi, menurut Freud, itulah asal usul kualitas kompulsif dalam doktrin ritus dan moralitas agama. Doktrin agama adalah delusi, yaitu gagasan yang bertentangan dengan realitas, kepercayaan yang tetap dipegang teguh walaupun bertentangan dengan semua bukti yang ada. Freud memandang sifat kompulsif dari kepercayaan delusi muncul dari dasar kebenaran tak sadar. Freud memandang agama tidak hanya sebagai “mass compulsive neurosis”, tetapi juga “mass delusional psychosis”. Harapan Freud pada masa depan agama adalah bahwa akal yang sudah tercerahkan akan menggantikan agama ilusi. Menurut Freud, bahwa agama yang didasari oleh represi dan kompulsi telah berjasa pada kemanusiaan dalam mengendalikan naluri dan khususnya tindakan kekerasan. Pengendalian naluri, adalah batu penyangga peradaban.
Carl G. Jung: Agama sebagai Arketipe
Meskipun karya Jung tidak sedemikian luas berpengaruh seperti karya Freud, sikapnya terhadap agam telah membuatnya lebih diterima di kalangan kaum agamawan. Salah satu pernyataan yang kerap dikutip ada pada hamper akhir bukunya. Modern Man in Search of a Soul: "Diantara semua pasien saya dalam umur bagian hidup yang kedua –yaitu diatas 35 tahun, tidak ada seorang pun yang masalahnya pada akhirnya bukan masalah menentukan pandangan keagamaan atas kehidupan". Pernyataan itu harap dimegerti sebagai penegasan atas arah keagamaannya. Tetapi sewperti Freud, Jung menafsirkan agama bukan dalam kerangka menemukan kebenaran teologis atau ajarannya. Sikap terhadap agama yang simpatik itu perlu dilihat secara lebih mendalam. Jung berpendapat bahwa ketidaksadaran kolektif diteruskan dari satu angkatan ke angkatan yang lain lewat arketipe. Ketidaksadaran kolektif yang dimaksud Jung adalah segala endapan pengalaman nenek moyang diturunkan sejak berjuta tahun yang tak dapat disebut yang sepenuhny mengendalikan, gema peristiwa dari dunia prasejarah yang oleh zaman selanjutnya ditambah sedikitdemi sedikit penganeka ragaman dan pembedaan-pembedaan. Sedang arketipe adalah wahana untuk membuka lubuk jiwa manusia.seperti Freud, Jung melihat ketegangan awal antara hidup sadar dan tidak sadar. Tetapi antara kedua tokoh ini adaperbadaan mendasar dalam merumuskan gagasan tentang segi ytang tidak sadar. Bagi Freud unsur tidak sadar bersifat individual secara dinamis terdiri dari bahan yang naluriah dan ditekan berkaitan dengan ketegangan pada tahap Oedipus sehingga mendorong manusia untuk beragama serta menciptakan citra ayah pada Tuhan. Sedangkan menurut Jung bentuk khusus dari agama merupakan ugkapan dalam waktu dan tempat dari ketidaksadaran kolektif yang terpendam, dogma, ibadat, kisah keagamaanmuncul bukan dari kebutuhan pribadi seperti dorongan masa anak-anak tetapi dari kenyataan yang ada diatas dan mengatasi lingkup perorangan. Agama merupakan bagian dari kodrati kehidupan. Nilai agama tergantung dari arketipe yang ada pada warisan psikologi manusia dan penemuannya merupakan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini Jung menyebutya dengan individuasi yang merupakan peziarahan keagamaan. Dalam autobiografinya dia melukiskan diri sendiri sebagai "serpihan dari keallahan yang tak terbatas" dan pemikiran peziarahannya sendiri sebagai penemuan fakta bahwa dirinya merupakan serpihan keallahan yang tak terbatas. Terutama lewat impian, dan selalu terselubung dalam lambing-lambang, ketidaksadaran memberondongi kesadaran dengn "pengetahuan tentang sesuatu yang istimewa", hidup ilahi yang ada di dalam berusaha menuju kesdaran. Penemuan ini merupakan individuasi gerak sejati menuju ke kedirian dan mengisahkan masalah kehidupan.
Erich Fromm: Agama Sebagai Cinta Manusia
Pandangan Fromm tentang agama berakar pada pandanganny yang humanistic, semua manusia secara intrinsic adalah religius dalam arti bahwa kebutuhan terhadap "system pengarahan dan pemujaan" bersifat universal. Dalam kata-kata Fromm "Tidak ada seorang pun yang tanpa kebutuhan untuk pengarahan dan sasaran pemujaan…. Persoalannya bukanlah agama atau bukan tetapi agama macam apa, apakah agama itu mendukung perkembangan manusia, memekarkan kekuatan-kekuatan khas manusia atau melumpuhkannya". Maka masalah manusia yang mendasar adalah pemekran kekuatannya, penemuan kebebasan yang ada dalam keberadaannya.

0 komentar :

Template by : kendhin x-template.blogspot.com